Meski bukan “barang” baru, namun penggunaan istilah sharing economy (ekonomi berbagi) atau ada yang menyebutnya dengan istilah collaborative economy, masih tergolong baru, apalagi di Indonesia. Istilah itu begitu mengemuka, saat para perusahaan rintisan (start-up) tumbuh subur dan terjadi dot net booming di Silicon Valley, menjelang dan diseputaran tahun 2000-an. Dan kemudian mendapatkan momemtum, pada saat arus disruptive economy, beberapa tahun ini lajunya kian kencang. Dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh teknologi, maka sharing economy ini, telah menjadi trends saat ini.
Para pengamat dan pelaku usaha serta akademisi dibuat terkejut, saat perusahaan-perusahaan raksasa yang pernah menguasai dunia, seperti Sony, Ericsson, Walkman Nokia, Kodak dan seterusnya rontok, berguguran dan nyaris gulung tikar. Bukan berarti mereka tidak melakukan perubahan. Mereka jelas melakukan perubahan, namun mereka tidak bisa melawan teknologi dan perubahan paradigma bisnis. Dalam bahasa kekiniannya, mereka terdisrupsi oleh kehadiran teknologi baru. Dan lebih heboh lagi, pada saat bersamaan, bermunculan perusahaan-perusahaan baru yang tidak dikenal sebelumnya, dengan valuasi yang meraksasa dan tumbuh dengan cepat. Seperti Airbnb, Facebook, Uber, GoJek, Grab, Tokopedia, Bukalapak dan sejenisnya. Dalam satu sisi mengundang tanya besar, revolusi apa yang kini sedang terjadi? Sementara, raksasa baru itu, rata-rata di besut oleh anak muda, anak ingusan, anak kemarin sore, dalam kaca-mata mereka, mungkin “tidak ada potongan” jadi pengusaha. Namun senyatanya, mereka kini terus merangsek.
Ternyata kata kuncinya adalah implementasi dari sharing ekonomi itu. Menurut Prof Reinald Khasali “Sharing economy adalah sikap partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menciptakan value, kemandirian, dan kesejahteraan, emuanya melakukan peran masing-masing, maka nanti akan terjadi yang namanya bagi hasil. Jadi sharing di sini adalah, bagi peran dan bagi hasil. Selain welfare, efisiensi juga tercipta,”. Model ekonomi berbagi seperti ini sebetulnya munculnya sudah sejak lama. Bedanya, kini teknologi berkembang pesat sehingga munculah aplikasi (apps), situs web, e-commerce, fintech, atau platform marketplace lainnya sebagai perantara untuk saling memanfaatkan aset dan berbagi untung dengan cepat. Hal ini bertolak belakang dengan model konglomerasi, di mana banyak pengusaha yang ingin menjadi konglomerat, olehnya berupaya memiliki aset kunci dalam perusahaan. Sedangkan dalam sharing economy, maka aset utamanya mungkin justru dimiliki oleh pihak ketiga. Sehingga orang tua jaman old, biasanya tergagap-gagap dengan model pengembangan bisnis baru ini, karena mindsetnya telah terbentuk, bahwa yang besar itu mesti harus konglomerasi, dengan menguasai hulu-hilir. Sementara kids jaman now, memiliki paradigma baru, untuk menjadi besar itu harus berbagi.
Kehadiran iGrow misalnya. Apps besutan Badr Interactive tersebut berusaha mempertemukan antara, orang yang punya lahan, petani/penggarap, investor (pemodal) dan pasar atau industri. Sehingga tercipta sebuah mekanisme pertanian modern, petani apps. Dan keuntungan dari kegiatan pertanian ini, misal menanam jagung disebuah lahan, maka hasilnya tinggal dibagi-bagi kepada pihak yang terlibat secara proporsional. Demikian juga halnya dengan layanan GrabCar misalnya, serta transportasi online sejenisnya. Ada tim yang mengembangkan teknologi berupa peranti lunak (apps) lalu daripada mereka mempekerjakan sopir dan harus menggajinya, maka mereka memilih untuk menjalin kerjasama dengan individu yang bisa menyetir dan butuh pekerjaan. Tim di balik GrabCar memutar otak, daripada membeli tanah untuk bangun pangkalan bernilai mahal, maka mereka bekerja sama dengan individu dan perusahaan rental mobil. Dari sini GrabCar juga terhindari dari mengurus izin plat kuning yang mahal, bisa Rp1,5 juta tiap mobil per tahun. Lalu, semua pemasukan tinggal dibagi-bagi. Sehingga terjadi efisiensi, ada kecepatan, sehingga harga menjadi murah, dan selanjutnya keuntungan juga di-share sesuai dengan kesepakatan. Dan contoh lain misalnya, adalah kini sedang ramai dikalangan muslim untuk sharing dalam pendirian ritel muslim. Dimana ada yang berinvestasi dengan menyiapkan modal secara patungan, ada pengelola, ada pemasok, ada yang punya gedung, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, jika kita cermati, maka konsep bisnis dalam Islam, jauh lebih dulu memperkenalkan model seperti ini. Musyarakah dan mudharabah adalah model pengembangan bisnis yang berbasis profit sharing. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal. Dan keuntungan yang didapatkan, dibagi secara proporsional kepada masing-masing pihak.
Sedangkan Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dalam melakukan usaha, dengan proporsi pembagian profit bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
Jikan kita cermati, maka model musyarakah dan mudharabah ini, juga bisa dikembangkan dengan menggunakan skema wakaf, sebagaimana tulisan terdahulu. Dengan demikian maka, sharing economy maupun collaborative economy ini, sekali lagi sesungguhnya bukan barang baru bagi khazanah bisnis Islam. Islam sudah lama memilikinya. Yang menjadi soal adalah, penerapannya saat ini belum ada yang bisa menjadi benchmarking untuk dikembangkan sebagai model ekonomi. Sebab, praktek musyarakah dan mudharabah yang ada, yang diterapkan oleh perbankan islam misalnya, juga masih belum 100% menerapkan prinsip ini, sesuai dengan kaidah syariah yang berlaku. Demikian juga, jika dua orang muslim atau lebih, melakukan kongsi, masih di drive oleh perilaku kapitalis.
Hal ini merupakan tantangan yang sesungguhnya dihadapi oleh umat Islam. Meski dengan istilah lain, sesungguhnya sharing economy itu merupakan kekayaan Islam yang di “curi” atau lebih tepatnya di implementasikan oleh orang lain. Dan terbukti, sistem yang dimiliki oleh Islam itu selalu menjadi solusi bagi problematika ekonomi dunia. Bukan sekedar alternatif. Dan semoga hal ini semkin menaikkan level confident para pelaku bisnis muslim, bukan malah inferior dan terjebak dalam skema kapitalis yang berbasis materialisme itu. Wallahu a’lam
Jakarta,1/02/2018