Sebagaimana tulisan sebelumnya, terkait dengan musibah yang menimpa KRI Nenggala -402, maka bagi kru yang muslim, semoga Syahid di jalan-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa ada beberapa kematian yang mendapatkan pahal mati syahid. Salah satunya adalah yang disebabkan karena tenggelam. Mereka digelari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syahid. Namun jenazahnya disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan (kecuali jika jenazahnya tidak diketemukan, pen). Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah. Semoga mereka semua termasuk dalam golongan ini.
Reaksi publik terhadap peristiwa ini beraneka ragam. Kesedihan mendalam, tentu mewarnai anak bangsa bangsa. Do’a juga terucap, dan tersebar diberbagai media. Namun ternyata, tidak cukup disitu. Ada yang menggugat dan mempertanyakan kejadian ini. Jangan-jangan ini bukan kecelakaan biasa. Akan tetapi ada rekayasa (by design).
Bahkan ada yang sengaja menghancurkan. Buktinya, ada tumpahan minyak dan menurut keterangan Kapuspen TNI, kapal selam itu terbelah menjadi 3 (tiga) bagian dan hancur, dlsb. Termauk juga, mempertanyakan status tuanya kapal selam itu, 40 tahun, dimana terakhir di overhaul pada tahun 2015. Dan setelah itu tidak lakukan perawatan lagi. Padahal idealnya dilakukan overhaul setiap 3 (tiga) tahun sekali. Dan berbagai reaksi lain, yang memenuhi ruang media sosial. Semoga juga segera ketemu root cause-nya.
Kapal Selam Indonesia
Jika kita telisik dari data yang ada, saat ini Indonesia mempunya 5 kapal selam. Kini tinggal 4 buah. Kalah dari beberapa negara kecil lain. Vietnam 6 buah. Singapura 20 buah. Bahkan China 79 kapal selam. Kita unggul dari Malaysia yang punya 2 kapal selam. Sementara Thailand dan Philipina tidak punya kapal selam.
Dari 5 (lima) buah kapal selam yang ada itu, 2 buah didatangkan jaman predisen Soeharto. Yaitu KRI Cakra 401 dan KRI Nenggala 402, yang keduanya di pesan tahun 1977 di Howaldtswerke-Deutsche Werft Jerman dan datang tahun 1981.
Kemudian membeli lagi 3 (tiga) buah kapal selam kelas Jang Bogo Type 209/1200, di beli di jaman Presiden SBY. Yaitu KRI Nagapasa 403, KRI Alugoro 405 dan KRI Ardadeli 404 yang di pesan tahun 2011 dan dibuat oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co.Ltd (DSME), dan kemudian dikirim pada tahun 2014 dan 2015. Ketiga kapal selam ini proses produksinya dikerjasamakan antara DSME Korea Selatan dengan PT PAL Surabaya.
Secara berturut-turut ketiganya, telah dilakukan commissioning pada tahun 2017, 2018, 2019. Harga ketiga kapal selam tersebut adalah US $ 1,07 Milyar. Atau rata-rata per-unit seharga US $ 356,7 juta. Berdasarkan, data yang ada. Dan pada tahun 2019 sudah ada komitmen yang sama dengan pabrik Korsel itu, untuk membeli 3 (tiga) unit kapal selam lagi sekelas KRI Nagapasa ini. Dengan nilai kontrak lebih murah, yaitu senilai US $1,02 Milyar. Tetapi belum terealisasi hingga kini. Sehingga nyaris pemerintahan yang berkuasa saat ini, belum menambah kapal selam sebiji-pun. Padahal kehadirannya sangat strategis sebagai benteng pertahanan NKRI.
Mengapa tidak beli lagi? Apakah tidak ada dana? Berdasarkan RUU APBN Tahun Anggaran 2021, anggaran Kemenhan adalah Rp. 136,9 Trilyun. Secara berurutan sebagai berikut, pada 2016 sebesar Rp 98,1 triliun. Pada 2017 Rp 117,3 triliun, pada 2018 menurun menjadi Rp 106,7 triliun. Kemudian kembali meningkat untuk anggaran tahun 2019 yang sebesar Rp 115,4 triliun, tahun 2020 Rp 117,9 triliun dan APBN 2021 Rp 136,9 triliun. Mengapa tidak bisa beli kapal selam? Padahal, pada tahun 2011 Anggaran untuk Kemenhan “hanya” sebesar 45,2 bisa beli 3 (tiga) kapal selam. Dengan logika itu, seharusnya bisa beli lebih banyak lagi, agar minimal sejajar atau lebih kuat dari Singapura. Mengingat kawasann laut kita, jauh lebuh luas dari negeri jiran itu, tentu lebih membutuhkan armada keamanan laut seperti kapal selam ini.
Sebagaimana penjelasan di atas, harga satu unit kapal selam adalah US $ 356,7 juta atau sekitar Rp, 5,2 T. Sebuah harga yang bisa terjangkau dengan melihat postur anggaran militer/TNI(kemenhan) yang cukup besar itu. Bahkan minimal per tahun bisa beli 1 atau 2 unit. Atau mungkin ada prioritas lain, yang lebih mendesak?
Wakaf adalah solusi
Masjid Jogokaryan memberikan teladan lagi. Dengan melakukan penggalangan dana untuk membeli kapal selam. Dari poster yang tersebar, jelas tertulis Infak Bantuan Pembelian Kapal Selam Pengganti KRI Nenggala 402. Ini sebuah pukulan telak bagi negara, yang tidak mau mengalokasikan anggaran untuk pertahanan negaranya sendiri. Maka, Masjid Jogokaryan memberikan contoh, bagaimana wujud cinta terhadap NKRI itu. Bukan hanya lip service, atau hanya slogan semata. Akan tetapi Masjid Jogokaryan memberikan teladan berupa aksi nyata.
Tetapi menurut saya ada satu lagi pilihan solusi paling tepat untuk penggalangan dana ini. Yaitu menggunakan instrumen wakaf uang. Mengapa demikian? Sebab saat gerakan wakaf uang (GWU) diluncurkan Presiden pada 25/1/2021, dinyatakan bahwa potensi wakaf pertahun adalah 2.000 T, sedangkan potensi wakaf uang sendiri adalah 188 T per tahun. Tetapi menurut KNEKS (Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah), realisasi wakaf uang baru sekitar 800 milyar rupiah. Masih sangat jauh dari potensi yang ada.
Jika ini dapat menjadi program Badan Wakaf Indonesia (BWI) beserta dengan nazhir-nazhir yang telah teregistrasi oleh BWI, akan menjadi tonggak yang fenomenal, sekaligus menunjukkan nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI. Para pewakif-pun, in syaa Allah juga akan berbondong-bondong mendatangi nadzir. Karena jelas dan strategis peruntukannya (obyeknya). Sedangkan mauquf ‘alaih-nya adalah seluruh rakyat Indonesia. Demikian juga, hal ini akan menepis kecurigaan selama ini, bahwa dana wakaf akan masuk APBN. Tetapi ini benar-benar wakaf yang ada wujudnya, dan memiliki nilai strategis. Saya usulkan gerakan ini dinamakan dengan Gerakan Wakaf Kapal Selam (GWKS). Wallahu a’lam
Tulisan ini di muat di Gerakan Wakaf Kapal Selam | Hidayatullah.or.id
Keinginan Presiden Indonesia sejak awal menjabat, untuk mendirikan Silicon Valley Indonesia, sangat menggebu-gebu. Sebuah keinginan yang patut diapresiasi. Meskipun hingga kini belum juga ada yang terealisir. Ada beberapa daerah yang sempat diumumkan sebagai tempat yang cocok untuk membangun Silicon Valley itu. Diantaranya : Banten, Papua, Bandung, Penajam Paser Utara sebagai calon Ibu Kota baru itu, dan yang terakhir dan kemudian menjadi polemik adalah Sukabumi, dengan nama Bukit Algoritma. Sebuah kawasan seluas 888 ha, di KEK Cikidang Sukabumi, dengan total biaya investasi direncanakan sebesar 18 Trilyun itu, sontak membuat heboh jagat netizen.
Siapapun kita, saat ini, hampir dipastikan memiliki ketergantungan terhadap dunia digital. Karena, digitalisasi telah menyentuh di berbagai aspek kehidupan. Bahkan dalam menjalani puasa Ramadhan seperti sekarang ini-pun, ternyata kita tidak bisa lepas dari dunia digital. Untuk melihat jadwal imsyakiyah, mendengarkan ceramah baik via youtube, ataupun yang online, membeli buka puasa, dlsb. Artinya, dunia digital seolah telah menjadi satu dalam hidup kita. Dan ini bukan hanya dirasakan masyarakat perkotaan, digitalisasi ini telah merambah hingga pelosok-pelosok kampung. Itu hanya sebagian kecil. Nanti kita akan bahas tentang bagaimana strategi implementasinya terhadap organisasi.
Masih dari sumber yang sama, dari 345,3 juta nomer yang terkoneksi tersebut, didapatkan data sebagai berikut : 96,5 % pengguna menggunakan untuk keperluan chat dan messenger; 96,3% pengguna akses untuk aplikasi social networking; 86,2% pengguna untuk akses video dan entertainment; 60,4% pengguna untuk aplikasi music; 60,2% pengguna untuk main game; 78,2% pengguna untuk aplikasi belanja (e-commerce); 77,6% pengguna untuk mengakses peta (map); 39,2% pengguna untuk akses perbankan dan layanan keuangan lainnya; 23,4% pengguna untuk akses apliasi kesehatan, kebugaran dan nutrisi; dan 10,9 % pengguna untuk akses aplikasi kencan dan pertemanan.
