Entrepreneurship

Ramadhan, Zakat dan Pengentasan Kemiskinan 


Asih Subagyo

Ketua Badan Pengawas LAZ Nasional Baitul Maal Hidayatullah

Sebagai salah satu rukun Islam, zakat merupakan ibadah yang  pelaksanaannya memiliki syarat cukup rijid. Baik bagi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), harta yang wajib dizakati, maupun mustahik (yang berhak menerima). 
Kendati kesadaran berzakat sebagai sebuah kewajiban terhadap harta yang telah ditentukan sudah mulai baik, ternyata masih banyak juga umat yang belum faham. Bahkan, tidak jarang yang dipahaminya hanya sebatas zakat fitrah. Sedangkan zakat lainnya (maal, perhiasan, perkebunan, peternakan, dll) termasuk infaq, shadaqah, wakaf dan hibah, masih banyak yang belum mafhum. 
Hal ini bisa kita saksikan di lapangan, meskipun hampir semua jenis zakat itu bisa dibayarkan kapan saja, tidak terikat dengan waktu, kecuali zakat fitrah yang memang memiliki batas waktu sebelum pelaksanaan sholat Idul Fitri ditegakkan. Namun, dalam prakteknya, biasanya Ramadhan identik dengan bergeliatnya para muzakki dalam membayar zakatnya, termasuk lainnya itu. Sehingga di setiap Ramadhan menjadi semacam musim “panen”-nya Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Dengan potensi sebesar Rp. 217 triliun, sebagaimana hasil penelitian BAZNAS dan FEM (Fakultas Ekonomi dan Manajemen) IPB yang dilakukan pada tahun 2011, maka seharusnya zakat bisa memiliki multiplier effect bagi dinamika ekonomi ummat. 
Angka tersebut, diasumsikan sebesar 3% dari PDB tahun 2010. Dengan pertumbuhan PDB yang terus meningkat setiap tahun, maka potensi zakatnyapun semestinya setiap tahun juga bergerak naik pula. Dan berdasar pengalaman LAZ yang terhimpun dalam Forum Zakat (FoZ), yang juga diamini oleh BAZNAS, maka sekitar 75% dari total pendapatan zakat, dihimpun saat bulan Ramadhan. Dan, yang 25% dibagi dalam 11 bulan. 
Yang perlu digarisbawahi adalah, kesadaran filantropis di bulan Ramadhan, setiap tahun terus mengalami peningkatan, membersamai meningkatnya kuantitas peribadatan yang lainnya. Kendati demikian, dari potensi yang ada, itu ternyata pada tahun 2016 kemarin, yang mampu terhimpun baru sekitar 1 %, atau sebesar Rp. 2 triliun. Dan, pada tahun 2017 ini, diperkirakan mengalami peningkatan pendapatan secara agregat sebesar Rp. 3 sampai 4 triliun. Di sinilah tantangan nyata yang dihadapi oleh LAZ dan BAZNAS, yang tentu saja mesti menyiapkan perumusan yang baik.
Regulasi

Sebenarnya negara telah membuat regulasi yang mengatur tentang penghimpunan dan pengelolaan zakat ini, melalui UU No 23/2011. Di dalamnya mengamanatkan bahwa LAZ yang diperbolehkan untuk memungut atau menghimpun serta menyalurkan ZIS harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS dan kemudian mendapatkan ijin dari Kementerian Agama. 
Menurut keterangan dari Forum Zakat (FoZ), ada 235 anggota yang dihimpun. Namun, sampai Ramadhan tahun ini, secara resmi, selain BAZNAS, baru ada 17 LAZ sekala nasional, 7 LAZ sekala Propinsi dan 11 LAZ Kabupaten/Kota, dan masih ada beberapa LAZ yang telah mendapatkan rekomendasi dari Baznas, namun masih mengurus izin dari Kementerian Agama (www.detik.com1/06/2017). Selain UU juga diikuti dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan juga SK Baznas, yang mengatur segala hal ikhwal dari dunia perzakatan ini.
Logikanya, dengan diterapkannya UU 23/2011 dan sederet aturan yang menyertainya itu, hanya lembaga-lembaga tersebutlah yang berhak melakukan penhimpunan dana ZIS di masyarakat, namun faktanya muzakki masih banyak yang memilih untuk mendistribusikan langsung baik ke perorangan, masjid, madrasah, panti asuhan, pesantren dan lembaga keagamaan lainnya. 
Kendati ada sanksi yang cukup berat bagi lembaga penerima ZIS yang belum atau tidak mendapat legalitas dari Kemenag, namun faktanya praktek model seperti ini masih saja berlangsung. Bisa jadi karena sosialisasi atas UU itu belum sampai ke mereka, atau memang ada sebagian yang merasa lebih nyaman dan afdhol jika langsung di-tasyarufkan kepada mustahik. Atau bisa juga bersebab faktor ketidakpercayaan kepada BAZ dan LAZ. Dan, jika yang terakhir ini penyebabnya, harus dijadikan bahan muhasabah bagi LAZ dan BAZNAS, sebab zakat adalah dana umat yang tentu saja dibutuhkan untuk membangun kehidupan umat.

Pemetaan Mustahik

Selain di sisi penghimpunan yang masih belum optimal, ternyata LAZ dan BAZNAS juga dihadapkan pada pendayagunaan yang harus tepat sasaran. Bahwa untuk pentasyarufan ZIS ini harus kepada 8 asnaf adalah qoth’i, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an Surat At-Taubah : 60. Dan, hal ini sudah mutlak, tidak perlu diperdebatkan lagi. 
Pertanyaannya adalah, apakah kedelapan asnaf itu harus mendapatkan porsi yang sama? Dan dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Namun, jumhur ulama tidak mewajibkan masing-masing asnaf itu mendapatkan1/8 bagian atau 12,5% dari zakat yang diperoleh secara sama. Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa Zakat itu harus ditasyarufkan terutama ke-ahlul balad (penduduk setempat) dimana zakat itu dihimpun, dan semua asnaf dibagi secara adil. Adil ini artinya tidak harus sama. Artinya ada skala prioritas pembagian di situ. Dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah fuqara dan masakin. (Qaradhawi : 2001)
Artinya, dalam pendayagunaan zakat ini, ternyata juga terkait dengan permasalahan majamenen yang berbasis pada 8 asnaf itu. Olehnya, perlu pengelolaan yang profesional. Diperlukan pemetaan data mustahik. Agar terjadi pemerataan mustahik, yang mendapat pendayagunaan. Dan tidak tumpang tindih. 
Misalnya, ada satu mustahik yang menerima dari beberapa LAZ dan ada mustahik yang seharusnya berhak menerima, tetapi tidak mendapat dari LAZ manapun juga. Pemetaan ini, juga akan memberikan gambaran, masing-masing LAZ itu disalah satu tempat untuk fokus “menggarap” di asnaf apa dan didaerah mana. Selain itu, semua LAZ dan BAZNAS, juga harus memiliki database mustahik-nya. 
Akan lebih baik lagi, jika mendorong adanya open database. Sehingga bisa tukar-menukar data antar LAZ, dan tumpang tindih itu tidak terjadi. Dengan demikian maka, satu daerah, bisa digarap oleh berbagai LAZ, dengan spesifikasi masing-masing ke tiap-tiap asnaf. Dan setiap daerah akan berbeda skala prioritasnya, sesuai kondisi yang ada di daerahnya tersebut, sebagaimana pendapat Syaikh Qaradhawi tersebut.
Sinergitas sebagai kunci
Salah satu dari tujuan zakat adalah mengentaskan mustahik dari kondisi yang dialaminya. Artinya zakat, selain bersifat karitatif dan stimulus awal, seharusnya juga dibarengi dengan konsep pemberdayaan yang mengubah dari mustahik menjadi muzakki. 
Semangat ini harus menjiwai dari pendayagunaan dana zakat tersebut. Olehnya, dengan pemetaan yang ada, maka akan tergambar secara geografis dan demografis, dari keberadaan mustahik itu. Di sini diperlukan kreatifitas dari LAZ untuk melakukannya. 
Banyak contoh, yang telah dilakukan oleh beberapa LAZ, terkait dengan bagaimana kemandirian mustahik ini di garap. Kendati proyek dan program, dengan berbagai varians-nya sudah banyak diluncurkan. Namun, output dan outcome-nya masih belum memberikan dampak yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan di negeri ini. Karena masing-masing LAZ masih berjalan sendiri-sendiri, dengan programnya masing-masing.
Dengan basis pemetaan dan database itu, akan lebih memudahkan bagi LAZ dan juga BAZNAS untuk melakukan proyek dan program ekonomi yang tepat sasaran kepada mustahik. Karena, dari sini akan diperoleh data secara valid potensi dari mustahik. 
Di samping itu diperlukan pola sinergi program pemberdayaan dan kemandirian ekonomi antar LAZ. Dengan pola sinergi antar LAZ, Insya Allah akan meminimalisasi dari kegagalan. Sinergitas ini, sekaligus juga dapat dijadikan dasar dalam menentukan proyek di masing-masing daerah, disesuaikan dengan potensi daerah dan kapasitas mustahik. Demikian juga disesuaikna dengan kontribusi dari masing-masing LAZ. Olehnya, LAZ tidak bisa lagi ego dengan “jualan”programnya masing-masing. Program antar LAZ bisa saling melengkapi dan saling dukung.
Sehingga, dalam konteks pendayagunaan ZIS, maka kemandirian ekonomi harus menjadi salah satu fokus. Tahapan dan perencanaan teknis programnya, bisa disusun bersama. Namun dengan melihat fakta dan pengalaman di atas, maka dapat dikatakan bahwa sinergitas antar LAZ menjadi sebuah kunci. Kita sadar bahwa pengentasan kemiskinan ini sesungguhnya adalah tanggung jawab negara, namun LAZ juga memiliki tugas yang melekat dalam pedayagunaan dana zakat ini. Sehingga, mengantarkan mustahik menjadi muzakki menjadi terwujud. Wallahu A’lam bish Shawab

Tulisan ini di muat di http://m.hidayatullah.com/ramadhan/mutiara-ramadhan/read/2017/06/15/118630/ramadhan-zakat-dan-pengentasan-kemiskinan.html

Advertisement
IT, Peradaban

Mengawal Fiqh Media Sosial MUI


Oleh:
Asih Subagyo
Sekjen MIFTA

https://tekno.tempo.coSenin, 5 Juni 2017 pekan lalu, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1438H, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor 24 tahun 2017 tentang Panduan Muamalat di Media Sosial. Sebuah fatwa yang menempatkan MUI sebagai sebuah lembaga yang mengikuti dinamika kekinian, berkenaan perkembangan teknologi berikut pemanfaatannya. MUI hadir di saat umat membutuhkan panduan yang benar, jelas dan terang benderang. Jika kita baca dengan seksama fatwa itu, muatannya cukup lengkap. Sehingga jika kemudian fikih diartikan sebagai salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Maka, menurut saya, fatwa tersebut layak untuk disebut sebagai Fiqh Media Sosial. Karena matan-nya memuat tentang aturan ber-media sosial itu.

Meskipun ada beberapa pihak yang bilang, bahwa fatwa ini datangnya terlambat, terlalu mengatur privasi umat, dan lain sebagainya, namun apapun alasannya, kita harus mengapresiasi kerja keras dari Komisi Fatwa MUI ini, sehingga umat memiliki panduan yang komprehensif. Sebab, belakangan ini penggunaan media sosial sudah pada taraf memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Bahkan seakan membelah persatuan umat, dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga sampai-sampai Presiden Jokowi menghimbau agar para pengguna medsos menjaga etika dalam memanfaatkan media sosial ini. Meskipun sesungguhnya secara hukum sudah di atur dalam UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dibeberapa pasal, mengancam penyalahgunaan teknologi informasi ini (termasuk medsos) dengan sanksi yang berat. Demikian juga halnya dalam fiqh dan adab muslim, yang termuat di banyak kitab, sesungguhnya juga sudah di atur berbagai hal yang menjadi bahasan dalam panduan termasuk apa yang di atur dalam UU ITE itu. Namun pada kenyataannya, pelanggaran masih terus dilakukan, meski sudah banyak yang di hukum, terkait dengan penyalahgunaan medsos ini.

Media Sosial

Sebagaimana kita ketahui, dalam sudut pandang perkembangan teknologi, Media Sosia (medsos) merupakan salah satu buah dari revolusi teknologi. Sehingga medsos dapat diartikan sebagai sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual lainnya. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Dan variaan aplikasi yang dinisbatkan pada media sosial ini, setiap saat diluncurkan.

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”. (www.wikipedia.com) Dari sini kata kuncinya adalah pada ideologi dan teknologi Web 2.0. Dari sisi ideologi, maka disadari atau tidak, kehadiran media sosial telah menjadi wahanan untuk pertarungan ideologi. Meskipun pada aspek pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya juga bisa asuk didalamnya. Namun kenyataannya, hampir semuanya itu didorong oleh ideologi yang melekat pada user. Sehingga setiap akun, sebenarnya bisa di mapping-kan, ideologi apa yang mempengaruhinya. Dari aspek teknologi, salah satu kelebihan dari media sosial atau Web 2.0 ini adalah kemampuan multi-interaksi dari banyak pengguna. Tidak hanya informasi satu arah, namun dua arah dan bahkan dari banyak arah. Olehnya dengan kemampuannya ini, menjadikan penetrasi medsos mengalami perkembangan yang sangat cepat. Dan menembus berbagai kalangan, latar belakang, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lain sebagainya.

Media Sosial menjadi bagian yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sebagian besar kehidupan umat manusia saat ini. Harga perangkat, yang semakin murah, justru menjadi salah satu penyebab penetrasi berkembangnya media sosial ini, menyentuh sampai denggaman tangan, masyarakat di pedalaman sekalipun. Sehingga, hampir tidak ada isu yang terjadi di jakarta, pada saat yang sama, yang tidak menjadi isu masyarakat dunia. Pengguna medos, kemudian mendapatkan tsunami informasi, yang jauh lebih besar dari informasi yang dibutuhkan. Hal ini menjadikan mereka kebingunan, bahkan tidak sedikit yang salah arah, untuk memillah sekaligus memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Belumlagi jika ada ditorsi informasi. Atau bahkan adanya hoax yang menyertai berita atau informasi itu. Sehingga, pasti menyebabkan salahnya dalam mengambil kesimpulan. Yang berakibat pada, salahnya dalam menentukan sikap dan perbuatan. Dan ini, terus menerus menjadi sebuah siklus. Semacam lingkaran setan, yang tiada ujung.

Olehnya, kehadiran medsos telah menjadikan ketergantungan bagi sebagian besar penggunanya itu, secara perlahan telah berubah menjadi mesin penyebar sampah. Penebar fitnah. Mendistorsi informasi. Yang pada gilirannya, -menjadi mesin yang jahat dan raksasa- dalam memecah-belah umat dan kehidupan bernegara. Dengan sifatnya yang cepat dan masif itu, maka kerusakan sebagaimana disebutkan di atas, sangat mungkin terjadi. Bahkan atas alasan tersebut, melalui Menkominfo, Pemerintah serius berencana menutup media sosial secara umum, medsos masih banyak memuat konten-konten negatif (www.republika.co.id 6/62017). Sebuah ancaman serius, meskipun di medsos akhirnya jua banyak tanggapan yang berlawanan dengan pendapat pemerintah itu.

Konten

Sebagaimana sifat dasar teknologi, pada dasarnya mereka dihadirkan untuk mempermudah, mempercepat dan mempermurah sampainya informasi kepada pengguna. Dan teknologi, pada awalnya selalu netral. Maka ditangan penggunanyalah, sebenarnya teknologi itu akan digunakan untuk apa. Manfaat dan mudharatnya, positi dan negatif sebuah teknologi digunakan. Meskipun dalam dunia maya sudah dikenal dengan adanya netiket, yang sebenarnya mengatur bagaimana pengguna internet (medsos) itu. Namun, karena tidak mengikat, selalu saja terjadi pelanggaran, yang selalu berulang.

Netralitas sebuah teknologi, yang seharusnya justru dimanfaatkan untuk kebaikan, bukan untuk menebar fitnah, kebencian, hoax dan sejenisnya yang berujung pada petaka. Sehingga konten menjadi kuncinya. Dan konten, tentu saja dipengaruhi oleh pemilik akun di medsos. Pada beberapa jenis medsos, dengan keterbatasan ruang untuk mengekspresikan, seringkali tidak cukup untuk memuat pendapat, ide, gagasan yang menjadi konten akun-nya. Sehingga tidak jarang, kesalahpahaman muncul disini. Namun yang perlu saya tekankan, kemampuan membuat konten ini, sebenarnya akan menunjukkan sejauhmana tingkat kedewasaan pemilik akun. Demikian juga ketika menyebarkan konten-konten yang ada.

Panduan yang menyejukkan

Maka, rasa syukur dan ucapan terima kasih bagi Komisi Fatwa yang dengan serius menghadirkan Fatwa No 24 tahun 2017 ini. Inilah panduan, yang memberikan guidelines, yang seharusnya mengikat seluruh kaum muslimin Indonesia. Dalam sistem hukum tata negara Indonesia, memang posisi Fatwa MUI adalah sebagai hukum aspiratif yang mempunyai kekuatan moral bagi kelompok yang mempunyai aspirasi untuk melaksanakannya, tetapi tidak dapat dijadikan alat paksa bagi kelompok lain yang berbeda pendapat atasnya, karena Fatwa MUI bukan hukum positif negara. (Deny Indrayana, Kompas.com, 22/12/2016). Kendatipun demikian, sebagai muslim sebaiknya kita mengikatkan diri dalam fatwa MUI yang memang terbukti memberikan panduan yang mengikat secara syar’i ini.

Sebagaimana kita ketahui, banyak tugas dan fungsi MUI itu. Namun dua diantaranya yang terkait dengan keluarnya fatwa ini adalah ;pertama, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah; kedua, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya hubungan keislaman dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga dalam ini MUI telah berada pada on the right track.

Olehya, kita baca dan pelajari dengan baik Fatwa ini. Selanjutnya, kita secara individu dan mengajak orang lain untuk mengawal fatwa ini. Sekaligus menjadi pelaku dan ikut menyebarkan serta menjadi contoh dalam aplikasinya. Kita kampanye kepada semua pengguna medsos untuk memenuhi dan membanjiri medsos dengan konten-konten positif, yang selalu mengajak kebaikan, optimisme dan kalimat positif lainnya. Kita hindari konten-konten negatif, fitnah, hoax dan sejenisnya yang akan mengakibatkan perpecahan. Semoga kita menjadi pioneer bagi terimplentasikannya fatwa ini. Dan kita berharap dan berdo’a, semoga MUI terus menghasilkan fatwa-fatwa sebagai penduan bagi ummat, dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompetitif ini. Wallahu a’lam

Tulisan ini di muat di http://www.mifta.or.id/read/category/hibernate

Continue reading “Mengawal Fiqh Media Sosial MUI”

Entrepreneurship, Kronik, Peradaban

Ramadhanomic dan Harapan Kebangkitan Ekonomi Umat 



Hidayatullah.com– Bulan Ramadhan yang begitu dinantikan kehadirannya itu kini telah berlalu sepekan lebih. Beberapa fasilitas yang ditawarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, membersamai datangnya sahrul mubarak ini.

Keutamaan Ramadhan, telah menjadi rangsangan bagi setiap orang yang beriman, untuk berlomba-lomba meraih keberkahan di dalamnya.

Ibadah yang memiliki hubungan langsung dengan Allah Subhanahu Wata’ala, bahkan hanya Allah-lah yang tahu berapa reward (pahala) yang layak untuk dilimpahkan kepada hamba-Nya yang berpuasa.

Olehnya, Ramadhan menjadi tempaan bagi yang berpuasa, karena mereka dididik dalam berbagai hal agar mendapatkan output-nya nanti mendapatkan predikat sebagai orang yang bertaqwa.

Namun, Ramadhan bukan hanya berkait dengan ibadah semata. Hadirnya Ramadhan, ternyata dibarengi juga dalam mengubah lifestyle (gaya dan pola hidup) mereka yang berpuasa. Continue reading “Ramadhanomic dan Harapan Kebangkitan Ekonomi Umat “