Dakwah, ekonomi, iptek, Islam

Potret Mini Gen Z Muslim


voa-islam

Tanggal 1 Syawal 1443 H dua pekan lalu, ada sekitar sebelas anak muda teman main anak saya, silaturrahim ke rumah. Mereka usia SMP dan SMA. Saya ajak ngobrol hampir 1 jam tentang berbagai hal.  Terkait dengan hal kekinian, terutama berkenaan dengan masa depan teknologi. Saya sengaja memilih tema itu, sebab saya yakin saat silaturrahim di tempat lain, banyak di nasihati tentang sekolah, agama dlsb. Saya berusaha memasuki dunia mereka. Mesti ada terasa ada gap yang sangat jauh.

Saya dahului bercerita sekilas tentang bagaimana ilmuwan Islam dulu, mampu mengubah dunia. Dan bagaimana kontribusi nya terhadap sains modern saat ini. Sekilas dikenalkan Al Khawarizmi, Ibn Sina, Al Biruni, Al Jazari, Al Haitam dst. Dan dikaitan dengan kehadiran teknologi saat ini. Kelihatan matanya pada berbinar dan antusias. Dan ternyata nyambung. Padahal, mereka semuanya nyantri, diberbagai pesantren. Ketika saya tanya, ada 2 anak yang sudah hafal 30 juz, tetapi rata-rata mereka sudah hafal lebih dari 5 juz. Continue reading “Potret Mini Gen Z Muslim”

Advertisement
ekonomi, IT, Peradaban

Transformasi Digital Sebuah Keniscayaan


Siapapun kita, saat ini, hampir dipastikan memiliki ketergantungan terhadap dunia digital. Karena, digitalisasi telah menyentuh di berbagai aspek kehidupan. Bahkan dalam menjalani puasa Ramadhan seperti sekarang ini-pun, ternyata kita tidak bisa lepas dari dunia digital. Untuk melihat jadwal imsyakiyah, mendengarkan ceramah baik via youtube, ataupun yang online, membeli buka puasa, dlsb. Artinya, dunia digital seolah telah menjadi satu dalam hidup kita. Dan ini bukan hanya dirasakan masyarakat perkotaan, digitalisasi ini telah merambah hingga pelosok-pelosok kampung. Itu hanya sebagian kecil. Nanti kita akan bahas tentang bagaimana strategi implementasinya terhadap organisasi.

Mari kita telaah laporan we are social yang dapat diakses disini : https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia, dimana menyebutkan bahwa pada tahu 2021 di Indonesia ada 345,3 juta nomer yang terkoneksi ke perangkat bergerak tidak termasuk perangkat untuk IoT (Internet of Things). Dari jumlah itu, 94,9% nya yang sudah terkoneksi dengan jaringan broadband dari 3G-5G. Sementara menurut sensus penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia adalah 270,2 juta jiwa. Artinya ada beberapa orang yang memiliki lebih dari 1 (satu) nomor/telepon genggam.

Masih dari sumber yang sama, dari 345,3 juta nomer yang terkoneksi tersebut, didapatkan data sebagai berikut : 96,5 % pengguna menggunakan untuk keperluan chat dan messenger; 96,3% pengguna akses untuk aplikasi social networking; 86,2% pengguna untuk akses video dan entertainment; 60,4% pengguna untuk aplikasi music; 60,2% pengguna untuk main game; 78,2% pengguna untuk aplikasi belanja (e-commerce); 77,6% pengguna untuk mengakses peta (map); 39,2% pengguna untuk akses perbankan dan layanan keuangan lainnya; 23,4% pengguna untuk akses apliasi kesehatan, kebugaran dan nutrisi; dan 10,9 % pengguna untuk akses aplikasi kencan dan pertemanan.

Yang menarik adalah dalam aspek pembayaran, ternyata mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini bisa dilihat daridata sebagai berikut : 129,9 % pengguna menggunakan mengaktifkan transaksi pembayaran digital; 35,72 milyar dollar (552,51 trilyun rupiah) total nilai tahunan dari transaksi pembayaran yang diaktifkan secara digital tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan 27,6 % dari transaksi tahun sebelumnya. Sedangkan rata-rata belanja setiap user adalah 275 USD atau sekitar 4 juta rupiah. Dan tentu saja hal ini akan terus mengalami pertumbuhan, apalagi dipicu oleh pandemic, yang kemudian mempercepat proses digital.

Dari data di atas, menegaskan kita untuk segera memasuki digitalisasi ini. Kita bisa menarik data-data di atas, untuk kepentingan apapun juga. Olehnya, jika kita masih memaksakan dengan cara-cara konvensional, bisa jadi masih mungkin untuk jalan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Namun hampir menjadi sebuah kepastian bahwa akan tertinggal oleh mereka yang telah mengimplementasikan platform digital tersebut. Dan akibatnya akan hilang dari percaturan di bidang apapun juga. Sehingga, menurut saya, saat ini transformasi digital bukan menjadi  sebuah pilihan, tetapi menjadi sebuah keniscayaan, baik untuk kepentingan individu, maupun kepentingan organisasi dalam bentuk apapun juga.

Secara ringkas, sesungguhnya transformasi digital merupakan konvergensi antara teknologi informasi dengan semua aspek kehidupan dalam masyarakat dan juga dalam organisasi/perusahaan sehingga menghasilkan kualitas layanana yang terbaik.

Bagaimana cara implementasinya? Untuk organisasi apapun juga, saya menawarkan beberapa strategi implementasi berikut :

Pertama, adalah dengan memberikan awareness dari manajemen puncak sebagai pengambil kebijakan hingga low level untuk paham tentang digitalisasi ini.

Kedua, menyusun roadmap/blue print dari digitalisasi. Sehingga bisa diuraikan kebutuhan apa saja yang bisa didigitalkan. Hal ini juga menyangkut 3 (tiga) pilar utama yaitu: 1) people (mempersiapkan SDI sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya), 2) process (menyiapkan kebutuhan data dan informasi serta sistem/aspek apa saja yang akan dibangun dan diintegrasikan) dan 3) technology (menyangkut aplikasi dan infrastruktur)

Ketiga, membuat  piloting (prototyping) di masing-masing bidang/area yang akan didigitalisasikan, dilakukan evaluasi secara komprehenship. Bisa juga dengan melakukan benchmarking terhadap organsiasi sejenis, atau pake metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Keempat, membangun sistem lengkap secara bertahap, selanjutnya mengembangkan sebuah ekosistem digital. Jika ekosistem sudah berjalan dengan baik maka transformasi digital ini akan terlaksana dengan baik.

Kelima, melakukan evaluasi, maintenance dan pengembangan serta inovasi digital terus-menerus mengikuti dinamika dan perkembangan yang ada.

Mari kita mulai melakukan tranformasi digital di organisasi dan komunitas kita sekarang juga. Selanjutnya bersinergi untuk memenangkan masa depan.

ekonomi, Entrepreneurship

Revolusi Industri 4.0 : Ancaman atau Peluang ?


The Forth Industrial Revolution by Klaus Schwab

RRevolusi Industri 4.0 saat ini banyak menjadi topik pembicaraan. Dikalangan akademisi dan dunia industri, termasuk lembaga konsultan, sebenarnya sudah ramai diperbincangkan sejak munculnya buku The Forth Industrial Revolution oleh Klaus Schwab tahun 2015.  Dan olehnya, ditingkat internasional, duskursus dikalangan akademisi dan juga para cerdik pandai mewarnai tulisan, artikel, jurnal, seminar simposium dan sejenisnya.

Untuk Indonesia, beberapa tahun belakangan ini, juga mulai mewarnai perbincangan publik. Bahkan kementerian perindustrian sudah membuat booklet dengan judul Making Indonesia 4.0, yang berisi antisipasi menghadapi Revolusi Industri 4.0 di atas. Demikian juga hampir disemua Perguruan Tinggi juga membuat acara diskusi dan seminar tentang ini. Termasuk tulisan-tulisan ilmiah di jurnal dan juga media masa. Singkatnya, kesadaran akan peluang dan tantangan Revolusi Industri 4.0, telah menjadi milik publik. Ini positif, ditengah hiruk pikuknya tahun politik, yang memang berisik itu. Apalagi setelah debat pilpres semalam 🙂

Dari Revolusi Industri 1.0 hingga 4.0

Gambar di atas, menjelaskan tentang bagaimana revolusi industri 1.0 hingga revolusi industri 4.0 berlangsung. Banyak tulisan yang mengupas tentang itu, namun disini saya sisipkan tuliskan ringkas, untuk menjelaskan bagaimana revolusi industri berlangsung hingga kini. Penjelasan ini saya sadur darihttp://himasif.ilkom.unej.ac.id/2018/05/26/perbedaan-revolusi-industri-1-0-4-0/

Industri 1.0

Pada tahun 1800-an, mesin mesin bertenaga air dan uap dikembangkan untuk membantu para pekerja. Seiring dengan meningkatnya kemampuan prooduuksi, bisnis juga tumbuh dari pemilik usaha perorangan yang mengurus sendiri bisnisnya dan atau meminta bantuan tetangganya sebagai pekerja.

Industri 2.0

Pada awal abad ke-20, listrik menjadi sumber utama kekuasaan. Penggunaan listrik lebih efektif dari pada tenaga uap atau air karena produksi difokuskan ke satu mesin. Akhirnya mesin dirancang dengan sumber daya mereka sendiri, membuatnya lebih portebel.

Dalam periode ini juga melihat perkembangan sejumlah program managemen yang memunginkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manufaktur. Pembagian kerja, dimana setiap pekerja melakukan sebagian dari pekerjaan total, meningkatkan prduktivitas. Produksi barang secara masal menggunakan jalur perakitan menjadi hal biasa. Insinyur mekanik amerika frederick taylor memperkenalkan pendekatan untuk mempelajari pekerjaan guna mengoptimalkan metode pekerja dan tempat kerja Terakhir, prinsip manufaktur yang tepat waktu dan ramping semakin memperhalus cara perusahaan manufaktur dapat meningkatkan kualitas dan output mereka.

Industri 3.0

Dalam beberapa dekade terakhir abad ke-20, penemuan dan pembuatan perangkat elektronik, seperti transistor dan, kemudian, chip sirkuit terintegrasi, memungkinkan untuk lebih mengotomatisasi mesin-mesin individual untuk melengkapi atau mengganti operator. Periode ini juga melahirkan pengembangan sistem perangkat lunak untuk memanfaatkan perangkat keras elektronik. Sistem terintegrasi, seperti perencanaan kebutuhan material, digantikan oleh alat perencanaan sumber daya perusahaan yang memungkinkan manusia untuk merencanakan, menjadwalkan, dan melacak arus produk melalui pabrik. Tekanan untuk mengurangi biaya menyebabkan banyak produsen memindahkan komponen dan operasi perakitan ke negara-negara berbiaya rendah. Perpanjangan dispersi geografis menghasilkan formalisasi konsep manajemen rantai pasokan.

Industri 4.0

Pada abad 21, Industri 4.0 menghubungkan Internet Of Things (IOT) dengan teknik manufaktur untuk memungkinkan sistem berbagi informasi, menganalisanya, dan menggunakannya untuk memandu tindakan cerdas. Ini juga menggabungkan teknologi mutakhir termasuk manufaktur aditif, robotika, kecerdasan buatan dan teknologi kognitif lainnya, material canggih, dan augmented reality, menurut artikel “Industri 4.0 dan Ekosistem Manufaktur” oleh Deloitte University Press.

Perkembangan teknologi baru telah menjadi pendorong utama pergerakan ke Industry 4.0. Beberapa program yang pertama kali dikembangkan pada tahap akhir abad ke-20, seperti sistem eksekusi manufaktur, kontrol lantai toko dan manajemen siklus hidup produk, merupakan konsep berpandangan jauh ke depan yang tidak memiliki teknologi yang dibutuhkan untuk membuat implementasi lengkapnya menjadi mungkin. Sekarang, Industri 4.0 dapat membantu program-program ini mencapai potensi penuh mereka.

Tentang Revolusi Industri 4.0

Menurut Wikipedia, sebagaimana definisi dari World Economic Forum,Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah kondisi pada abad ke-21 ketika terjadi perubahan besar-besaran di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi yang mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik, digital, dan biologi. Revolusi ini ditandai dengan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang, khususnya kecerdasan buatan (artificial intelligent), robot, blockchain, teknologi nano, komputer kuantum, bioteknologi, Internet of Things, percetakan 3D, dan kendaraan tanpa awak.

Sebagaimana revolusi terdahulu, revolusi industri keempat berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Namun, kemajuan di bidang otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin-mesin suatu hari akan mengambil alih pekerjaan manusia. Selain itu, revolusi-revolusi sebelumnya masih dapat menghasilkan lapangan kerja baru untuk menggantikan pekerjaan yang diambilalih oleh mesin, sementara kali ini kemajuan kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja manusia secara keseluruhan.

Sedangkan Menurut KlausSchwab, Revolusi Industri 4.0 meliputi : (Schwab,2015)

  1. Argumentasi: Kecepatan, keluasan dan kedalaman, dampak sistemik (terhadap negara, masyarakat, industri, danperusahaan).
  2. Dampak sistemik: ketimpangan sebagai tantangan terbesar.
  3. Megatrend: Fisik (kendaraan tanpa pengemudi, mesin cetak 3D, advanced robotics, dan material baru), digital, biologis.
  4. Tipping point dari Industri 4.0 diperkirakan terjadi pada tahun 2025.

Dampak Revolusi Industri 4.0

Menurut Schwab lagiada Lima Klaster Dampak Industri 4.0 (Schwab, 2015)

  1. Ekonomi – Pertumbuhan, Pekerjaan, Sifat Kerja
  2. Bisnis – Ekspektasi Konsumen, Produk dengan Data yang Lebih Baik, Inovasi Kolaboratif, Model Operasi Baru
  3. Hubungan Nasional-Global – Pemerintahan; Negara, Region dan Kota; Keamanan Internasional
  4. Masyarakat – Ketimpangan dan Kelas Menengah, Komunitas
  5. Individu – Identitas, Moralitas dan Etika;  Koneksi Antar-Manusia, Pengelolaan informasi publik dan privat

Kita tidak pernah tahu, dan belum diprediksi berapa lama Revolusi Industri 4.0 ini mendeterminasi kehidupan. Memicu terjadinya perubahan Peradaban. Dan, apa lagi yang akan terjadi ke depan. Yang jelas para futurolog akan terus melakukan pemikiran dan penelitian untuk melakukan forecasting dan prediksi masa depan. Yang jelas, perubahan Itu akan semakin cepat. Dan siapapun yang tidak beradaptasi (melakukan perubahan), bakal tergilas oleh waktu. Nampaknya sunnatullah (hukum alam) akan berlaku demikian.

Kendatipun demikian, kondisi seperti ini, paling tidak bagi kita dan bagi dunia, akan mengalami dampak langsung maupun tidak langsung. Dari beberapa pendapat para pakar, saya mencatat sebagai berikut :

  1. Percepatan Pengembangan industri dan ekonomi
  2. Berubahnya Sistem pendidikan dan pengembangan bakat
  3. Bergesernya peran Manusia, terjadi Kolaborasi dengan robot dan AI 
  4. Pasar kerja: pekerjaan diciptakan dan pekerjaan menghilang; kenaikan pekerjaan sesuai permintaan
  5. Pelebaran kesenjangan ekonomi dan pembagian pendapatan 
  6. Kompleks-nya Sistem regulasi
  7. Investasi global yang semakin masif
  8. Berubahnya pola hubunganmasyarakat dan manusia
  9. Arti pekerjaan dan kebutuhan penghasilan dasar 
  10. Penciptaan manusia super
  11. Pengetahuan meta tentang kecerdasan buatan, dst

Ancaman atau Peluang ?

Dari penjelasan di atas, maka dampak yang terjadi bagi kita dan dunia tersebut, sesungguhnya tantangan yang mesti di jawab saat ini dan dimasa mendatang. Jika sekali lagi, kita tidak mau digilas oleh hadirnya Revolusi Industri 4.0 ini, maka perubahan paradigmatik dan sistemik itu harus dimulai dari sekarang, bukan menunggu nanti, ketika semua sudah booming. Ketika itu terjadi, maka kita akan menjadi penonton bahkan lebih dari itu, kita akan jadi obyek penderita.

Negara, harus hadir untuk mempersiapkan semua ini dengan serius. Demikian juga perguruan tinggi sebagai penyokong hadirnya SDM yang kapabel. Demikian juga masyarakat semuanya, meski preparesejak dini. Perubahan itu kini akan terus terjadi. Cepat atau lambat. Adalah sebuah keniscayaan menghadapi era Revolusi Industri 4.0 ini. Jika mereka yang kerdil dan pesimis, maka melihat ini menjadi sebuah ancaman yang menakutkan. Namun bagi mereka yang optimis dan petarung, semua yang ada dihadapan ini adalah peluang sekaligus tantangan. Pertanyaannya, dimana Kita ambil posisi sekarang?

Wallahu a’lam

Depok. 17/02/2019