
Saat ini, kejadian apapun juga, akan melahirkan pengamat dan ahli baru. Di mana sebenarnya secara akademis dan jejak digitalnya, orang tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan yang linear untuk itu. Namun, seolah dia yang paling tahu segalanya : Politik, Ekonomi, Sosial, Agama, dlsb . Dan anehnya, memang setiap kejadian dengan berlainan topik, bisa dengan cepat meresponnya. Hal yang terbaru adalah ketidaksamaan penetapan 1 Dzulhijjah 1443 H, yang berimbas pada pelaksanaan Sholat Idul Adha.
Sebenarnya hal itu (orang memiliki banyak ilmu), dulu menjadi sesuatu yang biasa dan wajar, bahkan melekat langsung pada seorang berilmu. Namun kemudian berubah setelah keilmuan dibagi menjadi lebih dispesifikasikan dalam berbagai batasan yang kaku, dan mengerangkengnya. Dan semakin kesini, semakin lebih spesifik lagi. Sekularisasi keilmuan menjadi penyebabnya.
Mengapa demikian? Sebab, sebagaimana dalam berbagai referensi, maka banyak sarjana Muslim di abad pertengahan, memerankan peranan ini. Ketika Barat menamakan dirinya dalam Dark Age, maka ilmuwan Islam berada dalam era Golden Age. Para sarjana Muslim itu, menemukan dan merumuskan serta mempraktekkan berbagai jenis keilmuan. Pada saat yang sama, seolah mereka menjadi eksiklopedi berjalan, dengan berbagai multidisiplin keilmuannya itu. Hal ini, apa yang kemudian oleh Barat di sebut sebagai polymath (polimatik). Yaitu seseorang yang pengetahuannya tidak terbatas hanya pada satu bidang keilmuan. Continue reading “Ketika Pakar Tak Berpengaruh Lagi”