Menarik tulisan pak Dahlan Iskan bertajuk Kecopeten Sebelum ke Amerika. Sebuah satire yang menghibur, sekaligus mengedukasi bagi rakyat. Dan seharusnya pemimpin negeri ini meski menelaah sindiran mantan menteri BUMN itu. Hingga faham betul tentang dampak dari pelemahan kurs rupiah yang sebenarnya menyusahkan rakyat. Bukan malah memberikan argumen, sekaligus pembelaan, sebagaimana disampaikan Menkeu Sri Mulyani yang menyatakan bahwa setiap kenaikan kurs dolar Rp. 100,-, pemerintah dapat Rp. 1,7 T. Yang sontak mendapat respon dari netizen mengapa dolar tidak dibiarkan Rp. 20.000,- bahkan biarkan naik terus, biar negara untungnya besar.
Ilustrasi yang digambarkan oleh pak DIS disitu cukup simple tapi jelas , terkait pengaruh pelemahan rupiah terhadap dolar. Hal yang sangat mudah dipahami oleh orang awam.
Tanpa teori yang muluk-muluk. Beliau menyampaikan dengan kurs seperti saat ini, maka beliau jelaskan, “Kalau Anda punya tabungan Rp 10 miliar berarti Anda kecopetan Rp 500 juta. Kalau simpanan Anda Rp 1 miliar Anda kecopetan Rp 50 juta.” Artinya, istilah kecopetan yang belusu maksud adalah kehilangan/berkurangnya 5% akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah tersebut. Tentu ini tidak sedikit. Makanya beliau menyarankan “Agar tidak merasa kecopetan baiknya Anda tidak ke luar negeri dulu. Anda tetap kecopetan tapi tidak terasa. Tidak terasa tapi tetap kecopetan”
Ternyata, pelemahan rupiah ini tidak hanya dengan dolar. Tetapi hampir terhadap semua mata uang asing. Dua pekan lalu saya merasakan, pas tukar rupiah di KLIA, di money changer resmi, 1 RM = 3.850. Demikian juga saat narik tunai di ATM. Demikian halnya dengan Euro misalnya. Hari inj 1€ = Rp. 16.695,-, nampaknya menjadi angja tertinggi untuk beberapa waktu. Demikian juga bagi saudara-saudara yang mau naik haji. Satu riyal saudi, sudah setara dengan Rp. 3.860, -.
Artinya, kemanapun kita pergi ke luar negeri, dan mesti menukar dengan mata uang setempat, kita bakal kecopeten. Besar dan kecilnya kecopeten kita, tergantung besaran transaksinya, dan jenis mata uangnya. Ini baru pada sekala individu. Jika ini ke korporasi, yang bertransaksi dan hutang dengan mata uang asing, maka masuk kategori kemalingan, hingga kerampokan. Karena, tentu nilai transaksinya lebih besar dari individu.
Jika kemudian kita tarik dalam skala negara, maka ini sudah dalam tingkat penjarahan dan penjajahan. Hutang negara yang dalam bentuk mata uamg asing juga akan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagai informasi, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yg jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2 miliar dollar AS utang pokok sementara 3,8 miliar dollar AS sisanya adalah bunga. Dengan asumsi APBN 2018 1 US$ = 13.400, maka kewajiban tahun ini sebesar 121,94 T. Nah perhari ini 1 US$ = Rp. 14.480, – maka nilainya sebesar 131.77. Untuk bayar hutang dan bunganya saja negara tekor 9,83 T. Nilai yang cukup fantastis.
Belum lagi jika dihitung dengan total utang luar negeri. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) menyebutkan jumlah utang luar negeri (ULN) secara total tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 4,806,580 T (kurs APBN = Rp. 13.400). Namun dengan kurs hari ini setara dengan Rp. 5,193,976 T. Ada kerampokan sebesar Rp. 387.396, – T, angka yang dahsyat. Bisa untuk membangun berbagai fasilitas di negeri ini.
Di lain hal, dengan rakus, tamak dan lobanya, para koruptor menjarah kekayaan negara sangat brutal. Persengkongkolan antara penguasa dan penguasa terjadi secara masif. Buktinya OTT menghiasi media hampir setiap saat. Meski banyak yang menyayangkan koruptor kakap seperti BLBI, Pelindo 2, Sumber Waras dll masih belum tertangani dengan baik, ada kesan cenderung dilupakan. Ini bukti bahwa lembaga anti rasuah tidak mampu mencegah korupsi. Apalagi memberantas. Bahkan terkesan menjadi alat kekuasaan.
Dengan demikian maka, membiarkan dolar terus melambung, sama artinya dengan merobohkan negara ini. Dan semakin menyengsarakan rakyat. Maka, berkurangnya nilai kemiskinan yang beberapa hari lalu, ramai menghiasi media, bisa jadi rekayasa, untuk menutupi ini. Kecerdasan kita tidak harus dinaikkan, untuk memahami data dan fakta ini. Dan, kini lengkap sudah negeri ini dikepung oleh para durjana. Rakyat di copet, pengusaha di maling dan di rampok, koruptor menjarah, dan negara dijajah. Pelakunya asing dan penghianatan bangsa sendiri.
Ini masalah kita semua. Namun meminjam istilah Prof YIM, negara ini dikelola secara amatiran, tidak menunjukkan tanda-tanda professionalisme. Sehingga amburadul di berbagi bidang. Para penyelenggara negara gagal baca, atau tidak bisa membaca kondisi. Sehingga antisipasi dan solusinya, kerapkali salah. Inilah realitas yang kita hadapi saat ini. Bangsa ini harus diselamatkan, jika tidak, maka akan terus berada dalam cengkeraman gerombolan “preman” itu.
Wallahu a’lam
Nice note Gus Bagyo
Siip, suwun om 😚