Entrepreneurship

UMKM (harus) Melawan


Belum juga buku saya beredar. Dimana dalam sub judul buku itu jelas pesannnya, yaitu : Saatnya Menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Dan itu jugamenjadi salah satu judul tulisan dalam bagian 3, Membangun Ekonomi Negeri. Dengan  sangat hati-hati dan berbasis data, saya coba urai, tentang ketimpangan yang terjadi. Dan secara empirik, diperoleh fakta, bahwa betapa lemahnya pribumi untuk mampu berdiri tegak di negeri sendiri. Dan dibeberapa bab juga saya sampaikan tetang ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya. Secara ekonomi, kebijakan ekonomi negeri ini belum berpihak kepada yang kecil, masih menjadi penyokong pemilik modal. 

Disaat saya sedangmengajak membangun kesadaran sebagaimana tersebut di atas, ironisnya, beberapa hari ini kita dikagetkan dan disibukkan dengan diluncurkannya Paket Kebijakan Ekonomi XVI, beririsan dengan berita adanya kebijakan 54 Industri (bidang usaha), dimana asing boleh menguasai kepemilikan 100% saham. Saya rasa ini kontradiktif dengan ajaan saya, di buku itu. Seharusnya negara melindungi warga negaranya dalam bentuk proteksi terhadap pengusahanya. Apalagi dalam kebijakan itu, investasi asing boleh menyasar bisnis yang selama ini menjadi garapan UMKM. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin negara, membuat kebijakan untuk “mengahibisi dan menghancurkan” UMKM di negeri sendiri, dengan regulasi yang “gila” ini. Padahal, selama ini, UMKM adalah sektor padat kerja, artinya banyak tenaga kerja yang terserap di sektor ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa UMKM, sesungguhnya menjadi benteng pengaman dalam mengurangi pengangguran. Ini bukan sekedar dongeng, namun ini fakta. Bagaimana kemudian Negara membuat kebijakan yang menselisihi urusan rakyatnya. 

Tidak jelas skema kebijakan yang di ambil pemerintah saat ini. Apakah Ada yang menyetir? Apakah ada kepentingan asing yang melatarbelakangi? Sehingga memicu reaksi dari beberapa pihak. Dalam sebuah twit-nya, mantan Menko Ekuin Rizal Ramli misalnya, berkata,” Presiden @jokowi, Mohon kebijakan yg sangat merugikan rakyat ini dibatalkan. Sama sekali tidak ada roh Trisakti dan Nawacita-nya.  Kok tega2nya ladang bisnis untuk rakyat, UKM, mau diberikan 100% sama asing ? Ini kampanye yg buruk sekali”.Saya sendiru tidak tahu, dan tidak mau mereka-reka dan berandai-andai, tentang semua itu. Yang jelas, kebijakan yang dimabil itu memaksa UMKM untuk bertarung bebas dengan pemain asing. Alih-alih memberikan perlindungan & kemudahan,  justru yang didapati adalah mencelakakan UKMK. Sadar atau tidak. Apalagi, berbagai bentuk subsidi sudah di cabut sebelumnya. Sehingga jangankan untuk lebih kompetitif, untuk sekedar survive aja, pelaku UMKM saat ini terasa berat. Belum ada rilis resmi tentang ini memang, tetapi fakta dilapangan mengkonfirmasi bahwa, kawan-kawan saya para pengusaha (terutama UMKM) mengeluhkan keadaan saat ini. Dan tidak sedikit dari mereka yang kemudian gulung tikar, atau minimal mem-freezed usahanya sampai batas yang belum jelas. Dan diantara mereka, kemudian beralih profesi, beralih kwadran menjadi karyawan, dlsb. Karena tuntutan untuk menghidupi rumah tangga, dlsb. 

Dengan kata lain, UMKM itu sebenarnya telah dilucuti kekuatannya, kemudian pada saat yang sama, dihadirkan musuh dengan kemampuan super, untuk diadu. Secara logika, maka UMKM akan nyungsep, alias kalah. Meskipun saya tetap meyakini hukum alam sebagaimana yang berlaku pada kisah David Vs Goliath alias Nabi Daud meski bertubuh kecil mampu memenangkan melawan Jalut yang bertubuh raksasa, sehingga secara fisik lebih kuat. Hanya dengan sebuah ketapel. Namun ada kata kuncinya disitu, yaitu BiidzniLlah. Atas ijin Allah. Dengan demikian maka, Meskipun kebijakan itu jelas serampangan, namun sebagai rakyat telah terbiasa dalam ujian kesabaran seperti. Atau dalam bahasa muslim yang optimis, ini adalah wahana bagi Kita untuk bisa menemukan “ketapel” dengan berbagai pendekatan stategi out of the box. Disaat yang sama, juka semakin mendekatkan diri kepada sang Khaliq, agar mampu meraih “simpati” dan mendapatkan BiidzniLlah itu. Saya memang berharap hal seperti ini terjadi. Sehingga kekuatan pribumi, kekuatan UMKM ini tidak dipandang sebelah mata. 

UKMK itu bukan tidak mau berkompetisi. Juga  bukan berarti UMKM itu manja. Atau UKMK itu takut, atau nahkan anti asing. Sekalilagi tidak. Problemnya bukan disitu. UMKM sebenarnya, dibeberapa sektor sudah cukup mampu untuk bersaing. UMKM hanya ingin ada regulai yang fair. Apalagi, jika ada regulasi yang memproteksi UMKM. Jangan sampai, seolah UMKM malah diikat, lalu didatangkan lawan yang tidak sepadan, untuk bertanding. Ini namanya tidak adil, alias dzolim. 

Saya melihat pelaku UMKM, termasuk start-up, saat ini sedang giat dan ekstra keras berusaha “naik kelas”, agar berkompetisi secara global. Tidak sedikit yang sudah berhasil, baik sebagai pelaku global atau menggaet investor asing. Mereka secara mandiri membentuk kelompok-kelompok, asosiasi dlsb, untuk saling menguatkan. Maju bersama, mengangkat martabat bangsa, melalui bisnis. Namun, jika kebijakan tersebut (yang tidak pro UMKM) diterapkan, bisa jadi akan berpengaruh terhadap perkembangan UMKM. Mereka tidak akan naik kelas. Bisa jadi tinggal kelas, atau bahkan keluar dari arena itu. Karena seharusnya tugas Negara dalah mendidik, membimbing, menguatkan UMKM dari berbagai aspek, lalu memfasilitasi dengan mengantarkan UMKM go global. Mampu bersaing di kancah internasional.

Atas fakta dan data di atas, maka tidak ada kalimat yang pantas selain LAWAN, terkait kebijakan yang ada. Kita tidak bisa membiarkan kesewenangan terhadap UMKM terjadi. Harus ada rencana yang terukur, agar UMKM benar-benar mampu menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Agar, anak-anak muda, generasi milenial, bersemangat untuk membangun start-up, membangun UMKM. Sehingga, pegiat UMKM bisa melakukan berbagai hal sebai berikut. 

Pertama,menuntut negara untuk membatalkan beleid yang tak memihak UMKM itu, sebagaimana yang telah disampaikan Pak RR di atas.

Kedua, memperkuat UMKM diberbagai sektor agar memiliki competitive advantage dan comparative advantage. Serta mendorong UMKM untuk terus melakukan inovasi, sehingga daya saingnya meningkat. 

Ketiga,menuntut negara untuk memproteksi UMKM, dengan aturan yang sifatnya affirmative policy sehingga mengantarkan UMKM menjadi Tuan di negeri sendiri.

Keempat,jika 3 (tiga) hal tersebut tidak dipenuhi, kita hukum pemerintah sekarang dengan tidak memilih lagi di Pilpres tahun depan, alias #2019GantiPresiden. Karena pemerintah sudah terbukti tidak mampu mensejahterakan UMKM, serta tidakmembuat regulasi yang berpihak ke UMKM.

Wallahu a’lam

ID 6258, 19/11/2018

CGK-BPN 

Advertisement
Kronik, Peradaban, Politik.

Kehilangan Pahlawan


Hari ini 10 Nopember. Oleh bangsa ini diperingati sebagai hari Pahlawan. Sebagai wujud penghormatan atas perlawanan arek-arek Surabaya yang gugur, sebagai syuhada dalam perang yang dahsyat di kota itu. Sebuah perlawanan yang di dorong sebagai jihad fi sabilillah. Setelah adanya resolusi jihad 22 Oktober 1945, dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai Rais Akbar NU, saat itu. Bahwa melawan tentara NICA (The Netherlands Indies Civil Administration) yang diboncengi kepentingan Belanda, yang ingin menjajah kembali Indonesia, dan Rakyat yang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan adalah jihad, dan siapapun yang gugur dalam pertempuran itu adalah Syahid. Alasan ini yang mendorong Sutomo, memimpin perlawanan dengan sangat  hebat. “Andai tidak ada takbir, saya tidak tahu, bagaimana membakar semangat pemuda-pemuda saat itu.” begitu penjelasan Bung  Tomo, mengambarkan suasana batin  saat itu  Dan  hal itu terbukti, bahwa dengan takbir yang di teriakkannya, baik melalui RRI maupun saat memimpin perlawanan, mampu memotivasi sekaligus, memberi energi perlawanan pemuda-pemuda Surabaya itu. Allahu Akbar, Allahu Akbar, menjadi tidak hanya sumber perlawanan, tetapi energi kemenangan sekaligus. Sehingga, 2 Jenderal NICA, mati dalam pertempuran itu. Sebuah korban besar, yang menjadi pukulan berat bagi Belanda.

Bung Tomo, mampu menyatukan antara nasionalisme dan Islam. Bukan sesuatu yang dipetentangkan. Bukan hal Yang harus diperhadapkan secara diametral.
Takbir, bukan hanya dijadikan simbol, namun menjadi elemen penting dalam aksi nyata. Bersenyawa dalam satu paket untuk merajut tenun kebangsaan dalam sebuah kekuatan perjuangan. Namun disisi lain, ada cerita yang menarik, yang luput dari cerita heroik itu. Bahwa dalam rombongan NICA itu ada Gurkha, yaitu pasukan bayaran dari India. Ternyata sebagian dari tentara Gurkha itu ada yang Muslim, dan olehnya tidak mau berperang melawan sesama muslimin Indonesia. Apalagi saat mendengar pekik Allahu Akbar, dalam pertempuran itu. Sebuah fragmentasi sejarah yang Indah. Continue reading “Kehilangan Pahlawan”

entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, IT

Membangun Start-Up (lagi)


Seolah tiada kapoknya. Bagi sebagian entrepreneur, membangunstart-upadalah sebuah habbits. Bukan masalah serakah, tamak, loba atau tidak puas dengan raihan yang dicapai dan sejenisnya. Tetapi keterpanggilan jiwa, sebagai manifestasi dari keingingan untuk selalu berkarya dan memberikan yang terbaik, lebih dominan yang melatarinya. Idealnya memang, dalam membangun sebuah perusahaan rintisan itu adalah setelah di didirikan, di rawat dulu, hingga menjadi perusahaan yang survive, berkembang, besar,sustainserta berpengaruh hingga IPO dan menjadi perusahaan publik (terbuka). Dan sudah barang tentu memberikan profit yang maksimal bagi share holders. Baru kemudian dikembangkan. Itu, cara kerja otak kiri katanya. Cara kerja otak kanan beda. Sebab dalam membangun bisnis, seringkali tidak linear, tetapi eksponensia. Bukan deret hitung, namun deret ukur, dan seterusnya. Sehingga, syukur-syukur start-upyang dibangun bisa mencapai derajat unicorn. Sebuah tahapan ideal bagi start-up, yang seringkali di ukur dengan valuasinya yang mencapai 1 juta dollar atau dalam kisaran 15 triliun rupiah dalam kurs hari ini. Dan parameter prestasi seperti itu, biasanya yang menjadi motivasi & impian hampir setiap start-up.Meskipun kenyataannya, dalam membangun start-upitu, tidak bisa dikaitkan langsung dengan sukses dan gagalnya bisnis sebelumnya.

Mengapa demikian? Sebab, tidak selamanya gambaran ideal itu, dapat diraih oleh semua start-up. Hanya sedikit yang bisa mencapai derajat itu. Alih-alih bisa sampai tingkatan unicorn. Untuk berkembang dan survivesaja, kerap kali sulit untuk diraih. Akibatnya, Continue reading “Membangun Start-Up (lagi)”