Entrepreneurship

Wasiat Rasulullah Kepada Abu Dzar Al-Ghifari


panjimas

Jundub bin Junadah bin Sakan (bahasa Arab: جُندب بن جَنادة‎) atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari atau Abizar al-Ghifari adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela. Ia salah seorang sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad SAW langsung ke Mekah untuk menyatakan keislamannya.

Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat. Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh.

Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, “Di perjalanan saya temukan mata air. Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya.” Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, “Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu.” Abu Dzar Al Ghifari r.a, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.

Ketika Muawiyah r.a membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan ‘israf’ (pemborosan).” Muawiyah r.a hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.

Semasa hidupnya, Abu Dzar Al-Ghifari sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abi Dzar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Giffar pada masa jahiliah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum duafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.

Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!”

Sahabat Nabi SAW, pembela kaum dhu’afa dan pejuang antikorupsi ini pernah mengadu kepada Allah ta’ala. “Wahai Pemeliharaku, aku bersumpah dengan keberadaan-Mu, dan Engkau tahu bahwa aku mengatakan kebenaran sehingga aku tidak pernah takut akan kematian dan selalu berharap untuk bertemu dengan-Mu.

Diriwayatkan bahwa Abu Dzar Al-Ghifari meninggal sesuai dengan prediksi Rasulullah SAW. Beliau mengakiri hidupnya di tempat pengasingan dalam kondisi sangat menderita. Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah datang dari arah Irak. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud r.a, seorang ulama Islam terkemuka masa itu.

Tujuh Wasiat

Ada wasiat Rasulullah SAW untuk Abu Dzar Al-Ghifari. Dan dari sini, semakin membentuk pribadi Abi Dzar sebagaimana yang kita baca dalam sirah shabah. Akan tetapi, sebenarnya wasiat  tidak khusus hanya untuk beliau, akan tetapi bagi seluruh umat Nabi Muhammad SAW.

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.  Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya: Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159). Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid). Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521). Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).

Abu Dzar Al-Ghifari adalah teladan bagi siapa saja,  bagaimana seseorang memiliki komitmen dan konsistensi dalam memegang prinsip. Memang tidak semua kita dapat mencontohnya seratus persen. Namun kisah hidupnya merupakan ibrah yang sangat indah, seberapapun yang mampu kita tiru. Sedangkan tujuh wasiat tersebut, seharusnya menjadikan pegangan kita dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini dengan semampu kita untuk mengamalkannya. Wallahu a’lam.

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.