Islam, Peradaban

Bangsa Konsumtif


Dulu, ketika masih SD dan SMP, dipaksa oleh guru IPS/Geografi untuk menghafal bahwa, Indonesia selalu menduduki peringkat 1-2 komoditas, baik hasil pertanian, perkebunan, kehutanan termasuk hasil tambang. Bagaimanapun juga, saat itu negara ini juga mengalami swasembada pangan, di berbagai sektor. Dan data-data tersebut cukup membanggakan sebagai anak bangsa. Menegaskan bahwa negara ini, memang gemah ripah lohjinawi, toto tentrem kerto raharjo, tukul tan sarwo tinandur dst. Dan mengkomfirmasi apa yang jadi syair lagu Koes Plus, tongkat dan kayu jadi tanaman.

Tetapi meski demikian hebatnya, sejak setelah merdeka, hingga saat ini, bangsa ini masih belum mampu untuk memproduksi kebutuhannya sendiri. Jika itu terkait dengan kebutuhan sekunder dan tersier, mungkin masih bisa dimaklumi. Namun jika berkait dengan kebutuhan primer (pokok), maka pasti ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini. Mari kita lihat, sumberdaya alam sangat melimpah dinegeri ini. Tetapi anehnya dari tahun ke tahun selalu saja negeri ini mengekspor bahan mentah ke luar negeri. Ada sedikit perbaikan dengan mengekspor bahan setengah jadi, dengan kewajiban membuat smelter, dan sejenisnya, namun masih  juga  belum optimal. Dan kita kemudian disibukkan lagi untuk urusan  mengimpor barang jadi ke negeri ini. Sehingga negeri ini, kebanjiran produk-produk impor.

Beberapa saat ini, dihentakkan kesadaran kita bahwa pemerintah akan mengimpor 500 ribu ton beras, meski  mendapat penolakan dari berbagai wilayah, bersebab cadangan di wilayah masih banyak. Dan 1-2 bulan lagi ada panen raya. Sehingga gabah dan beras petani dalam negeri seharusnya justru dibeli, bukan malah mengimpor. Meskipun menurut Mentan itu wujud cinta presiden kepada rakyatnya (petani), tetapi sesungguhnya itu wujud penghinaan ke Petani. Demikian pula rencana impor 3,7 ton garam, ini merupakan pelecehan terhadap akademisi dan juga Pengusaha serta petani garam. Dimana dengan garis pantai negeri ini, yang termasuk terpanjang di dunia, tentu bahan bakunya melimpah, dan malah impor. Belum lagi jika kita lanjutkan dengan data impor jagung, kedelai, gula, daging dan kebutuhan pokok lainnya. Maka, hampir tidak ada kebanggaan atas negeri ini, bersebab kebutuhan pokokpun harus impor. Belum lagi membanjirnya barang-barang dari China, yang memenuhi pasaran. Dan kemudian, mematikan produsen lokal.

Kita mesti beranjak dari kondisi ini. Kita mesti melawan. Harus ada perubahan mendasar. Revolusi mental itu, mestinya  merubah dari mentalitas bangsa konsumtif menjadi bangsa produktif. Tidak cukup selalu berteriak NKRI harga mati, lalu abai terhadap permasalahan ini. Cinta tanah air itu adalah aksi nyata, bukan cuma Wacana. Negara seharusnya memberi contoh yang baik, untuk mencintai tanah air, dengan menggalakkan produksi dalam negeri dan mengkonsumsi produk dalam negeri. Seharusnya selalu ada upaya untuk menolak impor dan memproteksi produk dalam negeri. Bukan malah menggalakkan impor.

Jika mentalitas birokrat masih rusak seperti ini, artinya memilih impor dari pada menggalakkan produk dalam negeri, patut diduga mentalitas korup telah menjangkitinya. Sebab sebagaimana disampaikan oleh mantan MENKO, bahwa disetiap impor itu, ada prosentase yang di dapatkan, baik oleh importir, maupun oleh pejabat yang memberikan ijin. Ada rupiah yang mengalir, itulah barangkali penyebab mengapa para pejabat itu ngotot untuk impor. Saya khawatir, birokrat negara ini sudah mengalami sindrom konsumtif (consumptive syndrome)

Kembali ke soal perlawanan. Maka membangkitkan kesadaran untuk memproduksi produk sendiri dan mengkomsi hasil produk sendiri harus menjadi paradigma bangsa ini. Kita tidak bisa selalu berharap kepada negara yang tidak berpihak kepada rakyat jelata. Secara praktis hal ini mesti diterapkan. Secara proses kesadaran bisa dilakukan oleh akademisi, ulama, ustadz, Kyai, guru-guru dan simpul-simpul masyarakat untuk selalu membahasakan kepada umat. Sehingga kesadarannya akan muncul dan selanjutnya mengubah. Memang butuh waktu. Tidak bisa instan. Tetapi harus dimulai saat ini. Syukur-syukur mentalitas birokrat dan kebijakan negara berubah. Yaitu dengan memberdayakan produk dalam negeri. Dan ada gerakan untuk berproduksi. Yang bukan sekedar slogan. Tetapi aksi nyata. Sehingga beberapa tahun ke depan kita bisa bilang selamat tinggal bangsa konsumtif. Selamat datang bangsa produktif. Dan itu dimulai dari kita. Jika tidak kita tetap jadi bangsa konsumtif. Artinya kita jadi bangsa terjajah. Wallahu a’lam.

Advertisement

1 thought on “Bangsa Konsumtif”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.