entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, wakaf

Korporatisasi Wakaf


Rendahnya literasi wakaf, disinyalir sebagai kendala wakaf belum menjadi arus utama (mainstream) dalam pengembangan ekonomi syariah selama ini. Padahal potensi wakaf dari tahun ke-tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Akan tetapi dari potensi yang ada, ternyata masih sangat minim yang bisa dihimpun dan diberdayakan. Ternyata, rendahnya literasi wakaf ini terjadi hampir disemua stakeholder wakaf itu sendiri. Tidak terkecuali peran Nadzir yang sesungguhnya memegang kunci dalam pemberdayaan wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam hukum wakaf dalam berbagai madzab.

Di dalam UU No 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang wakaf, mengatur kedudukan nadzir yang sangat jelas. Dimana, yang dimaksud dengan Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pilihan diksi dikelola dan dikembangkan ini, mengidentifikasikan bahwa wakaf mesti di-manage dengan baik dan profesional sehingga hasil kelolaannya itu, akan memberikan manfaat kepada lebih banyak mauquf ‘alaih.

Dalam konteks Nadzir itu sendiri dijelaskan bisa perorangan atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Konsekwensinya adalah, siapapun dapat menjadi Nazhir sepanjang ia dapat dan mampu melakukan tindakan hukum. Kendatipun demikian, karena tugas Nazhir ini menyangkut pengelolaan harta benda yang manfaatnya harus disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya. Sehingga, jabatan Nadzir itu sendiri sudah selayaknya harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugas itu secara profesional. Tidak sembarangan, olehnya kualifikasi nadzir yang ada di UU Wakaf, mesti diperluas dengan memperhatikan konteks kekinian.

Mengubah Paradigma

Salah satu cara untuk mengungkit peran Nadzir agar memiliki daya guna dan hasil guna yang lebih besar dari cara “konvensional” sebagaimana selama ini adalah dengan melakukan perubahan yang fundamental, sistemik, dan paradigmatik dalam hal pengelolaan wakaf. Mental block yang telah mempengaruhi alam bawah sadar semua pihak bahwa wakaf itu hanya 3 M (masjid, madrasah dan makam), sudah harus diubah. Artinya selain fungsi sosial sebagaimana 3M tersebut, maka wakaf harus lebih produktif lagi. Perubahan dimaksud sudah barang tentu harus compliance dengan ketentuan syar’i. Sehingga perlu dilakukan terobosan dengan menjadikan dan menempatkan peran nadzir dalam bingkai  korporatisasi wakaf. Dimana, secara makna korporatisasi adalah proses, cara, atau  perbuatan yang menjadikan pola manajemen korporasi sebagai kendali atau acuan.

Oleh karenanya, dengan melihat fakta di atas, kedepan nadzir perorangan sudah selayaknya semakin dikurangi peranny. Karena jika nadzir dilkukan secara perorangan tidak memungkinkan untuk melakukan korporatisasi sebagaimana dimaksud. Selanjutnya semua Nadzir diarahkan kepada nadzir yang berbadan hukum. Jika masih ada nadzir perorangan, sebaiknya di-merger untuk bergabung menjadi nadzir yang berbadan hukum. Sehingga seluruh nadzir dalam mengelola harta wakaf menggunakan pendekatan korporasi.  Karena korporatisasi wakaf sejatinya adalah budaya korporasi yang diterapkan dalam pengelolaan wakaf. Dengan demikian maka, para nadzir mesti memiliki kualifikasi dan kecakapan yang memadai sebagaimana seorang profesional untuk mengelola korporasi, serta memiliki pemahahan berkenaan dengan kaidah syar’iyyah,  beserta implementasinya.

Benchmarking

Keuntungan dari korporatisasi wakaf, setidaknya Nadzir akan bekerja secara profesional dengan sistem manajemen dan tata kelola korporasi modern. Tidak dipandang hanya sebatas aktifitas sosial semata. Akan tetapi juga meliputi aktifitas ekonomi dan bisnis. Sehingga Nadzir dalam mengelola harta wakaf lebih terarah, sistemik serta memiliki target yang terukur.

Meskipun belum ideal dalam kerangka korporatisasi wakaf, akan tetapi apa yang dipraktekkan oleh Johor Corporation (J-Corp)di Malaysia bisa dicadikan benchmarking, yang patut untuk di contoh. Dimana JCorp mewakafkankan sebagian saham perusahaan miliknya untuk  dikelola oleh Nadzir yang bernama Waqf An-Nur Corporate (WaNCorp). Mereka mempraktekkan wakaf musytarak. Bidang garapnya meliputi Rumah Sakit, Pendidikan, Real Estate, Property dlsb.

Pada laporan tahunan 2020, disebutkan bahwa jumlah Aset WaNCorp adalah sebesar RM. 816,447,286. (2,8 Trilyun rupiah). Sedangkan keuntungan bersih (setelah pajak) sebesar RM.  4,743,722 (16,2 Milyar rupiah). Untuk pembagian manfaat Dana Kesejahteraan Umum Waqaf An-Nur, sebesar RM 2,054,834 (7 Milyar rupiah). Ini tidak termasuk gaji eksekutif Imam dan Bilal di Jaringan Masjid An-Nur sebesar RM 1,205,506 (4,1 Milyar rupiah) termasuk dalam total biaya administrasi.

Dengan demikian maka korporatisasi wakaf ini bukan utopis. Melainkan sebuah gagasan yang sangat mungkin untuk diimplementasikan di Indonesia. Dibutuhkan political will berupa regulasi/kebijakan yang mendukung ini, serta good will bagi umat Islam terutama para Nadzir, untuk mentransformasikan lembaga nadzirnya menuju korporatisasi wakaf. Wallahu a’lam

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Hidayatullah Edisi 5/XXXIII/Muharram 1443/September 2021