ekonomi, Peradaban, wakaf

Memperkuat Eksistensi Nadzir


baitul wakaf

Hasil dari survei Indeks Literasi Wakaf Nasional (IWN) tahun 2021  didapatkan nilai IWN secara Nasional 2021 adalah 0,139, meningkat tipis (0,016) dari tahun 2020 sebesar 0,123. Kategori IWN 2020 termasuk dalam level “kurang”sama seperti tahun sebelumnya. IWN adalah indeks yang dirancang untuk menjadi suatu instrumen atau alat untuk mengukur kinerja wakaf pada di suatu wilayah dari berbagai dimensi pengukuran. Faktor yang menjadi pilar tolak ukur kinerja wakaf yaitu faktor regulasi (regulation), kelembagaan (institution), proses (process), sistem (system), hasil (outcome), dan dampak (impact). Setiap faktor dalam pengukuran Indeks Wakaf Nasional memiliki indikator masing-masing.

Dari hasil IWN 2021 tersebut juga mendapatkan temuan bahwa terdapat  sebanyak dua puluh dua provinsi termasuk dalam kategori “Sangat Kurang”, lima provinsi “Kurang”, dua provinsi “Cukup”, dua provinsi “Baik”, dan terdapat tiga provinsi yang termasuk dalam kategori “Sangat Baik”. Sebelas provinsi mengalami pertumbuhan IWN yang positif, namun 23 provinsi mengalami pertumbuhan negatif Continue reading “Memperkuat Eksistensi Nadzir”

Advertisement
Dakwah, ekonomi, Islam, organisasi, wakaf

Capacity Building Lembaga Pengelola Wakaf


baitulwakaf

Rendahnya Indeks Literasi Wakaf (IWN) tahun 2021, sebagaimana laporan yang dikeluarkan oleh Badan Wakaf Indonesia bulan Maret lalu, secara tidak langsung menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan dari lembaga pengelola wakaf (nadzir), ditengarai bermasalah. Artinya, belum mampu menjadikan wakaf sebagai pemahaman ummat dan selanjutnya, meningkatkan literasi dan diikuti pula dengan kesadaran yang tinggi untuk berwakaf. Hal ini, memang tidak bisa ditimpakan kepada nadzir semata, akan tetapi juga ke regulator (pemerintah dan BWI), juga stake holder lainnya seperti ormas islam, pesantren, ustadz, ulama, kyiai dan seterusnya.

Fenomena ini, sesungguhnya menuntut nadzir sebagai lembaga pengelola wakaf, untuk melakukan intsropeksi. Salah satu wujudnya adalah dengan melakukan peningkatan kapasitas kelembagaannya (capacity building), sehingga dapat melaksanakan dengan baik peran yang melekat pada dirinya. Hal ini juga dipicu dengan adanya dinamika eksternal dan internal dari lembaga itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa capacity building itu, juga sebagai wujud dan response dari perubahan itu sendiri. Sebab, perubahan adalah sebuah keniscayaan.

Konsekwensi logisnya adalah, sebuah organisasi akan bisa dikatakan berkembang dan beradaptasi dengan perubahan hanya jika ada dukungan dari pembangunan kapasitas (capacity building) SDM yang mutlak berjalan dengan baik. Sedangkan secara ringkas, capacity building sendiri didefinisikan sebagai proses untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan (skill), sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) dari SDM dalam sebuah lembaga Continue reading “Capacity Building Lembaga Pengelola Wakaf”

entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, wakaf

Korporatisasi Wakaf


Rendahnya literasi wakaf, disinyalir sebagai kendala wakaf belum menjadi arus utama (mainstream) dalam pengembangan ekonomi syariah selama ini. Padahal potensi wakaf dari tahun ke-tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Akan tetapi dari potensi yang ada, ternyata masih sangat minim yang bisa dihimpun dan diberdayakan. Ternyata, rendahnya literasi wakaf ini terjadi hampir disemua stakeholder wakaf itu sendiri. Tidak terkecuali peran Nadzir yang sesungguhnya memegang kunci dalam pemberdayaan wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam hukum wakaf dalam berbagai madzab.

Di dalam UU No 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf, mengatur kedudukan nadzir yang sangat jelas. Dimana, yang dimaksud dengan Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pilihan diksi dikelola dan dikembangkan ini, mengidentifikasikan bahwa wakaf mesti di-manage dengan baik dan profesional sehingga hasil kelolaannya itu, akan memberikan manfaat kepada lebih banyak mauquf ‘alaih.

Dalam konteks Nadzir itu sendiri dijelaskan bisa perorangan atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Konsekwensinya adalah, siapapun dapat menjadi Nazhir sepanjang ia dapat dan mampu melakukan tindakan hukum. Kendatipun demikian, karena tugas Nazhir ini menyangkut pengelolaan harta benda yang manfaatnya harus disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya. Sehingga, jabatan Nadzir itu sendiri sudah selayaknya harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugas itu secara profesional. Tidak sembarangan, olehnya kualifikasi nadzir yang ada di UU Wakaf, mesti diperluas dengan memperhatikan konteks kekinian.

Mengubah Paradigma

Salah satu cara untuk mengungkit peran Nadzir agar memiliki daya guna dan hasil guna yang lebih besar dari cara “konvensional” sebagaimana selama ini adalah dengan melakukan perubahan yang fundamental, sistemik, dan paradigmatik dalam hal pengelolaan wakaf. Mental block yang telah mempengaruhi alam bawah sadar semua pihak bahwa wakaf itu hanya 3 M (masjid, madrasah dan makam), sudah harus diubah. Artinya selain fungsi sosial sebagaimana 3M tersebut, maka wakaf harus lebih produktif lagi. Perubahan dimaksud sudah barang tentu harus compliance dengan ketentuan syar’i. Sehingga perlu dilakukan terobosan dengan menjadikan dan menempatkan peran nadzir dalam bingkai  korporatisasi wakaf. Dimana, secara makna korporatisasi adalah proses, cara, atau  perbuatan yang menjadikan pola manajemen korporasi sebagai kendali atau acuan.

Oleh karenanya, dengan melihat fakta di atas, kedepan nadzir perorangan sudah selayaknya semakin dikurangi peranny. Karena jika nadzir dilkukan secara perorangan tidak memungkinkan untuk melakukan korporatisasi sebagaimana dimaksud. Selanjutnya semua Nadzir diarahkan kepada nadzir yang berbadan hukum. Jika masih ada nadzir perorangan, sebaiknya di-merger untuk bergabung menjadi nadzir yang berbadan hukum. Sehingga seluruh nadzir dalam mengelola harta wakaf menggunakan pendekatan korporasi.  Karena korporatisasi wakaf sejatinya adalah budaya korporasi yang diterapkan dalam pengelolaan wakaf. Dengan demikian maka, para nadzir mesti memiliki kualifikasi dan kecakapan yang memadai sebagaimana seorang profesional untuk mengelola korporasi, serta memiliki pemahahan berkenaan dengan kaidah syar’iyyah,  beserta implementasinya.

Benchmarking

Keuntungan dari korporatisasi wakaf, setidaknya Nadzir akan bekerja secara profesional dengan sistem manajemen dan tata kelola korporasi modern. Tidak dipandang hanya sebatas aktifitas sosial semata. Akan tetapi juga meliputi aktifitas ekonomi dan bisnis. Sehingga Nadzir dalam mengelola harta wakaf lebih terarah, sistemik serta memiliki target yang terukur.

Meskipun belum ideal dalam kerangka korporatisasi wakaf, akan tetapi apa yang dipraktekkan oleh Johor Corporation (J-Corp)di Malaysia bisa dicadikan benchmarking, yang patut untuk di contoh. Dimana JCorp mewakafkankan sebagian saham perusahaan miliknya untuk  dikelola oleh Nadzir yang bernama Waqf An-Nur Corporate (WaNCorp). Mereka mempraktekkan wakaf musytarak. Bidang garapnya meliputi Rumah Sakit, Pendidikan, Real Estate, Property dlsb.

Pada laporan tahunan 2020, disebutkan bahwa jumlah Aset WaNCorp adalah sebesar RM. 816,447,286. (2,8 Trilyun rupiah). Sedangkan keuntungan bersih (setelah pajak) sebesar RM.  4,743,722 (16,2 Milyar rupiah). Untuk pembagian manfaat Dana Kesejahteraan Umum Waqaf An-Nur, sebesar RM 2,054,834 (7 Milyar rupiah). Ini tidak termasuk gaji eksekutif Imam dan Bilal di Jaringan Masjid An-Nur sebesar RM 1,205,506 (4,1 Milyar rupiah) termasuk dalam total biaya administrasi.

Dengan demikian maka korporatisasi wakaf ini bukan utopis. Melainkan sebuah gagasan yang sangat mungkin untuk diimplementasikan di Indonesia. Dibutuhkan political will berupa regulasi/kebijakan yang mendukung ini, serta good will bagi umat Islam terutama para Nadzir, untuk mentransformasikan lembaga nadzirnya menuju korporatisasi wakaf. Wallahu a’lam

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXXIII/Muharram 1443/September 2021

ekonomi, Islam, Peradaban

Ekosistem Wakaf


Sebagai instrumen ekonomi Islam, keberadaan wakaf sangat strategis. Kesadaran berbagai pihak untuk menjadikan wakaf sebagai pengungkit eknomi, ditengah keterpurukan ekonomi bangsa, juga cukup bergairah. Bahkan, saat ini referensi dan bahan bacaan berkenaan dengan wakaf, juga mudah untuk di akses. Penelitian juga bertaburan di berbagai media dan jurnal-jurnal bereputasi sekalipun. Seharusnya, ini dapat meningkatkan literasi wakaf.

Sayang hasil survei yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tahun 2020, menunjukkan bahwa nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) secara nasional mendapatkan skor 50,48. Ini masuk dalam kategori rendah. Skor ini terdiri dari nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67 dan nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.  Jika dibandingkan dengan literasi zakat ternyata masih jauh. Survei tingkat literasi zakat yang dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), mendapatkan skor 66.78. Sehingga nilai ini, masuk dalam kategori tingkat literasi zakat menengah atau moderat. Artinya, umat lebih mengenal zakat dibandingkan dengan wakaf.

Keberpihakan pemerintah melalui Gerakan Nasional Wakaf Uang (GWNU) yang diluncurkan oleh Presidenn di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2021, dimana ditegaskan bahwa cakupan pemanfaatan wakaf, tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Disebutkan juga bahwa potensi wakaf senilai pertahun adalah 2.000 T, sedangkan potensi wakaf uang sendiri adalah 188 T per tahun. Dari potensi yang ada, menurut data BWI hingga per 20 Januari 2021, akumulasi wakaf uang mencapai Rp 819,36 miliar. Terdiri dari wakaf melalui uang sebesar Rp 580,53 miliar dan wakaf uang sebesar Rp 238,83 miliar.

Sebenarnya, Badan Wakaf Indonesia, sebagai regulator wakaf, juga terus menerus mengeluarkan kebijakan yang mendukung tumbuh suburnya dunia perwakafan ini. Demikian halnya berbagai cara dilakukan untuk melakukan public awareness. Termasuk menjalin kerjasama dengan berbagai kampus, serta korporasi, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama juga diluncurkannya produk-produk baru yang berkenaan dengan wakaf, yang sesuai dengan perkembangan jaman. Namun masih belum dapat menjawab beberapa kendala terkait dengan minimnya literasi, tata kelola, portofolio wakaf, hingga kemudahan cara berwakaf.

Agar menjadikan wakaf sebagai bagian dari motor penggerak ekonomi, maka menurut hemat penulis, mesti dibangun sebuah ekosistem wakaf yang melibatkan berbagai stakeholeder dari wakaf itu sendiri. Secara ringkas pihak-pihak yang terlibat dalam membanguin ekosistem wakaf yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Pertama, Pemerintah. Memiliki peran untuk menyusun regulasi yang terkait dengan wakaf. UU No 41 tahun 2014 dan PP 42 tahun 2006 dan regulasi turunannya  merupakan wujud peran pemerintah disini. Melalui Kemenag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang. Juga, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang.  Sedangkan Melalui KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah), juga telah menjadikan wakaf bersama dengan ZIS menjadi salah satu kekuatan keuangan ekonomi syariah

Kedua, BWI. Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Badan ini dibentuk dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. BWI juga mengeluarkan regulasi melalui Peraturan BWI yang intinya bagaimana mendorong ekosistem wakaf terus berkembang di Indonesia. Serta menginisiasi dan menghasilkan produk-produk wakaf kekinian. Disamping itu, BWI juga dapat berperan untuk mengeluarkan standarisasi nadzir (pengelolaan wakaf). Selain itu juga bisa membangun proyek wakaf bersama yang monumental dengan melibatkan nadzir-nadzir yang ada.

Ketiga, MUI. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 11 Mei 2002 telah mengeluarkan Fatwa tentang Wakaf Uang. Di dalam dokumen fatwa tersebut dijelaskan wakaf uang (cash wakaf/waqf al-Nuqud) merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga Fatwa No. 106/DSN-MUI/X/2016, tentang wakaf polis asuransi. Dari sini mempertegas bahwa peran MUI selanjutnya adalah mengeluarkan Fatwa yang mendukung setiap kebijakan berkenaan dengan implementasi berbagai produk wakaf.

Keempat, Ulama/Da’i/Mubaligh. Salah satu hal mengapa rendahnya literasi wakaf? Ternyata memang umat sangat minim edukasi berkenaan dengan wakaf ini. Hal ini, dapat dilihat dengan sedikitnya ceramah, khutbah, pengajian, majelis taklim dlsb yang membahas tentang wakaf. Olehnya, ulama’/da’i/mubaligh perlu ditingkatkan literasi wakaf yang memadai terlebih dahulu, sehingga akan menyampaikan ke jama’ahnya. Baik dari aspek fiqh hingga pada tataran impementasinya.

Kelima, Ormas Islam. Peran ormas Islam menjadi kunci, karena memiliki anggota/jama’ah/pengikut yang akan mengikuti arahan dan kebijakan dari ormasnya. Sehingga dari sisi awareness kepada anggotanya akan bisa lebih cepat dan terukur. Disisi lain banyak harta wakaf yang di miliki oleh Ormas Islam  ini. Oleh karenanya perlu dijadikan pilot project dari implementasi wakaf yang komprohenship dan integrative, sehingga bisa dicontoh oleh anggota dan jaringannya.

Keenam, Lembaga Pendidikan. Ternasuk disini adalah Sekolah, Pesantren dan Perguruan Tinggi. Dimulai dari membangun kesadaran (awareness), menanamkan pemahaman kepada pelajar/mahasiswa akan menjadikan sebaiknya dilakukan sejak dini. Dan ada upaya untuk mulai belajar mengimplementasikannya, dimulai dari sekala kecil. Sedangkan untuk perguruan tinggi, dapat dibangun semisal wakaf center atau pusat kajian wakaf. Sebagai tempat untuk belajar, meneliti dan mengkaji tentang wakaf, sehingga meghasilkan berbagai kajian yang berkaitan dengan wakaf. Dan juga bagi pengelola lembaga pendidikan mulai membangun endowment fund berbasis wakaf untuk dana abadi masing-masing lembaga pendidikan tersebut.

Ketujuh, Institusi Bisnis. Pelibatkan institusi bisnis sangat strategis. Karena pengusaha yang mengendalikan bisnis juga mesti faham tentang wakaf. Terlebih adanya wakaf saham, yang saat ini juga sudah mulai menjadi trend. Sehingga menjadikan institusi bisnis dan pengusaha akan memberikan daya dukung yang sangat signifikan bagi pengembangan wakaf ini.

Kedelapan, Nadzir. Satu hal yang menjadi kendala dalam pengelolaan wakaf adalah nadzir. Sebagai pengelola dari harta wakaf, selain faham tentang fikih, hukum dan regulasi tentang wakaf, juga dituntut faham bisnis. Karena hakekatnya, pengelolaan harta wakaf juga mesti dikelola sebagaimana mengelola bisnis. Olehnya dituntut profesionalisme disini. Setiap akan implementasi/investasi dalam proyek wakaf, mesti ada feasibility study yang memadai. Sehingga setidaknya mesti ada fund manager dan investment manager, atau yang memerankan funsi itu di setiap nadzir. Dengan demikian maka, semua parameter dalam bisnis, juga diterapkan dalam wakaf, dengan tetap mengikuti kaidah syar’i dan regulasi yang ada. Sehingga Nadzir juga akan menjadi salah satu profesi yang menjanjikan.

Kesembilan, Wakif. Rendahnya tingkat literasi wakaf, sesungguhnya juga menggambarkan rendahnya para pewakaf (wakif). Sehingga peningkatan literasi wakaf ini menjadi kunci. Ada edukasi yang terprogram bagi calon wakif. Jika edukasi terhadap wakif ini memadai, maka wakaf dengan seluruh produk-produk turunannya, akan mudah dipelajari dan disambut dengan baik oleh wakif.

Kesepuluh, Mauquf ‘alaih. Pihak penerima manfaat (mauquf alaih), juga mesti teredukasi dan terseleksi. Sehingga dana hasil kelolaan wakaf yang disalurkan ke mauquf ‘alaih ini akan memberikan manfaat yang besar dan selanjutnya akan menjadikan mauquf ‘alaih semakin berkembang. Dan salah satu tujuan dari wakaf untuk aspek sosial-ekonomi juga akan tercapai.

Untuk membangun ekosistem wakaf ini tidak mudah membutuhkan effort yang cukup besar. Akan tetapi jika ekosistem wakaf sudah dibangun sebagaimana dalam gagasan ini, maka akan dapat menjawab tujuan dan fungsi wakaf yang tertuang dalam UU No 41 tahun 2004 yaitu untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya dalam rangka mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wallahu A’lam

ekonomi, Entrepreneurship, Islam

Menggagas Kemandirian Pesantren


Tadi malam, Selasa 27/4/2021, diundang untuk mengisi Kajian Ramadhan oleh Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I) secara daring Via Zoom. Tema yang ditawarkan kepada saya adalah Menggali Potensi Sumber Pendanaan (Kemandirian) Pesantren (Best Practice Pesantren Hidayatullah). KH. Dr. Tata Ali Taufik selaku Ketua Dewan Pengurus P2I langsung memandu acara ini.

Kajian Ramadhan oleh P2I ini, dihadirkan pada Ramadhan kali ini, dengan menghadirkan pembicara dari berbagai narasumber dan latar belakang, untuk mendapatkan bekal bagi P2I dalam rangka merumuskan konsep dan strategi kemandirian dan keunggulan Pesantren pada tahun 2045. Sebuah cita-cita yang mulia yang patut didukung oleh semua stake holder umat Islam.

P2I sendiri merupakan organisasi massa nirlaba mewadahi para praktisi dunia pendidikan pesantren dari berbagai penjuru tanah air, bersifat nonpartisan berazaskan Islam berdasarkan Pancasila dan UUD RI 45.

Jam 20.50 WIB acara di mulai. Saya memaparkan materi berjudul Kemandirian Pesantren Dengan Pendekatan Closed Loop Economy Berbasis Wakaf. Seperti biasa dimulai dengan memperkenalkan diri dan organisasi beserta jaringan dan kegiatannya. Kemudian keberadaan jaringan pesantren Hidayatullah yang ada di 620 pesantren, di 34 propinsi dan di 374 Kabupaten/Kota. Sekitar Ada 85 ribu santri/mahasantri dan 5.500 ustadz/guru/pengasuh. Dari data singkat ini, sesungguhnya telah menggambarkan cakupan ekonominya.

Ada model generik dan siklus ekonomi yang selama ini lazim diimplementasikan di pesantren-pesantren di Indonesia. Model tersebut setidaknya dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Model Generik dan Siklus Ekonomi Pesantren

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa, sumber pendanaan pesantren digambarkan bersumber dari : SPP, Uang Gedung, ZISWAF, Donatur, Dari Unit Bisnis/Kopontren, Bantuan Pemerintah, dll. Demikian juga pemanfaatan masing-masing dana tersebut biasanya juga sudah dialokasikan sesuai dengan gambar tersebut di atas. Alokasinya biasanya secara generik diperuntukkan untuk : Sarana dan Prasaran, Operasional Pendidikan, Kesejahteraan (Ustadz/Guru/Pengasuh), Bea Santri dan Pengembangan. Selanjutnya, dari gambar tersebut di atas, setidaknya kita akan paham bahwa, yang seharusnya memberi kontribusi tebesar., karena setiap alokasi ada, adalah dari Kopontren/Bisnis. Sehingga wajar, jika kegiatan perekonomian di Pesantren ini mesti di kejar. Tanpa meninggalkan core dari pesantren tersebut, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam dengan seluruh kurikulum dan manajemen pengelolaan di dalamnya.

Dalam kesempatan tersebut, saya juga menawarkan konsep pendekatan closed loop economy dengan wakaf sebagai basisnya. Pendekatan ini dilakukan, mengingat bahwa mayoritas Pesantren itu berdiri di atas tanah wakaf. Dan biasanya juga terus mendapat amanah wakaf. Akan tetapi belum optimal dalam pemanfaatannya. Sehingga secara ringkas tawaran saya tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Close Loop Economy berbasis Wakaf

Ini membutuhkan pembahasan yang agak panjang. Tetapi secara sederhana adalah, bahwa sumber daya wakaf yang ada mesti dapat dihimpun dan dikelola dengan profesional oleh nadzir yang profesional pula. Sehingga perlu ada fund manager di lembaga kenadziran yang merumuskan dan mengeksekusi pengelolaan dan kemana harus investasi. Kemudian bisa kolaborasi dengan LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah-Pengelola Wakaf Uang) serta investor lainnya, untuk menginvestasikan dana wakaf (terutama wakaf uang dan wakaf melalui uang) dalam bentuk investasi seperti Saham, Sukuk, Reksadana Syariah yang menggnakan akad Syariah dan Low Risk dan lain sebagainya.

Disamping itu, juga bisa memanfaatkan wakaf asset, untuk dikelola dengan investor lain, dengan membentyuk korporasi. Sehingga bentuk pengelolaan investasinya dapat berupa : Perkebunan, Peternakan, Pertanian, Sekolah, Pesantren, Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, apartemen, Hotel, Laboratorium, Pabrik Pengolahan dlsb. Bahkan saya berseloroh, wakaf kapal selam pun juga bisa. Artinya, konsep ini bisa dikembangkan oleh masing-masing pesantren, terhadap potensi apa yang paling prospektif di daerahnya.

Selanjutnya saya juga memberi warning, berupa kunci-kunci sukses agar konsep ini bisa berjalan dengan baik. Key Success Factor tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Key Success Factor

Dari key success faktor tersebut di atas yang perlu saya tekankan adalah, adanya edukasi ke wakif, sehingga melahirkan pemahaman tentang wakaf. Agar tidak hanya sebatas 3 M saja (Masjid/Mushola, Makam dan Madrash), tetapi implementasi wakaf, lebih dari itu. Lengkap dengan pemahaman regulasi dan fiqh di dalamnya.

Kemudian dukungan dari pemerintah, pesantren dan Kyai. Yang lebih saya tekankan adalah bahwa pesantren (Yayasan) dan kyai mesti memiliki pemahaman dan keberpihakan disini. Bahkan harus menjadi pendukung utama.

Profesionalitas Nadzir ini dimaksudkan bahwa, pesantren harus mendaftarkan nadzirnya ke kemenag atau bisa bekerjasama dengan nadzir lainnya. Dimana sebagaimana pada penjelasan pada gambar sebelumnya, bahwa fungsi nadzir ini, sebagaimana mengelola bisnis. Menggunakan parameter dan pendekatan bisnis. Meski semua tetap berada pada koridor syar’i yang ada.

Kebijakan pesantren berupa pembagian yang jelas terkait kepemilikan asset. Apakah wakaf, SHM, HGU, HGB, HP dlsb. Dan untuk wakaf, tidak bisa hanya berupa ikrar wakaf saja, akan tetapi mesti diurus sampai mendapatkan sertifikat wakaf.

Strategi Investasi ini, sesungguhnya melekat pada profesionalitas nadzir yang harus ada fund managernya, serta adanya dukungan dari Kyiai dan juga Kebijakan pesantren. Sehingga resiko yang timbul di kemudian hari dapat di kalkulasi/dihitung (Risk Calculation).

Selanjutnya harus melakukan kolaborasi dengan berebagai pihak sebagaimana dijelaskan pada gambar sebelumnya. Sehingga dapat membangun “proyek bersama” yang melibatkan berbagai pihak. Sehingga ada sinergi yang akan menghasilkan kelolaan wakaf ini lebih bermanfaat dan bernilai.

Dan sebagai ujungnya adalah, bagaiaman mauquf ‘alaih (penerima manfaat) dapat berdaya dengan hasil kelolaan yang efektif dan efisien.  

Saya menyadari bahwa pada tataran implementasi, tidak semudah dan sesederhana dari konsep yang di tawarkan di atas. Hal ini  ternyata justru memantik diskusi cukup menarik. Karena rata-rata peserta adalah para pimpinan pesantren, sehingga pertanyaan cukup tajam. Dari mulai mempertanyakan konsep, melakukan tabayun, menyampaikan realitas yang terjadi di lapangan serta mempertanyakan berbagai hal yang terkait teknis pelaksanaan. Meski pertanyaannya sangat dan tajam, semuanya soalan tersebut bisa secara bersama-sama dapat dijawab dan dicarikan jalan keluar. Dan In Syaa Allah kedepan akan dilakukan pertemuan secara offline, jika COVID sudah berlalu.  Tepat pukul 22.37 WIB acara secara resmi di tutup. جَزَاكُمُ اللهُ.