Uncategorized

The Revolution of Ojek..


Dari pengalaman pergi ke beberapa negara,  bagi saya sebagai wong Ndeso Indonesia, seringkali justru menemukan keribetan, di balik kemanjaan fasilitas publik yang diberikan oleh negara-negara itu. Pengalaman saya  berkunjung ke Tokyo Jepang,membuktikan betapa ketika jadwal kereta ketujuan tertentu sudah mau berangkat, maka begitu berebutan dan berlarian mereka untuk mengejar kereta agar ikut di jadwal itu. Karena kereta itu datang tepat waktu, hampir dipastikan tidak pernah terlambat ataupun meleset dari jadwal.  Artinya jika kita lewat pada jadwal itu, kita akan menunggu ke jadwal berikutnya, berarti wasting time.  Demikian juga halnya di Singapura yang tidak berbeda dengan pengalaman di Frankfurt Jerman. Praktis semua sudah tertata, teratur dengan baik, rigid dan sistematis. Pendeknya ritme hidup penduduk kota itu, dan siapupun yang datang ke kota itu, harus mengikuti pola yang demikian mekanik itu.

Lain halnya dengan Indonesia, jadwal molor, terlambat dan  meleset itu menjadi rutinitas, sehingga jika tepat waktu merupakan sebuah keberuntungan. Disamping itu, variasi moda transportasi yang tersedia cukup beragam. Tinggal kita pilih saja. Satu hal yang paling unik di negeri ini, dan sangat susah ditemukan di negara lain adalah ojek. Alat transportasi yang menggunaka motor ini, seringkali menjadi pilihan bagi siapapun juga, ketika kepepet waktu dan atau terjebak dalam kemacetan yang parah di Ibu Kota. Bukan pada kalangan proletar, mereka yang berdasipun, tidak jarang memilih Ojek, untuk mengantarkan ketujuannya agar tidak terlambat. Malah sopir-sopir itu,  justru yang menikmati comfortable di balik kemudi mobil mewah majikannya dan kemacetan di jalan raya itu.

Singkatnya, ojek adalah moda transportasi pilihan rakyat, yang egaliter dan tidak membedakan strata sosial bagi penggunanya. Melihat “merakyatnya” ojek, saya kepikiran bagaimana jika meningkatkan kenyaman ber-ojek. Jika taksi di Jakarta sekarang sudah menggunakan mobil mewah semisal Mercy dan Alphard, mengapa kemudian Ojek tidak menggunakan Moge sekelas Harley Davidson untuk difungsikan dalam melayani masyarakat kelas menengah atas, dikala terjebak kemacetan. Tentu saja dengan layanan dan  tarif premium, sebagai mana layanan taksi yang pake mobil mewah itu. Saya pikir, ini pilihan realistis dan logis. Sebuah revolusi terhadap ojek. Bagaimana menurut anda?

Advertisement
Entrepreneurship

Mengapa Start Up Company Seringkali Bubar


Minggu lalu saya kedatangan tamu 2 (dua) orang teman sesama entrepreneur, di sore hari. Mereka berdua datang ke kantor, seperti biasa berbagi informasi, terkait opportunity dan kemungkinan untuk melakukan kolaborasi dan kerjasama. Pembicaraan pada awalnya lancar, membahas seputar sepinya order/proyek tahun ini dan optimisme untuk menghadapi tahun depan. Tentu dengan bumbu gurauan yang menyegarkan. Ditengah pembicaraan kemudian mereka bercerita bahwa malam ini, mereka akan melakukan rapat dan mengambil keputusan untuk melanjutkan bisnisnya atau membubarkan. Ada seorang partnernya yang melakukan fraud sehingga menyebabkan kerugian dan kekacauan didalam manajemen. Padahal dia salah satu share holder dan juga duduk di jajaran manajemen.

Hal seperti di atas, dengan berbagai macam varian permasalahannya, dan tingkat keruwetan yang berbeda, seringkali saya temukan, dan menjadi persoalan bagi entrepreneur kita . Seringkali ada yang sukses, dan menjadikan itu sebagai momentum untuk menjadikan team work yang solid. Tetapi tidak jarang, justru menyebabkan perpecahan, bahkan bubarnya perusahaan itu. Hal yang samapun, dua tahun yang lalu saya juga mengalami, memang tidak sampai bubar, akan tetapi perpecahan itu akibatnya terasakan sampai sekarang. Kendati kondisi perusahaan sekarang jauh lebih baik sebelum terjadi perpecahan itu.

Herannya lagi ini juga terjadi bagi mereka yang berasal dari sekolah, atau  bahkan kelas, jurusan, fakultas, angkatan dan perguruan tinggi yang sama. Ternyata tidak menjamin terjadi kelanggengan dalam berbisnis, meskipun tetap ada juga yang awet. Demikian halnya mereka yang ketemu ketika mau mulai usaha ternyata akhirnya bisa langgeng, kendati adapula yang kemudian pecah di tengah jalan. Sedangkan waktu terjadinya “perpecahan” itu juga bermacam-macam, bisa terjadi di awal-awal pendiriannya, di beberapa tahun kemudian, bahkan ada yang sudah puluhan tahun baru terjadi disharmonis itu.

Disaat yang sama kita bisa menemukan beberapa perusahaan yang telah berumur puluhan tahun, untuk kasus Indonesian misalnya : Jamu Jago, Group Bakrie, Sampoerna, dan masih banyak lagi. Untuk kasus negara lain misalnya : Stora (Swedia, 800 tahun), Sumitomo (Jepang, 400 tahun), Du Pont (AS, 195 tahun), Pilkington (Inggris 171 tahun) dan juga IBM, Toyota, P&G, Mercedez Benz dll. Artinya, perusahaan itu bisa berumur panjang dan diwariskan, jika dikelola dengan baik. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pelaku bisnis di Indonesia, bagaimana bisa mengelola perusahaan sehingga berumur panjang.

Dari pengalaman saya, dan beberapa pengalaman teman dan juga orang lain, saya mengelompokkan hal-hal yang menyebabkan perpecahan tersebut, di antaranya adalah :

  1. Kurangnya Modal
  2. Tidak Fokusnya Bisnis
  3. Team Work (Manajemen) yang Tidak Solid
  4. Perbedaan Visi
  5. Terjadinya Fraud

Kedepan hal-hal tersebut akan saya kupas satu persatu.

Kronik

Mobil 1,3 M itu


Disela huruk-pikuk perbicangan tentang buku “Mengungkap Gurita Cikeas”, dan hampir menghiasi pemberitaan diseluruh media hari ini, ada satu hal lagi isu hangat dan menggelitik, yaitu dibagikannya “jatah” mobil (mewah) untuk pejabat negara. Pemberian jatah mobil tersebut, yang pembagiannya di atur oleh Sekreteriat Negara, dimana seluruh anggota KIB  II dan pimpinan DPR mendapatkannya. Konon Mobil Toyota Crown Rayal Saloon itu di banderol seharga 1,3 M. Kendatipun harga tersebut di bantah oleh Mensesneg Sudi Silalahi disini, tetapi mobil berdaya 3000 CC itu, tetap dikatagorikan mobil mewah.

Meskipun jatah itu dianggap wajar oleh sebagaian kalangan, demi menunjang kinerja para pejabat-pejabat itu, akan tetapi nampaknya sense of crisis, para pejabat itu layak di pertanyakan. Negeri ini masih berada pada kondisi yang sulit diberbagai bidang. Jumlah penduduk miskin, berdasar data BPS per Maret 2009 masih berjumlah 31,53 juta jiwa atau sekitar 14,15 persen dari total penduduk Indonesia. Menurut BPS orang yang dikatakan berada pada garis kemiskinan adalah jumlah jika pengeluaran sebesar Rp200.262 per orang setiap bulannya. Sedangkan posisi hutang Indonesai sampai dengan Januari 2009, berjumlah Rp. 1.667 trilyun data ada disini. Artinya setiap warga negara Indonesaia, menanggung beban 7 juta rupiah lebih.

Wahai para pejabat, jika mobil itu memang sarana bagi Anda untuk meningkatkan kinerja dalam rangka memperbaiki keadaan dan mengentaskan rakyat Indonesia dari jurang kemiskinan, silakan pakai seoptimal mungkin. Tetapi jika tidak –artinya tidak mampu menggunakan sarana itu sebagai bagian dari pensejahteraan rakyat-, maka siapapun Anda, dari Partai Apa, menduduki Jabatan Apapun Juga, Ingat….  suatau saat di hari akhir nanti, Anda akan mempertanggungjawabkan semuanya.

Kronik

(Bukan) Gurita Cikeas


Hari-hari kita di hebohkan oleh sebuah buku yang di karang George Junus Aditjondro, yang diterbitkan oleh penerbit Galangpress Yogyakarta, dengan judul “ Membongkar Gurita Cikeas”, yang rencananya akan diluncurkan pada 30 Desember 2009. Meski buku itu belum diterbitkan, ternyata reaksi publik cukup beragam mensikapi kehadiran buku itu. Tentu saja ada tejadi pro dan kontra. Dan biasanya, dalam berapa hari ini, beritanya akan menghiasi media cetak dan elektronik, kemudian hilang begitu saja. Saya tidak hendak mengajak untuk mengulas isi buku itu, akan tetapi saya pengin melihat sisi lain. Yaitu mengenal “Gurita”, dengan makna yang sesungguhnya. Sekaligus sebagai ingatan ketika belajar Biologi dibangku SMA dulu 

Dari Wikipedia saya peroleh bahwa Gurita adalah hewan moluska dari kelas Cephalopoda (kaki hewan terletak di kepala), ordo Octopoda dengan terumbu karang di samudra sebagai habitat utama. Gurita terdiri dari 289 spesies yang mencakup sepertiga dari total spesies kelas Cephalopoda. Gurita dalam bahasa Inggris disebut Octopus (Yunani: Ὀκτάπους, delapan kaki) yang sering hanya mengacu pada hewan dari genus Octopus.

Gurita memiliki 8 lengan (bukan tentakel) dengan alat penghisap berupa bulatan-bulatan cekung pada lengan yang digunakan untuk bergerak di dasar laut dan menangkap mangsa. Lengan gurita merupakan struktur hidrostat muskuler yang hampir seluruhnya terdiri dari lapisan otot tanpa tulang atau tulang rangka luar. Tidak seperti hewan Cephalopoda lainnya, sebagian besar gurita dari subordo Incirrata mempunyai tubuh yang terdiri dari otot dan tanpa tulang rangka dalam. Gurita tidak memiliki cangkang sebagai pelindung di bagian luar seperti halnya Nautilus dan tidak memiliki cangkang dalam atau tulang seperti sotong dan cumi-cumi. Paruh adalah bagian terkeras dari tubuh gurita yang digunakan sebagai rahang untuk membunuh mangsa dan menggigitnya menjadi bagian-bagian kecil.

Tubuh yang sangat fleksibel memungkinkan gurita untuk menyelipkan diri pada celah batuan yang sangat sempit di dasar laut, terutama sewaktu melarikan diri dari ikan pemangsa seperti belut laut Moray. Gurita yang kurang dikenal orang dari subordo Cirrata memiliki dua buah sirip dan cangkang dalam sehingga kemampuan untuk menyelip ke dalam ruangan sempit menjadi berkurang.

Gurita sangat cerdas dan kemungkinan merupakan hewan paling cerdas di antara semua hewan invertebrata. Kecerdasan gurita sering menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli biologi. Hasil percobaan mencari jalan di dalam maze dan memecahkan masalah menunjukkan bahwa gurita mempunyai ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang, walaupun masa hidup gurita yang singkat membuat pengetahuan yang bisa dipelajari gurita menjadi terbatas. Gurita mempunyai sistem saraf yang sangat kompleks dengan sebagian saja yang terlokalisir di bagian otak. Dua pertiga dari sel saraf terdapat pada tali saraf yang ada di kedelapan lengan gurita. Lengan gurita bisa melakukan berbagai jenis gerakan refleks yang rumit, dipicu oleh 3 tahapan sistem saraf yang berbeda-beda. Beberapa jenis gurita seperti gurita mimic bisa menggerakkan lengan-lengannya untuk meniru gerakan hewan laut yang lain.

Banyak orang menganggap gurita adalah satwa laut yang tidak berbahaya, tapi faktanya amat bertentangan dengan anggapan itu. Sebuah studi yang baru dilakukan oleh sejumlah ilmuwan Australia menunjukkan bahwa semua gurita ternyata berbisa. Para ilmuwan telah mengetahui bahwa gurita cincin biru memiliki bisa beracun. Kini mereka mengatakan semua gurita dan sotong, bahkan beberapa cumi-cumi, memiliki racun berbisa. Pada dasarnya, semua binatang itu memiliki nenek moyang purba berbisa yang sama. Dalam studi yang dipublikasikan dalam Journal of Molecular Evolution , para ilmuwan mengindikasikan bahwa informasi itu akan membuka jalan baru menuju penemuan obat baru.

Itulah sedikit pengetahuan tentang gurita, ternyata dibalik kelembutannyta menyimpan banyak rahasia, berupa kecerdasan dan bisa/racun. Dari penjelasan itu, maka wajar saja ketika Gurita di pakai sebagai analogi dalam dunia bisnis yang berkelidan dengan politik menyebabkan gerah, bagi yang terlibat disitu. Atau jangan-jangan mereka tersinggung bahwa yang terjadi sekarang sesungguhnya masih belum sebesar gurita, tetapi masih cumi-cumi. Bisa juga sebaliknya, mereka tersinggung karena gurita, yang terungkap disitu terlalu kecil dibanding kenyataannya. Wallahu’a’lam.

Islam

Mengkader atau Mati


Terinspirasi oleh status FB, seorang sahabat,  kebetulan juga seorang Ustadz, yang sedang melakukan Dauroh (Workshop) di Batu- Malang. Di status FB-nya tersebut tertulis “Mengkader atau Mati”. Sebuah tulisan, meskipun pendek dan singkat, hanya tiga suku kata, tetapi memiliki makna yang dalam dan sekaligus sebuah pernyataan yang menantang dan menggugah. Kalimat yang biasanya keluar dari jiwa-jiwa yang memiliki semangat kejuangan yang tinggi. Ternyata kalimat itu menjadi tema salah satu dauroh, tentu saja subyektifitas saya mengatakan bahwa kalimat itu akan menjiwai seluruh kegiatan di acara tersebut. Berhubung saya tidak mengikuti acara tersebut, tentu saja saya hanya bisa untuk “meraba” dan membayangkan ataupun menduga, dinamika dan suasana yang terjadi di tempat itu. Pastinya, akan dipenuhi dengan semangat dan ghiroh, yang meletup-letup, yang dihidupkan dalam kegitan itu. Saya bayangkan, rangkaian acara itu akan di mulai dari proses penyadaran, pemahaman konsep dan biasanya dilanjutkan dengan model aksi.

Mengapa pengkaderan itu urgent? dan mengapa pula mengkader itu penting. Jika dianalogikan dengan siklus kehidupan di muka bumi ini, maka pengkaderan adalah sama dengan regenerasi. Sebagaimana kita ketahui seluruh mahkluk hidup dimuka bumi ini, akan melakukan proses regenerasi. Tentu saja dengan bermacam variasi, model dan cara yang digunakannya. Apa yang dilakukan Singa si Raja rimba dalam meregenerasi kepada anaknya, tentu tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh seekor ayam. Apa yang dilakukan oleh pohon pisang, tentu berlainan dengan apa yang di lakukan oleh pohon Randu untuk melakukan proses regenerasi. Meskipun berlainan, akan tetapi secara spesifik memiliki tujuan inti yang sama, yaitu agar mereka memiliki penerus yang akan melanjutkan keturunannya, atau dengan kata lain melestarikan dan bahkan mengembangkan apa yang telah dibawa oleh generasi sebelumnya, kepada generasi selanjutnya. Singkatnya regerasi adalah sebuah sunnatullah, setiap mahkluk hidup dalam menjaga keberlangsungan hidupnya.

Demikian halnya dalam sebuah keluarga, kelompok, organisasi, perusahaan dan bahkan juga negara. Jika gagal melakukan regenerasi (baca ; pengkaderan), maka sesungguhnya gagal pula apa yang mereka “perjuangkan” selama ini. Tanpa adanya sebuah regenerasi, visi dan misi yang baik akan terputus atau lambat laun akan mati, bersama dengan kematian founding fathers atau assabiqunal awwalun-nya. Dalam konteks inilah, maka pengkaderan dalam organisasi memiliki urgensi yang tinggi. Pada sebuah organisasi (dakwah), sebagimana yang digeluti sahabat saya tersebut, tentu sudah dirumuskan dan memiliki tahapan dalam melakukan proses pengkaderan. Saya berkeyakinan, bahwa proses pengkaderannya akan dilakukan dengan program tarbiyah yang komperhensif yang mencakup tarbiyah ruhiyyah (spiritual), tarbiyah ‘aqliyyah (intelektual) dan tarbiyah jasadiyyah (fisik). Ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang integrated, tidak dapat dipisah-pisahkan. Dari tarbiyah yang komperhensif ini diharapkan akan melahirkan output-output yang telah siap berjuang dan berjihad demi cita-cita yang mulia dan luhur yaitu menegakkan panji-panji Islam dimuka bumi. Dari sinilah maka jargon “Mengkader atau Mati”, memiliki makna.

Dalam proses Pengkaderan tentu melibatkan Pengkader dan Kader. Kader paling tidak memiliki pengertian sebagi orang yang menjadi inti penggerak dalam sebuah pergerakan, baik itu bersifat pribadi maupun golongan. Pengkader adalah Kader, yang sudah melalui dan lulus dalam serangkaian tahapan proses pengkaderan. Mengkader berarti bagaimana memproses sesorang biasa (yang belum kader) dengan melalui tahapan tertentu, untuk menjadi dan melahirkan kader-kader. Sehingga dari proses pengkaderan ini akan lahir penerus yang akan meneruskan setiap cita-cita mulia yang sedang kita pikul. Mereka (para kader itu) akan memperjuangkan visi dan misi yang selama ini kita emban. Bahkan bisa jadi, mereka akan bisa mengembangkan dan menyempurnakan idealisme yang sudah kita bangun sebelumnya. Pendek kata, jika proses pengkaderan ini tidak ada, terputus, terhenti, atau macet, maka tunggulah saat-saat terputus pula cita-cita besar dan mulia generasi sebelumnya . Sehingga bersamaan dengan itu, hal-hal yang selama ini dibangun dan dikembangkan juga akan lenyap ditelan waktu.

Maka…, siapapun, dimanapun, kapanpun, dalam posisi apapun, melakukan pengkaderan adalah sebuah keharusan. Tidak ada sedetik waktu-pun yang kita miliki, selain melakukan aktifitas ini. Jika anda, keluarga anda, kelompok anda, organisasi anda, partai anda dan juga negara anda, ingin merealisasikan cita-cita, visi dan misinya, maka hanya melakukan tiga suku kata ini :”Mengkader atau Mati”. Selamat Mengkader…. (a tribute to Ust. Sohibul Anwar)