Dalam kesempatan berbeda, beberapa kali saya diskusi dengan anak-anak saya dan juga dengan para kemenakan. Mereka semua generasi milenial. Ada yang sudah nikah, ada yang masih singel. Ada yang sudah lulus kuliah, sedang kuliah dan generasi Z yang masih duduk di bangku SMA. Saya sebenarnya ingin menyelami persepsi mereka tentang banyak hal, tentang kehidupan beragama, tentang perpolitikan, tentang posisi generasi milenial sendiri, tetutama tentang achievementapa yang ingin mereka capai termasuk pilihan profesinya ke depan.
Saya biasanya mendongeng berbagai hal, berkenaan pemahaman dan pengalaman saya sebagai generasi X, yang mencoba sok tahu tentang milenial, yaitu generasi Y, Z dan sesudahnya. Seperti biasa alur ceritanya seringkali mengejutkan. Kadang serius dengan deretan teori dan data, lalu dilanjutkan dengan realitas kekinian dan prediksi ke depan. Continue reading “Digital Nomads”→
Saya seringkali mendapat berbagai jenis infografis, dari media sosial tentang bagaimana posisi berbagai negara dalam hal literasi. Melihat data yang diolah dalam bentuk infografis yang sebenarnya menarik tersebut, tetap saja menunjukkan bahwa data yang ditampilkan adalah sebuah kenyataan yang mengecewakan. Terutama jika dikaitkan dengan keberadaan Indonesia dalam infografis tersebut. Yaitu sebuah data yang menunjukkan tingkat literasi bangsa ini sangat rendah, dibanding dengan berbagai negara lain. Dari 61 Negara yang di survey, Indonesia berada pada urutan ke 60. Satu tingkat di bawah Botswana. Negeri miskin di benua Afrika itu. Meski telah diulas beberapa kali, dari berbagai sudut dan oleh banyak penulis yang membahas tentang literasi ini. Namun bagi saya, topik dan bahasan tentang ini seolah tidak ada bosannya untuk di ulas. Sebagainama kita ketahui, literasi adalahkemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Selanjutnya kita perlu mengkaji, mengapa urutan 1 sampai 5, di dominasi oleh negara-negara Skandinavia. Secara berurutan dapat dilihat sebagai berikut : 1) Finlandia, 2) Norwegia, 3) Islandia, 4) Denmark, 5) Swedia. Kok, bukan negara-negara Islam misalnya. Padahal, wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW, di gua Hira adalah Surat Al Alaq 1-5, yang diawali dari Bacalah!. Sebuah fiil amr(kata kerja perintah). Konsekwensinya, membaca adalah sebuah kewajiban. Membaca dalam arti yang luas. Tidak hanya membaca teks, namun juga konteks. Bukan hanya yang tersurat, namun yang tersurat, dan seterusnya. Mafhum mukhalafahnya, seharusnya Umat Islam, menjadi pioneerdalam “membaca” dan turunannya, sebagaimana tuntutan dari literasi itu sendiri. Dan sebagai mayoritas negeri ini, maka seharusnya bangsa ini, literasinya juga dalam ranking tertinggi. Mengapa justru negara-negara Skandinavia, yang terkenal dengan viking-nya itu, yang mendominasi sebagai negara-negara “pemakan” buku terbanyak?
Apa yang sebenarnya terjadi di dunia Islam? Mengapa juga negara-negara Timur Tengah (Arab) juga tidak menempati peringkat tertinggi dalam literasi? Padahal, menurut Firas Al Khateeb dalam bukunya The Lost of History, menyebutkan bahwa, pada abad pertengahan, Islam menjadi pusat Ilmu. pusat teknologi dan lebih dari itu adalah pusat peradaban. Dimana, saat itu bangsa Eropa, berbondong-bondong ke Turki dan negara Timur Tengah lainnya, untuk belajar iptek dan berbagai jenis ilmu yang sedang tumbuh subur di dunia Islam. Pada saat itu, bukan dinamakan seorang cendekiawan/intelektual jika tidak bisa berbahasa Arab. Bersebab, semua sumber ilmu pengetahuan adalah berbahasa Arab. Termasuk berbagai ilmu pengetahuan berbahasa Yunani, semua tersedia dan diterjemahkan dalam berbahasa Arab. Artinya saat itu negara-negara Islam sudah barang tentu unggul dalam literasi. Membaca dan menulis dalam satu paket.
Belum lagi jika kita membaca bagaimana Baitul Hikmah, sebuah perpustakaan tersebar dalam sejarah Islam saat Khalifah Al Makmum. Dimana koleksi bukunya jutaan judul. Dan saat itu bagaimana seorang khalifah menghargai penulis buku, dengan memberi imbalan tulisannya dengan emas, yang ditimbang seberat buku/tulisan yang dikarangnya. Artinya betapa Islam menjunjung tinggi dan sangat menghargai ilmu pengetahuan. Hal-hal di atas bukan untuk membanggakan masa lalu, tetapi bagaimana kita melihat masa keemasan Islam, disaat Barat sedang Dark Age itu adalah fakta. Dan mengapa seolah kini menjadi sebaliknya? Faktanya, Islam nampak jauh tertinggal diberbagai aspek kehidupan. Selanjutnya kita berusaha untuk menjawabnya secara ideologis paradigmatik.
Jika saat ini literasi umat Islam tertinggal dengan Barat, tentu ada something wrongatau bisa jadi semacam missing link dari sumber ke-islaman. Sebab dalam perkembangannya terjadi ketidaklinearan dengan realitas. Dan ini hampir terjadi disemua aspek kehidupan. Pasti ada yang salah. Saya meyakini, bukan ajarannya yang salah, tetapi penganutnya yang bermasalah. Meski banyak sudah bahasan tentang ini, namun salah interpretasi umat ini yang harus diperbaiki, secara revolusioner. Jika tidak, akan semakin jauh tertinggal.
Jalan Keluar
Al Islamu mahjubul bil muslimin. (ajaran) Islam itu tertutupi oleh perilaku kaum muslimin. Begitu pendapat Syaikh Muhammad Abduh. Sedangkan Syaikh Syakib Arsyalan dengan bahasa lain menyatakan bahwa, kaum Yahudi dan Nasrani maju karena meninggalkan kitab sucinya, sementara umat Islam tertinggal karena meninggalkan al-Qur’an.
Dengan demikian maka, kata kuncinya adalah umat Islam harus meluruskannya pemahaman tentang ajaran Islam yang benar. Dan salah satu kuncinya adalah kembali ke al-Qur’an. Pertanyaannya kemudian adalah, mana ajaran Islam yang benar dan bagaimana cara kembali ke al-Qur’an.
Sudah barang tentu pertanyaan diatas bisa berjilid-jilid jawabnya. Dan menjadi diskusi berjilid-jilid yang menarik. Karena banyak sudut pandang dan pendekatan yang bisa ditawarkan. Namun secara ringkas bisa di simpulkan begini, jadikah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Hadits Nabi sebagai petunjuk teknis. Sirah Nabi sebagai panduan operasional. Kehidupan sahabat, tabiin, tabiut tabiin, sebagai benchmarking, masa kekhalifahan hinga kini sebagai referensi. Dan dikontekstualkan serta diimplementasikan dalam kehidupan sekarang dan masa depan, berdasarkan panduan tersebut di atas. Dengan demikian insya Allah, al Islamu ya’lu wala yu’la alaihi(Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya) akan terwujud disemua aspek kehidupan. Termasuk masalah literasi ini.