Keinginan Presiden Indonesia sejak awal menjabat, untuk mendirikan Silicon Valley Indonesia, sangat menggebu-gebu. Sebuah keinginan yang patut diapresiasi. Meskipun hingga kini belum juga ada yang terealisir. Ada beberapa daerah yang sempat diumumkan sebagai tempat yang cocok untuk membangun Silicon Valley itu. Diantaranya : Banten, Papua, Bandung, Penajam Paser Utara sebagai calon Ibu Kota baru itu, dan yang terakhir dan kemudian menjadi polemik adalah Sukabumi, dengan nama Bukit Algoritma. Sebuah kawasan seluas 888 ha, di KEK Cikidang Sukabumi, dengan total biaya investasi direncanakan sebesar 18 Trilyun itu, sontak membuat heboh jagat netizen.
Mengapa menuai pro-kontra? Selain nilainya yang fantastis, alasan lainnya adalah ketidakcocokan tempat yang tidak dekat dengan kampus dan industri, sebagai pemasok utama resources. Beberapa komentar yang menyangsikan, mempertanyakan dan menggugat, kemudian menghiasi percakapan di cloud. Tak tanggung-tanggung jika jauh-jauh hari Gubernur Jabar, juga memberikan warning, jangan sampai proyek ini hanya menjadi gimmick branding (untuk jualan property semata). Demikian halnya dengan Kepala Center of Innovation and Digital Economy INDEF, Nailul Huda menyebut proyek Bukit Algoritma di Sukabumi sebagai pusat inovasi teknologi digital di wilayah Asia Tenggara masih berpotensi mangkrak. Karena prasarat infrastruktur dasar dan SDM masih belum teratasi. Dan banyak hal lagi “gugatan” lainnya yang menghiasi perdebatan di media sosial.
Jika yang menjadi rujukannya adalah Silicon Valley, pasti akan kontradiktif. Mengapa demikian? Terletak di sebelah selatan San Francisco Bay Area, California, Amerika Serikat. Silicon Valley diciptakan oleh pengusaha Ralph Vaerst di tahun 1970-an. Awalnya, berasal dari sejumlah besar produsen chip silikon di kawasan itu. Lambat laun, tempat itu pun menjadi markas dan kompleks perkantoran untuk sejumlah bisnis teknologi, termasuk Apple Inc. , eBay Inc., Facebook Inc., Intuit Inc., Adobe Systems Inc., Intel Corp. dan Hewlett-Packard Co, dlsb.
Sehingga Silicon Valley menjadi tempat perkembangan inovasi yang integrative karena venture capital sebagai pemodal bagi start-up bisnis teknologi hamper sepertiganya hadir di situ. Dan yang lebih memperkuat lagi adalah institusi pendidikan tinggi terkemuka juga ada di tempat itu, seperti Universitas Stanford, Universitas Silicon Valley dan tiga kampus Universitas California. Dari sini sangat kentara bahwa ekosistem yang ada di sana memang sangat mendukung.
Lalu bagaimana sebaiknya? Sebainya perlu belajar dari India yang sukses menjadikan Bangalore (baca : Bangaluru) menjadi Silicon Valley of India. Sehingga juga memiliki sebutan dengan “IT Capital of India”. Satu hal yang menarik adalah, infrastruktur meski dengan sangat terbatas tersedia saat itu, akan tetapi puluhan perguruan tinggi berada di kawasan Bangaluru ini. Juga keberadaan perusahaan lokal yang kompeten, sehingga juga menarik investasi dari venture capital. Sehingga dari sisi SDM dan funding, tidak mengalami kekurangan resources. Tentu saat ini infrastruktur di Bangalore, standarnya lebih tinggi lagi, karena mesti men-serve worldwide. Disamping memang IT-Skill lulusan perguruan tinggi di India juga di atas rata-rata, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mereka memenuhi Silicon Valley di Bay Area itu. Bahkan eksekutif perusahaan keknologi dunia, banyak yang berasal dari India.
Dari Laporan https://thescalers.com/how-bangalore-became-asias-silicon-valley/, setidaknya ada 3 (tiga) tahapan Bangalore menjadi Silicon Valley-nya Asia, seperti sekarang ini.
1984: The Making of an IT Capital
Liberalisasi kebijakan impor dan ekspor perangkat lunak di India tahun 1984, menjadi tonggak kebangkitan industi IT di India. Hal ini, dimanfaatkan dengan baik oleh Wipro dan Infosys, perusahaan IT local India, untuk mendirikan kantor pertama kali di Bangalore dan meng-hire programmer-programmer terbaik India. Dan pada tahun 1985 Texas Instruments menjadi perusahaan Multi National Corporation yang investasi pertama kali di Bangalore. Sebagai highlight-nya, dari instri IT ini adalah : 8% dari total GDP India berasal dari industri IT (2017), total revenue sebesar 180 M USD (2019), mempekerjakan 3,9 juta orang.
2010-2020: From back office to an R&D hotspot
Dalam dekade terakhir saja, Bangalore telah menyumbang 35% dari Global in-house center (GIC) di India. Nilai R&D yang dilakukan di India diperkirakan sekitar $ 40 miliar dan diharapkan meningkat di tahun-tahun mendatang.
Kontributor utamanya adalah pengembangan software untuk bisnis dengan biaya murah dan rendah dengan teknologi terkioni dan dikerjakan oleh programmer yang kompeten. Dimana, di Bangaluru Pusat R&D perusahaan asing juga disini. Cisco mempekerjakan 11.000 lebih orang, Roll Royce mempekerjakan 100 lebih dn Boeing memperkajan 2.500 orang lebih.
2020: The Silicon Valley of Asia
Industri TI mempekerjakan sekitar 4,1 juta orang di seluruh India dan menyumbang hampir $ 137 miliar ekspor setiap tahun – 40% di antaranya dihasilkan di Bangalore. Disamping itu juga membangun budaya start-updi Bangalore dengan kriterai : menjadi peringkat 3 start-up global, memberikan pembiayaan kepada 57% start-p di India,
Tapi masalah ekonomi saja tidak bisa menjelaskan munculnya utopia TI ini. Peningkatan keahlian teknis dan tenaga kerja multi-skill telah berperan penting, sehingga menjadikan Bangalore menjadi pusat R&D, setidaknya hal ini mewakili nama-nama perusahaan besar sepetibseperti Amazon, IBM, Microsoft, Tesco, Nokia, dan Siemens. Bahkan Tesla juga sudah merencanakan kepindahan R&D nya di Bangalore. Tidak heran, jika perusahaan-perusahaan besar IT besasr lainnya juga berkumpul dalam kawasan tersebut seperti Infosys, Oracle, Dell, Samsung R&D, HP, CGI, Nokia, Huawei dan banyak lagi.
Jika demikian, maka mimpi mendirikan silicon valley di Indonesia dengan menghadirkan Bukit Algoritma itu setidaknya perlu dikaji lebih mendalam kembali. Terutama terkait dengan feasibility study-nya harus presisi, dengan memperhatikan banyak variabel. Tidak cukup modal semangat dan ngotot, atau bahkan aji mumpung. Tentu kita menghargai setiap ide, gagasan dan upaya untuk mengadirkan yang terbaik untuk bangsa ini. Apapun itu bentuknya. Saya juga yakin untuk infrastruktur dengan kedekatan dengan penguasa, bisa jadi di geber, bangunan-bangunan megah bisa didirikan, termasuk listrik, koneksi internet dlsb. Tetapi ekosistem dan resources akan menjadi PR yang tidak mudah diselesaikan.
Akankan ini berpotensi menjadi proyek mangkrak sebagaimana prediksi INDEF, ataupun menjadi gimmick branding sebagaimana warning Gubernur Jabar, atau hanya menghasilkan bangunan mewah saja, sebab riset itu tidak memerlukan bangunan yang megah, tetapi hasilnya yang implementatif, sebagaimana perdebatan di twitter. Soal ini, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Singkatnya : optimis boleh, realistis harus.
Selamat menunggu berbuka hari ke-6
Wallahu a’lam
Like this:
Like Loading...