”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami.”
Meskipun beberapa waktu lalu, BPS menyampaikan bahwa rasio gini indonesia telah mengalami perbaikan, namun dari data yang ada, masih menunjukkan adanya ketimpangan kesejahteraan, antara si kaya dan si miskin. Kondisi ini, dari tahun ke tahun sebenarnya mengalami fluktuasi dan trends yang fluktuatif. Artinya, semakin hari kondisi negeri ini, masih belum mampu mengatasi dan mentas dari ketimpangan. Bahkan, Menurut Pak JK, kondisi ini merupakan lampu kuning bagi kehidupan bernegara di Indonesia. Mengapa demikian? Sebagaimana kita ketahui bahwa Indeks Gini atau koefisien Gini adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Ini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Sehingga singkatnya, indeks gini ini juga merupakan salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistribusikan di antara populasi. Ukuran ini pertama kali dikembangkan oleh statistisi dan ahli sosiologi Italia bernama Corrado Gini dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam makalahnya berjudul “Variability and Mutability”.
Indeks Gini memiliki kisaran 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan distribusi yang sangat merata yaitu setiap orang memiliki jumlah penghasilan atau kekayaan yang sama persis. Nilai 1 menunjukkan distribusi yang timpang sempurna yaitu satu orang memiliki segalanya dan semua orang lain tidak memiliki apa-apa.
Berdasarkan hal tersebut, maka ada hitungan yang di pakai untuk mengukur ketimpangan suatu Negara yaitu :
G < 0.3 ————————-artinya ketimpangan rendah
0.3 ≤ G ≤ 0.5 ——————artinya ketimpangan sedang
G > 0.5 ————————-artinya ketimpangan tinggi
Dengan rasio di sekitar angka 0,4, mengindikasikan bahwa Indonesia telah berada pada ketimpangan yang sedang, namun jika tidak di manage dengan baik, akan bisa tergelincir ke rerata ketimpangan yang tinggi. Realitas di lapangan, memang menunjukkan, ketimpangan itu sebagaimana langit dan sumur. Disisi lain indeks gini yang seperti ini, bisa juga mengancam Negara Indonesia menjadi fail country (negara gagal), sebab disparitas akan melahirkan kecemburuan sosial. Dan ini merupakan bahan bakar yang paling efektif untuk meledakkan kerusuhan dan bahkan tidak mungkin akan mengarah ke revolusi sosial. Apalagi jika di tambahi dengan praktek-praktek pejabat yang korup, arogan dan ketidak mampuan negara dengan seluruh aparatnya, dalam mengelola pemerintahan.
Cita-cita Negara
Sebagai sebuah Negara berdaulat, tentu Indonesia yang didirikan oleh founding fathers bukan tanpa tujuan dan cita-cita. Sebab tidak mungkin para pejuang dan para pahlawan mau berjuang mengorbankan jiwa dan raganya dengan darah dan air matanya, jika kemudian apa yang di perjuangkan dan dikorbankan itu, tidak memiliki tujuan yang jelas. Meskipun sesungguhnya merdeka, adalah cita-cita yang tertinggi yang ingin diraihnya. Lalu, apa setelah kemerdekaan di dapat. Tentu dalam konteks ini adalah, untuk mendapatkan kemerdekaan yang hakiki dalam setiap aspek kehidupan. Terbebas dari berbagai bentuk penjajahan, baik dalam makna leksikal dan gramatikal.
Pernyataan tersebut, dengan sangat jelas dan gambling, dituangkan dalam Pembukaan UUD’45 di alenia ke-2, yaitu : “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Artinya, para pejuang sejak jaman pendudukan kolonial sampai dengan kemerdekaan itu, mengerucutkan cita-citanya dalam inti kalimat yaitu : merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sesungguhnya, 4 (empat) hal itu, menurut saya, sebagai beberapa prasyarat menuju terwujudnya Negara Kesejahteraan. Sebuah cita-cita, berupa pernyataan yang menuntut kenyataan. Dan kesemuanya itu, di dasari dalam alinea pertama pembukaan UUD’45, yaitu di bingkai dalam pernyataan “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa…”
Negara Kesejahteraan
Negara kesejahteraan biasanya didefinisikan sebagai suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong.
Dalam bidang ekonomi setidaknya ada 4 fungsi negara, yaitu sebagai penjamin (provider) kesejahteraan rakyat, negara sebagai pengatur (regulator), negara sebagai pengusaha (entrepreneur) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan negara sebagai wasit (umpire) untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation). Fungsi negara seperti yang dikatakan oleh W. Friedmenn tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dalam faham negara kesejahteraan negara boleh campur tangan dalam bidang perekonomian. Berbeda dengan negara kesejahteraan, negara penjaga malam berpendirian bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam bidang perekonomian. Doktrinnya Laissez Faire (leave it -economic system- alone), yakni ajaran yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat meningkat bila pemerintah tidak ikut campur mengurusi perekonomian. Semboyannya adalah “Pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang tidak mencampuri urusan perekonomian” (The least government is the best government). Ideologi utama negara penjaga malam adalah unsur kapitalisme. Meskipun, kemudian kapitalisme, tidak mampu bertahan dalam konsep awalnya, dan terus ber-evolusi, sampai pada kapitalisme 4.0. Yang masing-masing terpaksa harus berubah karena situasi eksternal yang berubah. Dan sekaligus menegaskan bahwa konsep kapitaslime, sebagai jawaban atas model negara kesejahteraan adalah omong kosong belaka.
Demikian juga, ilusi sosialisme-komunisme, yang di lahirkan untuk menciptakan kesejahteraan dengan ekonomi sentralistik. Hak individu di pangkas. Negara melakukan nasionalisasi asset dengan harapan menciptakan lapangan usaha sebesar-besarnya bagi rakyatnya. Melakukan redistribusi asset, pertentangan kelas, dan seterusnya. Ternyata pada akhirnya kolaps juga. Tidak ada kini Negara yang murni menerapkan sosialisme. Mungkin sekedar tunjuk jari Rusia dan pecahannya, Negara-negara Eropa Timur, beberapa Negara di Amerika Selatan, juga Negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dlsb, adalah produk gagal dari sosialisme/komunis itu. Bahkan China yang konon disimbolkan sebagai kekuatan sosialisme yang masih ada, faktanya dalam politik memang tetap melakukan praktek sosialisme, dengan partai tungal sebagai penguasanya, namun dalam praktek ekonomi, mereka mengadopsi habis laku kapitalisme.
Negara Kesejahteraan Ideal
Islam menawarkan konsep Negara kesejahteraan yang cukup ideal. Bahkan bukan hanya konsep di atas kertas, tetapi telah terwujud. Jika alat ukur rasio gini diterapkan saat itu, maka bisa jadi akan didapatkan angka koefisian setara 0,0. Karena tidak ada ketimpangan saat itu. Jika ukuran ketimpangan adalah angka kemiskinan. Sedangkan angka kemiskinan itu, dilihat dari orang yang tidak mampu, dan kemudian menerima sumbangan dari negar ataupun pihak lain. Maka saat itu, tidak ada satupun itu ditemui di Negara itu.
Ketika itu tidak dapat ditemukan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Sehingga Negara mengalamu anggaran yang surplus luar biasa, dan rakyat sejahtera. Rakyat di berikan contoh oleh pemimpinnya yang sederhana, rela berkorban, jujur, tidak korup, dan lain sebagainya. Rakyat memiliki figure yang patut di contoh. Bukan hanya pada aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, praktek-prektek ibadahnyapun, menjadi contoh rakyatnya ketika itu. Sehingga model pemimpin seperti ini, akan sangat efektif dan efisien. Tindak-tanduknya seolah sebuah perintah, tanpa harus ada teriakan dan surat tugas, dan lain sebaginya.
Gambaran di atas itulah, Islam di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, cucu dari Umar bin Khaththab. Yang mampu menghadirkan model Negara kesejahteraan yang paling ideal. Ada banyak kebijakan politik yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz dalam memerintahkan negaranya, dapat dilihat disini, di antaranya adalah : Menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk menyejahterakan umat. Tekad Umar bin Abdul Aziz untuk menyejahterakan rakyatnya dan menegakkan keadilan adalah prioritas utama. Fathimah binti Abdul Malik, istrinya, pernah menemuinya sedang menangis di tempat shalatnya. Lalu istrinya berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapi hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Rabbku kelak akan menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Rabbku. Itulah yang membuatku menangis.”
Keseriusan Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan dapat disimak dalam tafsir yang ditulis Ibnu Abi Hatim. Dalam kitab itu disebutkan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memanggilnya dan berkata, ”Katakan kepadaku tentang keadilan.”
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata, ”Engkau telah menanyakan suatu perkara yang sangat besar. Jadilah engkau kepada anak kecil laksana seorang ayah, dan kepada orangtua laksana seorang anak kecil. Sedangkan kepada yang sebaya laksana seorang saudara, demikian pula kepada kaum wanita. Berilah manusia sanksi sesuai dengan kesalahanya, dan sesuai dengan kondisi fisiknya. Janganlah kamu memukul seseorang dengan satu cemeti pun karena kemarahanmu, sehingga kamu akan dianggap sebagai orang yang melampaui batas.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, para penggembala domba dan kambing berkata, ”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami.”
Musa bin A’yun bercerita, ”Kami pernah menggembalakan domba-domba kami di Karman pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Saat itulah antara serigala dan domba berada di satu tempat. Namun, pada suatu malam kami mendapatkan seekor serigala telah memangsa seekor domba. Maka saya katakan, ’Pasti lelaki saleh itu kini telah meninggal. Lalu mereka mengaitkan kejadian itu dengan hari wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang ternyata dia memang meninggal di malam saat serigala mulai memakan domba.”
Kisah ini dapat dimaknai bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz umat dan masyarakat hidup dalam keadaan sejahtera dan berkecukupan. Keadilan ditegakkan. Sehingga tidak ada orang yang merasa dizalimi atau dicurangi yang mengakibatkan munculnya pertikaian dan tindak kriminalitas.
Selama pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, umat dan masyarakat berada dalam kemakmuran. Tidak ada orang miskin dan terabaikan. Tak ada orang yang kelaparan. Semuanya hidup serba kecukupan. Hal ini diungkapkan oleh Umar bin Usaid, ”Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, ’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’ Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.”
Jadi inilah contoh kongkrit Negara Kesejahteraan Ideal. Yaitu, merupakan integrasi yang komplet dari berbagai sisi, baik dari konsep kenegaraan, pemimpin yang menegakkan keadilan, bisa di contoh, rakyat yang taat dan berdaya dlsb, dimana kesemuanya itu berada dalam bingkai ke-imanan kepada Allah SWT. Dimana, jika alat ukur negara modern yang ditemukan belakangan dan di terapkan saat itu, pastilah memberikan angka yang fantastis. Jadi Ini bukan mimpi, ini kenyataan.