Pagi ini (9/6/2022) media sosial, disesaki sebuah posting yang berisi daftar belanja, yang berjudul laporan dari dapur. Di group WA dan beberapa platform media sosial, ternyata juga ramai. Sebagaimana gambar di atas. Yaitu berupa daftar beberapa kebutuhan dapur yang di tulis dengan tangan, disusun dengan rapi beberapa daftar belanjaan. Daftar belanjaan itu biasa dilakukan oleh emek-emak yang ingin belanja. Namun daftar ini berbeda. Biasanya dalam daftar belanjaan sebagaimana yang istri buat, adalah jenisnya apa, belinya berapa satuan (buah, kg), dan harganya berapa per-satuan.
Namun dalam daftar itu lain dari yang lain. Selain menampilkan daftar belanjaan sebagaimana urutan yang biasa itu, juga disertai harga sekarang. Dan dari situ dibandingkan selisihnya. Kemudian ada yang memberikan keterangan besaran prosentasinya, masing-masing item. Kemudin dapat ditemukan selisih yang paling rendah adalah gula pasir naik 31%, dari Rp. 13.000/kg, menjadi Rp. 17.000/ kg. Sementara selisih tertinggi adalah 120%, yaitu bawang putih dari Rp. 25.000/kg menjadi Rp. 55.000/ kg.
Yang menarik adalah minyak goreng yang katanya akan turun itu. Dimana dari daftar ini, minyak goreng merek Tropical dari Rp, 17.000/kg, menjadi Rp. 25.000/ kg atau naik 47 persen. Selanjutnya dari 12 item belanjaan tersebut, saat di rata-ratakan mengalami kenaikan sebesar 71,96 persen, dan jika dibulatkan menjadi 72 persen.
Hal ini juga terkonfirmasi, belanjaan di rumah. Meski tidak dilakukan perbandingan seperti di atas, namun memang merasakan kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Belanja di pasar, tukang sayur, mini market, maupun di super market juga sama saja, alias mengalami kenaikan yang signifikan. Bahkan bukan sekedar naik, tetapi memang ganti harga.
Konfirmasi lain datang dari seorang kawan yang mengelola jaringan retail modern. Dia menyampaikan bahwa consumer good dari beberapa pabrikan dan produk-produk terkenal yang mensuplai ke jaringan ritel tersebut, jika di rata-rata juga mengalami kenaikan harga sekitar 40%. Disisi lain, ternyata barangnyapun sulit didapatkan. Artinya, beberapa hari kedepan, harga-harga sabun, shampo, pasta gigi dan lain sebainya, akan mengalami kenaikan di berbagai jenis tempat tersebut.
Berdasarkan ilmu ekonomi, adanya kenaikan harga barang dan jasa di sebabkan oleh banyaknya permintaan sedangkan persediaannya terbatas, artinya tidak ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang ada. Hal inilah yang memicu terjadinya inflasi. Berdasarkan teori ekonomi, maka Inflasi atau kenaikan harga yang terjadi tidak selalu dipicu oleh kebijakan pemerintah atau lembaga – lembaga tertentu saja, tetapi bisa terjadi secara natural yang prosesnya dilakukan tanpa sadar oleh kita semua sebagai pelaku ekonomi. Setidaknya ada empat hal.
Pertama, supply and demand (penawaran dan permintaan), di mana Jika permintaan banyak tapi jumlah barangnya sedikit, maka harga barang naik. Berlaku sebaliknya, jika permintaan sedikit tapi jumlah barangnya banyak, maka harga barang turun. Beberapa faktor yang memicu permintaan barang meningkat adalah karena jumlah penduduk bertambah, pendapatan masyarakat bertambah, bisa juga karena selera masyarakat yang berubah dan berganti seiring dengan berjalannya waktu.
Kedua, peningkatan biaya produksi, barang – barang dan jasa yang kita konsumsi diproduksi oleh perusahaan ataupun oleh home industry. Dalam proses produksi, tentu produsen memerlukan biaya produksi, untuk beli bahan baku, untuk beli mesin produksi, membayar tenaga kerja, sampai bahan bakar. Jika harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik, maka harga barang – barang yang lain pun akan naik juga, karena BBM memiliki peran yang sangat krusial dalam perputaran roda ekonomi, sebab menjadi penggerak distribusi barang di seluruh Indonesia.
Ketiga, jumlah uang beredar, dalam teori ekonomi, banyaknya uang beredar dikaitkan dengan kondisi tertentu, biasanya terkait dengan lebaran, dimana ada THR, sehingga uang yang beredar banyak. Ataupun musim kenaikan upah, bonus, gaji dlsb. Sehingga meningkatkan daya beli masyarakat, dal ini mengakibatkan jumlah permintaan terhadap berbagai jenis barang dan jasa akan naik juga,. Jika barang dagangan laku tetapi ketersediaan barangnya terbatas, pedagang cenderung menaikkan harga agar keuntungannya bertambah, ujung – ujungnya akan terjadi kenaikkan harga yang berdampak pada inflasi.
Keempat, impor barang dari luar, kegiaatan ekspor impor antar negara itu sebuah hal biasa. Akibatnya jika terjadi neraca perdagangan negatif. Hal ini memicu naiknya harga barang impor. Sedangkan harga barang impor bisa naik karena banyak faktor. Misalnya, karena negara asal produksi sedang mengalami inflasi yang tinggi atau karena ada kebijakan baru di bea cukai hingga ada tambahan potongan pajak, biaya administrasi, dll. Jika importir mendapatkan barang dengan harga modal tinggi, mereka cenderung menaikkan harga untuk konsumen dalam negeri. Inflasi tidak hanya disebabkan oleh faktor dalam negeri, tapi juga faktor luar negeri.
Jika melihat keempat faktor tersebut, nampaknya ada beberapa anomali mengapa terjadinya kenaikan harga saat ini, jika merujuk dalam teori tersebut. Bisa jadi, adanya mafia diberbagai sektor ekonomi, yang kemudian melakukan monopoli, baik produksi maupun distribusi yang menyebabkan kenaikan harga-harga itu. Adanya temuan penimbunan minyak goreng beberapa waktu lalu, menjadi penjelas dalam hal ini, bahwa mafia itu ada, sehingga menyebabkan harga melambung.
Kongkalikong pejabat dengan pengusaha untuk mengeluarkan regulasi yang menguntungkan pengusaha dan menyengsarakan rakyat sebagai konsumen juga sebagai catatan tersendiri. Dimana ada juga mentalitas pejabat korup juga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan rente. Dilain pihak ancaman krisis global juga akan membeikan efek yang saling terhubung, kepada negara lain sebagaimana dikenal dengan istilah efek rambatan (spill over effect).
Dengan demikian maka, meskipun kita sedang menyoroti ekonomi mikro, maka sesungguhnya merupakan representasi makro ekonomi yang terjadi. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi mikro dan makro, negara ini tidak sedang baik-baik saja. Beberapa bulan kedepan, merupakan hari-hari berat bagi ekonomi nasional. Beberapa utang luar negeri juga mengalami jatuh tempo. Sehingga, ancaman harga-harga akan melambung tinggi, sudah terjadi. Sementara jika melihat data statistik, daya beli masyarakat juga menurun. Maka kewaspadaan tinggi perlu kita lakukan. Inflasi bakal naik. Bisa jadi menjadi stagflasi dan krisis. Wallahu a’lam
Disisi lain pemerintah seperti abai mengatasi, wewenang diserahkan semua ke sosok Luhut Binsar Panjaitan yang lebih sering berlindung dibalik kata “Saya ini tentara” untuk menunjukkan dirinya seorang nasionalis yang serbisa, ketimbang menunjukkan kinerjanya yang nyatanya zonk alias omong kosong.
Ada yang bilang penguasa sedang berbisnis dengan rakyatnya, bukannya memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dasar rakyatnya yang kini tercekik. Kasus bisnis swab jelas jelas menunjukkan itu, belum lagi masalah minyak goreng yang lagi lagi “si tentara” ini yang dipercaya presiden untuk menyelesaikannya.
Entah ada apa yang bercokol di dipikiran Jokowi, yang ternyata memang mempercayakan semua ke si tentara gaek 75 tahun ini secara sadar, setidaknya jika merujuk pada pernyataan si tentara ini kemarin bahwa banyak tugas yang diberikan padanya karena memang presiden mempercayainya.
Tentu ini aneh karena nyaris tak ada satupun tugas tugas yang dilimpahkan itu kemudian beres. Mulai dari soal PPKM, maritim, investasi IKN, dan terakhir migor. Si tentara malah sibuk berpolitik dengan melontarkan “big data” lebih dari 50 persen rakyat menghendaki Jokowi presiden 3 periode. Belakangan juga akhirnya terbongkar kalo big data itu hanya bacotan mulut besar si tentara.
Jadi problemnya sebenarnya, menurut saya, ada pada presiden. Beliau tampaknya memang nggak memahami masalah, bahkan dia nggak paham landscape besar Indonesia ini. Dia tenggelam pada paradigma sempitnya, yang, dalam istilah Rhenald Kasali, berada di tubir “self centered”.
Sejak awal presiden memang terlihat bukan strong leader. Berbagai pencitraan yang berlebih sejak jadi walikota dan gubernur menyebabkan beliau akhirnya sangat rapuh karena faktanya jauh panggang dari api. Tak ada satupun prestasi yang menonjol dari dua jabatan yang pernah diembannya tersebut.
Nah di sinilah problem keduanya: pencitraan gila gilaan. Bahkan pada pilpres periode pertama, amat terlihat betapa brutalnya usaha pencitraan itu yang tidak lagi memperdulikan akal sehat. Jasmev bergerak tanpa lawan. Ngiklan besar besaran di beranda Facebook yang ditaksir puluhan miliar harganya.
Inilah tantangan kepemimpinan Indonesia ke depan. Presiden ke depan harus lahir dari rakyat, bukan dari cukong pemilik modal. Sudah ada figur itu, namun ia harus menghadapi berbagai serangan yang luar biasa dari pihak pihak yang kenyamanannya terganggu. Dia diframing sedemikian rupa dengan stigma tertentu yang sebenarnya sudah nggak ngaruh lagi seiring dengan tumbuhnya kecerdasan rakyat di tengah keterbukaan informasi.
Masalah besarnya nanti, dan ini yang sangat kita khawatirkan jangan sampai terjadi, yaitu penguasa membatasi akses pada informasi dan pembatasan pembatasan lain yang memungkinkan rakyat harus menerima kebenaran hanya versi penguasaan. Bukan tidak mungkin ini terjadi. Bahkan rencana 3 periode pun diam diam ternyata kejadian. Wallahu ‘alam.
Seolah negara tidak hadir. Menyerahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Semakin menjerumuskan ke Kapitalis Liberaris. Rakyat diperas dan diminta bertarung hidup. Minim keberpihakan.
Sementara oligarki menari di atas penderitaan rakyat. Dan terus melanggengkan kekuasaan.