Salah satu problem bagi sebuah negara adalah persoalan kemiskinan. Tingkat kemiskinan sebuah negara, dijadikan parameter kemakmuran sebuah negara. Sehingga setiap kepala negara, seringkali menjadikan pemberantasan kemiskinan, sebagai KPI-nya, dalam masa pemerintahannya. Faktanya tidak ada negara di dunia ini, yang warga negaranya tidak ada yang miskin. Meski tidak jarang didapati secara statistik, kemiskinan berkurang. Namun ternyata itu hanya semu. Bersebab manipulasi angka, dengan menurunkan standar kemiskinan. Sehingga di atas kertas kemiskinan berkurang, semakin mengecil, namun realitasnya menunjukkan lain.
Dari sini, maka seringkali kemiskinan menjadi komoditas politik. Kemiskinan di jual, baik untuk menarik simpati pemilih, selama pemilihan legislatif maupun eksekutif. Di lain pihak juga untuk dijual bagi donor asing. Apapun yang dipilih. Rakyat tetap miskin, pejabat dan seringkali LSM yang menjual, mendapatkan keuntungan. Artinya, tidak ada keseriusan dalam memberantas kemiskinan ini. Bisa jadi kemiskinan, tetap dipertahankan. Sebab bagi mereka, di dalam kemiskinan itu ada opportunity.
Kemiskinan menurut Islam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk di antaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya. (eramuslim.com)
Kendatipun demikian, Islam sesungguhnya menempatkan orang miskin pada kedudukan mulia, sebagaimana hadits berikut.
“Ya Allah hidupkanlah aku sebagai seorang miskin, matikanlah aku sebagai seorang miskin, dan giringlah aku pada hari kiamat bersama kelompoknya orang-orang miskin“. (HR. Attirmidzi: 2352 dan yg lainnya, hadits ini dihasankan oleh Syeikh Albani).
Mayoritas penduduk SURGA adalah kaum fakir miskin, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Aku telah berdiri di depan pintu surga, maka (kulihat) mayoritas orang yg memasukinya adalah orang-orang miskin“. (HR. Bukhori: 6547, Muslim: 2736)
Kemiskinan menurut BPS
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Atas dasar tersebut, BPS memberikan 14 kriteria kemiskinan. Darinya, pengertian kemiskinan secara ilmiah di Indonesia dibuat BPS. Hasil definisi kemiskinan yang dibuat lembaga BPS menjadi acuan, rujukan berbagai pihak.
Adapun 14 kriteria disebut adalah:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter bujursangkar per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu, rumbia, kayu berkualitas rendah, tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar, bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur, mata air tidak terlindung, sungai, air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar, arang, minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging, susu, ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu, dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas, Poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 meter bujursangkar, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan, barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit, non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Menurut BPS, jika seseorang memiliki minimal 9 variabel dari 14 variabel tersebut, maka sudah terpenuhi untuk dikatakan miskin. Artinya, jika kita memilikinya berarti miskini, dan jika tidak sampai 9 variabel berarti tidak masuk kategori miskin.
Memberantas Kemiskinan
Barangkali dalam sejarah umat manusia, hanya pernah satu masa, dan itu sangat singkat, selama dua tahun sebuah negara, sama sekali tidak ada penduduknya yang miskin. Tidak ada penduduk yang miskin. Orang kaya tidak bisa menyalurkan zakatnya. Bersebab tidak ada orang yang mau menerima. Semua berlomba-lomba untuk saling memberi. Jika saat itu sudah ada pengukuran menggunakan indeks gini, pasti angkanya 0,0. Sebuah pemerataan pendapatan sempurna. Tidak ada kesenjangan. Keadilan dan kemakmuran bener-bener terjadi.
Inilah masa disaat Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah. Sang Khalifah sadar benar dengan sabda Nabi, bahwa kefakiran itu mendekatkan ke kekafiran. Dari sini semua bermula. Cucu dari Umar bin Khattab ini, tidak hanya bercerita. Beliau tampil memberikan contoh, menjadi teladan. Kita bisa baca banyak kisah tentang ini. Revolusi sosial benar-benar terjadi, dan itu dimulai dari dirinya, dan keluarganya sebagai orang terdekat. Sebelum menjadi kebijakan negara. Sebelum memberantas kemiskinan, di negaranya,sebagai kepala negara, beliau memulai dengan memiskinkan keluarganya. Membenahi gaya hidup, dengan mengedepankan zuhud, wara dan qanaah.
Dan dari sini semangat untuk memberi daripada menerima dikedepankan. Rakyat di fasilitasi untuk menjadi bangsa produktif. Meninggalkan budaya konsumtif, apalagi hedonistik. Dan itu dimulai dari istana. Kisah-kisah tauladan sang Khalifah banyak kita jumpai di buku-buku tarikh. Kuncinya adalah :
Pertama, adanya contoh dari puncak kekuasaan untuk budaya hidup hemat dan suka memberi (menolong)
Kedua, menciptakan budaya produktif dengan pemberdayaan masyarakat miskin dan ukm untuk berproduksi
Ketiga, menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, baik melalui proyek padat karya, atau jenis investasi lainnya.
Keempat, pemerataan pembangunan hingga menyentuh komunitas masyarakat miskin. Mempermudah akses masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak, kesehatan dan juga keekonomian, dslb
Kelima, adanya program charity, bisa berupa bantuan langsung dalam bentuk barang, atau bisa juga dalam bentuk uang baik tunai maupun digital
Keenam, dan sebenarnya ini menjadi dasar dari langkah-langkah yang lain adalah memperkuat aqidah dan meningkatkan pemahaman keagamaan, untuk menerima segala apapun yang Allah berikan kepada kita.
Meski sebenarnya banyak solusi lain yang bisa dilakukan, tetapi keenam hal tersebut di atas, menjadi kuncinya. Wallahu a’lam
Palu, 22/01/2018