ekonomi, entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, iptek, IT, organisasi, teknologi

Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia Dan Tantangan Digitalisasi


Ada sebuah hasi penelitian yang cukup baik bertajuk Indonesian E-commerce Consumer Behaviour (Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia) yang dikeluarkan oleh Kredivo bekerjasama dengan Katadata Insigt Center. Laporannya masih gress, baru di rilis pada bulan Juni 2022 ini. Membedah dari berbagai aspek  berkenaan dengan perilaku konsumen, terutama terkait dengan memberikan wawasan terbaru mengenai perilaku konsumen e-commerce Indonesia melalui pendekatan bottom up yang berdasarkan data primer.

Sebagaimana kita ketahi bahwa industri e-commerce yang merupakan penggerak utama ekonomi digital Indonesia, dari tahun ke tahun terus berkembang pesat. Laporan ini membahas perilaku konsumen secara lebih mendalam, mulai dari profil demografi konsumen yang berbelanja online hingga jenis-jenis produk yang dibeli. Selain itu, juga membahas lebih dalam frekuensi transaksi berdasarkan waktu untuk menganalisis pola perilaku tertentu dari konsumen dalam berbelanja online.

Laporan ini dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama meneliti perilaku belanja online dari konsumen menggunakan sampel pengguna Kredivo yang melakukan transaksi e-commerce. Bagian kedua mengukur perilaku pembayaran konsumen dalam berbelanja online dan penggunaan PayLater secara khusus di tengah pandemi yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Continue reading “Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia Dan Tantangan Digitalisasi”

ekonomi, entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, organisasi, Peradaban

Work From Anywhere


bos.com

Pandemi COVID-19 mengantarkan popularitas kebijakan pekerjaan dari mana saja. Meninggalkan atau setidaknya mereduksi work from office (WFO) yang sudah biasa. Dimulai dari work from home (bekerja dari rumah), di saat awal-awal pandemi berlangsung. Selanjutnya belakangan memunculkan istilah baru, lebih dari bekerja dari rumah (WFH), tetapi adalah work from anywhere/WFA (bekerja dari mana saja). Sehingga karyawan dapat memilih lokasi dari mana mereka bekerja, baik di dalam atau di luar negara tempat perusahaan mereka terutama berada.

Meskipun pada awalnya merupakan solusi sementara untuk menangani krisis kesehatan global akibat pandemi, ternyata fleksibilitas pekerjaan dari mana saja, menjadi kebiasaan dan addict, dampaknya semakin banyak permintaan untuk memilih opsi WFA ini.  Sehingga manajer sekarang bertanya pada diri sendiri bagaimana mereka harus menyesuaikan lingkungan kerja mereka dengan kebutuhan karyawan mereka.

Dan hal ini sebenarnya, sudah disinyalir sejak sebelum pandemi dengan istilah digital nomad. Yang menjelaskan bahwa pekerjaan sekarang itu -pada jenis pekerjaan tertentu- dapat dilakukan di mana saja. Tanpa kemudian dibatasi oleh tempat dan jam kerja tertentu. Bukan time based oriented, tetapi target and result oriented. Intinya, nggak peduli dikerjakan dimana saja dan kapan saja, asalkan pekerjaan diselesaikan dengan baik dan tepat waktu yang ditentukan. Dan hal seperti ini, memang sangat disukai oleh generasi Y dan Z. Continue reading “Work From Anywhere”

entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, wakaf

Korporatisasi Wakaf


Rendahnya literasi wakaf, disinyalir sebagai kendala wakaf belum menjadi arus utama (mainstream) dalam pengembangan ekonomi syariah selama ini. Padahal potensi wakaf dari tahun ke-tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Akan tetapi dari potensi yang ada, ternyata masih sangat minim yang bisa dihimpun dan diberdayakan. Ternyata, rendahnya literasi wakaf ini terjadi hampir disemua stakeholder wakaf itu sendiri. Tidak terkecuali peran Nadzir yang sesungguhnya memegang kunci dalam pemberdayaan wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam hukum wakaf dalam berbagai madzab.

Di dalam UU No 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf, mengatur kedudukan nadzir yang sangat jelas. Dimana, yang dimaksud dengan Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pilihan diksi dikelola dan dikembangkan ini, mengidentifikasikan bahwa wakaf mesti di-manage dengan baik dan profesional sehingga hasil kelolaannya itu, akan memberikan manfaat kepada lebih banyak mauquf ‘alaih.

Dalam konteks Nadzir itu sendiri dijelaskan bisa perorangan atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Konsekwensinya adalah, siapapun dapat menjadi Nazhir sepanjang ia dapat dan mampu melakukan tindakan hukum. Kendatipun demikian, karena tugas Nazhir ini menyangkut pengelolaan harta benda yang manfaatnya harus disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya. Sehingga, jabatan Nadzir itu sendiri sudah selayaknya harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugas itu secara profesional. Tidak sembarangan, olehnya kualifikasi nadzir yang ada di UU Wakaf, mesti diperluas dengan memperhatikan konteks kekinian.

Mengubah Paradigma

Salah satu cara untuk mengungkit peran Nadzir agar memiliki daya guna dan hasil guna yang lebih besar dari cara “konvensional” sebagaimana selama ini adalah dengan melakukan perubahan yang fundamental, sistemik, dan paradigmatik dalam hal pengelolaan wakaf. Mental block yang telah mempengaruhi alam bawah sadar semua pihak bahwa wakaf itu hanya 3 M (masjid, madrasah dan makam), sudah harus diubah. Artinya selain fungsi sosial sebagaimana 3M tersebut, maka wakaf harus lebih produktif lagi. Perubahan dimaksud sudah barang tentu harus compliance dengan ketentuan syar’i. Sehingga perlu dilakukan terobosan dengan menjadikan dan menempatkan peran nadzir dalam bingkai  korporatisasi wakaf. Dimana, secara makna korporatisasi adalah proses, cara, atau  perbuatan yang menjadikan pola manajemen korporasi sebagai kendali atau acuan.

Oleh karenanya, dengan melihat fakta di atas, kedepan nadzir perorangan sudah selayaknya semakin dikurangi peranny. Karena jika nadzir dilkukan secara perorangan tidak memungkinkan untuk melakukan korporatisasi sebagaimana dimaksud. Selanjutnya semua Nadzir diarahkan kepada nadzir yang berbadan hukum. Jika masih ada nadzir perorangan, sebaiknya di-merger untuk bergabung menjadi nadzir yang berbadan hukum. Sehingga seluruh nadzir dalam mengelola harta wakaf menggunakan pendekatan korporasi.  Karena korporatisasi wakaf sejatinya adalah budaya korporasi yang diterapkan dalam pengelolaan wakaf. Dengan demikian maka, para nadzir mesti memiliki kualifikasi dan kecakapan yang memadai sebagaimana seorang profesional untuk mengelola korporasi, serta memiliki pemahahan berkenaan dengan kaidah syar’iyyah,  beserta implementasinya.

Benchmarking

Keuntungan dari korporatisasi wakaf, setidaknya Nadzir akan bekerja secara profesional dengan sistem manajemen dan tata kelola korporasi modern. Tidak dipandang hanya sebatas aktifitas sosial semata. Akan tetapi juga meliputi aktifitas ekonomi dan bisnis. Sehingga Nadzir dalam mengelola harta wakaf lebih terarah, sistemik serta memiliki target yang terukur.

Meskipun belum ideal dalam kerangka korporatisasi wakaf, akan tetapi apa yang dipraktekkan oleh Johor Corporation (J-Corp)di Malaysia bisa dicadikan benchmarking, yang patut untuk di contoh. Dimana JCorp mewakafkankan sebagian saham perusahaan miliknya untuk  dikelola oleh Nadzir yang bernama Waqf An-Nur Corporate (WaNCorp). Mereka mempraktekkan wakaf musytarak. Bidang garapnya meliputi Rumah Sakit, Pendidikan, Real Estate, Property dlsb.

Pada laporan tahunan 2020, disebutkan bahwa jumlah Aset WaNCorp adalah sebesar RM. 816,447,286. (2,8 Trilyun rupiah). Sedangkan keuntungan bersih (setelah pajak) sebesar RM.  4,743,722 (16,2 Milyar rupiah). Untuk pembagian manfaat Dana Kesejahteraan Umum Waqaf An-Nur, sebesar RM 2,054,834 (7 Milyar rupiah). Ini tidak termasuk gaji eksekutif Imam dan Bilal di Jaringan Masjid An-Nur sebesar RM 1,205,506 (4,1 Milyar rupiah) termasuk dalam total biaya administrasi.

Dengan demikian maka korporatisasi wakaf ini bukan utopis. Melainkan sebuah gagasan yang sangat mungkin untuk diimplementasikan di Indonesia. Dibutuhkan political will berupa regulasi/kebijakan yang mendukung ini, serta good will bagi umat Islam terutama para Nadzir, untuk mentransformasikan lembaga nadzirnya menuju korporatisasi wakaf. Wallahu a’lam

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXXIII/Muharram 1443/September 2021

ekonomi, entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, Islam, IT

Belajarlah dari Bangaluru !


Keinginan Presiden Indonesia sejak awal menjabat, untuk mendirikan Silicon Valley Indonesia, sangat menggebu-gebu. Sebuah keinginan yang patut diapresiasi. Meskipun hingga kini belum juga ada yang terealisir. Ada beberapa daerah yang sempat diumumkan sebagai tempat yang cocok untuk membangun Silicon Valley itu. Diantaranya : Banten, Papua, Bandung, Penajam Paser Utara sebagai calon Ibu Kota baru itu, dan yang terakhir dan kemudian menjadi polemik adalah Sukabumi, dengan nama Bukit Algoritma. Sebuah kawasan seluas 888 ha, di KEK Cikidang Sukabumi, dengan total biaya investasi direncanakan sebesar 18 Trilyun itu, sontak membuat heboh jagat netizen.

Mengapa menuai pro-kontra? Selain nilainya yang fantastis, alasan lainnya adalah ketidakcocokan tempat yang tidak dekat dengan kampus dan industri, sebagai pemasok utama resources. Beberapa komentar yang menyangsikan, mempertanyakan dan menggugat, kemudian menghiasi percakapan di cloud. Tak tanggung-tanggung jika jauh-jauh hari Gubernur Jabar, juga memberikan warning, jangan sampai proyek ini hanya menjadi gimmick branding (untuk jualan property semata). Demikian halnya dengan Kepala Center of Innovation and Digital Economy INDEF, Nailul Huda menyebut proyek Bukit Algoritma di Sukabumi sebagai pusat inovasi teknologi digital di wilayah Asia Tenggara masih berpotensi mangkrak. Karena prasarat infrastruktur dasar dan SDM masih belum teratasi. Dan banyak hal lagi “gugatan” lainnya yang menghiasi perdebatan di media sosial.

Jika yang menjadi rujukannya adalah Silicon Valley, pasti akan kontradiktif.  Mengapa demikian? Terletak di sebelah selatan San Francisco Bay Area, California, Amerika Serikat. Silicon Valley diciptakan oleh pengusaha Ralph Vaerst di tahun 1970-an. Awalnya, berasal dari sejumlah besar produsen chip silikon di kawasan itu. Lambat laun, tempat itu pun menjadi markas dan kompleks perkantoran untuk sejumlah bisnis teknologi, termasuk Apple Inc. , eBay Inc., Facebook Inc., Intuit Inc., Adobe Systems Inc., Intel Corp. dan Hewlett-Packard Co, dlsb.

Sehingga Silicon Valley menjadi tempat perkembangan inovasi yang integrative karena venture capital sebagai pemodal bagi start-up bisnis teknologi hamper sepertiganya hadir di situ. Dan yang lebih memperkuat lagi adalah institusi pendidikan tinggi terkemuka juga ada di tempat itu, seperti Universitas Stanford, Universitas Silicon Valley dan tiga kampus Universitas California. Dari sini sangat kentara bahwa ekosistem yang ada di sana memang sangat mendukung.

Lalu bagaimana sebaiknya? Sebainya perlu belajar dari India yang sukses menjadikan Bangalore (baca : Bangaluru) menjadi Silicon Valley of India. Sehingga juga memiliki sebutan dengan “IT Capital of India”. Satu hal yang menarik adalah, infrastruktur meski dengan sangat terbatas tersedia saat itu, akan tetapi puluhan perguruan tinggi berada di kawasan Bangaluru ini. Juga keberadaan perusahaan lokal yang kompeten, sehingga juga menarik investasi dari venture capital. Sehingga dari sisi SDM dan funding, tidak mengalami kekurangan resources. Tentu saat ini infrastruktur di Bangalore, standarnya lebih tinggi lagi, karena mesti men-serve worldwide. Disamping memang IT-Skill lulusan perguruan tinggi di India juga di atas rata-rata, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mereka memenuhi Silicon Valley di Bay Area itu. Bahkan eksekutif perusahaan keknologi dunia, banyak yang berasal dari India.

Dari Laporan https://thescalers.com/how-bangalore-became-asias-silicon-valley/, setidaknya ada 3 (tiga) tahapan Bangalore menjadi Silicon Valley-nya Asia, seperti sekarang ini.

1984: The Making of an IT Capital

Liberalisasi kebijakan impor dan ekspor perangkat lunak di India tahun 1984, menjadi tonggak kebangkitan industi IT di India. Hal ini, dimanfaatkan dengan baik oleh Wipro dan Infosys, perusahaan IT local India, untuk mendirikan kantor pertama kali di Bangalore dan meng-hire programmer-programmer terbaik India. Dan pada tahun 1985 Texas Instruments menjadi perusahaan Multi National Corporation yang investasi pertama kali di Bangalore.  Sebagai highlight-nya, dari instri IT ini adalah : 8% dari total GDP India berasal dari industri IT (2017), total revenue sebesar 180 M USD (2019), mempekerjakan 3,9 juta orang.

2010-2020: From back office to an R&D hotspot

Dalam dekade terakhir saja, Bangalore telah menyumbang 35% dari Global in-house center (GIC) di India. Nilai R&D yang dilakukan di India diperkirakan sekitar $ 40 miliar dan diharapkan meningkat di tahun-tahun mendatang.

Kontributor utamanya adalah pengembangan software untuk bisnis dengan biaya murah dan rendah dengan teknologi terkioni dan dikerjakan oleh programmer yang kompeten. Dimana, di Bangaluru Pusat R&D perusahaan asing juga disini. Cisco mempekerjakan 11.000 lebih orang, Roll Royce mempekerjakan 100 lebih dn Boeing memperkajan 2.500 orang lebih.

2020: The Silicon Valley of Asia

Industri TI mempekerjakan sekitar 4,1 juta orang di seluruh India dan menyumbang hampir $ 137 miliar ekspor setiap tahun – 40% di antaranya dihasilkan di Bangalore. Disamping itu juga membangun budaya start-updi Bangalore dengan kriterai : menjadi peringkat 3 start-up global, memberikan pembiayaan kepada 57% start-p di India,

Tapi masalah ekonomi saja tidak bisa menjelaskan munculnya utopia TI ini. Peningkatan keahlian teknis dan tenaga kerja multi-skill telah berperan penting, sehingga menjadikan Bangalore menjadi pusat R&D, setidaknya hal ini mewakili nama-nama perusahaan besar sepetibseperti Amazon, IBM, Microsoft, Tesco, Nokia, dan Siemens. Bahkan Tesla juga sudah merencanakan kepindahan R&D nya di Bangalore. Tidak heran, jika perusahaan-perusahaan besar IT besasr lainnya juga berkumpul dalam kawasan tersebut seperti Infosys, Oracle, Dell, Samsung R&D, HP, CGI, Nokia, Huawei dan banyak lagi.

Jika demikian, maka mimpi mendirikan silicon valley di Indonesia dengan menghadirkan Bukit Algoritma itu setidaknya perlu dikaji lebih mendalam kembali. Terutama terkait dengan feasibility study-nya harus presisi, dengan memperhatikan banyak variabel. Tidak cukup modal semangat dan ngotot, atau bahkan aji mumpung. Tentu kita menghargai setiap ide, gagasan dan upaya untuk mengadirkan yang terbaik untuk bangsa ini. Apapun itu bentuknya. Saya juga yakin untuk infrastruktur dengan kedekatan dengan penguasa, bisa jadi di geber, bangunan-bangunan megah bisa didirikan, termasuk listrik, koneksi internet dlsb. Tetapi ekosistem dan resources akan menjadi PR yang tidak mudah diselesaikan.

Akankan ini berpotensi menjadi proyek mangkrak sebagaimana prediksi INDEF, ataupun menjadi gimmick branding sebagaimana warning Gubernur Jabar, atau hanya menghasilkan bangunan mewah saja, sebab riset itu tidak memerlukan bangunan yang megah, tetapi hasilnya yang implementatif, sebagaimana perdebatan di twitter. Soal ini, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Singkatnya : optimis boleh, realistis harus.

Selamat menunggu berbuka hari ke-6

Wallahu a’lam

ekonomi, entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, Peradaban

Waqfnomics


Salah satu instrumen ekonomi Islam dengan potensi yang sangat besar adalah wakaf. Sayang hingga saat ini belum tergali dan termanfaatkan dengan optimal dan maksimal. Meski upaya untuk melakukan awareness terhadap wakaf ini terus dilakukan oleh berbagai pihak. Namun masih belum memadai. Indikasinya adalah, pemahaman umat terkait dengan wakaf, masih jauh dari harapan.

Setidaknya, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tahun 2020. Secara Nasional mendapatkan skor 50,48. Ini masuk dalam kategori rendah, skor ini terdiri dari nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67 dan nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.  Sehingga, masih jauh dari tingkat literasi zakat yang mendapatkan skor 66.78, Continue reading “Waqfnomics”