Islam, Parenting, Peradaban

Tujuh Sikap Menghadapi Ujian


hidayatullah.com

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al-Baqarah : 214)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di didalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, menafsirkan Surat Al-Baqarah : 214 di atas dengan, “Demikianlah setiap orang yang menegakkan kebenaran itu pasti akan diuji, dan ketika persoalannya semakin sulit dan susah lalu dia bersabar dan tegar menghadapinya, niscaya ujian tersebut akan berubah menjadi anugerah untuknya, dan segala kesulitan itu menjadi ketenangan, lalu Allah mengusulkan semua itu dengan kemenangannya atas musuh-musuhnya serta mengobati penyakit yang ada dalam hatinya”.

Ada hal menarik dan menggelitik sekaligus menjadi tadzkirah bagi kita adalah dari tafsiran beliau di akhir ayat. Beliau menyatakan ketika ujian itu ada, maka seseorang menjadi mulia atau menjadi hina (karenanya). Konsekwensi logisnya adalah, setiap ujian yang ditimpakan kepada hamba, apapun bentuknya sesungguhnya ibarat dua sisi mata uang ; bisa membawa kemuliaan, dalam arti akan menjadi semakin beriman, atau dia akan dihinakan oleh Allah swt, jika kemudian salah dalam menyikapi berbagai bentuk ujian itu.

Surat Al-Baqarah : 214 ini senada dengan QS. Al-Imran : 142  “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” Dimana Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, menafsirkan  “Sesungguhnya barangsiapa yang ingin menyusuri jalan menuju syurga maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi penderitaan dan rintangan, dan bersabar dari segala kemaksiatan yang menggiurkan, dan bersabar pula di atas ketaatan yang berat tanpa mengurangi nilai keutamaannya”.

Hal  yang sejenis pula terdapat pada QS. Al-Ankabut : 2-3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”  Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, menafsirkan,”Yakni sedang mereka tidak diberi cobaan dalam harta dan diri mereka. Kenyataannya tidak seperti yang mereka sangka, mereka harus diuji dengan perintah berjihad, kemiskinan, mara bahaya, dan lain sebagainya, agar jelas siapa yang jujur dalam keimanannya dan siapa yang munafik, siapa yang benar dan siapa yang bohong”.

Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya”(HR. at-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031).

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda,” Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: ‘Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan mencobanya dengan cobaan yang tidak ada obatnya. Jika dia sabar, maka Allah memilihnya dan jika dia ridho, maka Allah menjadikannya pilihan.’”(HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302).

Bagaimana Sikap Kita?

Sebenarnya masih banyak lagi dalil berkenaan dengan ujian ini. Akan tetapi yang perlu kita pahami adalah bahwa keutamaan dan keberhasilan dalam menghadapi ujian dalam berbagai bentuk itu, merupakan pintu masuk menuju jannah-Nya. Oleh karenanya kita meski memiliki sikap yang tepat dalam menghadapi ujian ini, sehingga mengubah ujian menjadi anugerah.

Setidaknya ada  7 (tujuh) sikap yang bisa kita jadikan pedoman untuk menghadapi ujian tersebut, yaitu :

Pertama bersyukur, mengapa kita meski bersyukur, sebab dengan adanya ujian kepada kita, maka sesungguhnya itu merupakan wujud kasih sayang Allah ta’ala kepada hamba-Nya. Dan hanya hamba terpilih yang diberi ujian. Demikian juga tidak mungkin Allah ta’ala menimpakan ujian kepada hambanya di luar kemampuan hamba itu sendiri. Disisi lain, sebuah ujian sesungguhnya akan menaikkan derajat (maqom) seorang hamba. Sehingga bersyukur sebuah wujud yang tepat untuk mensikapi ujian.

Kedua sabar, karena sikap sabar ini merupakn kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Semakin tinggi tingkat kesabaran seseorang, maka semakin siap pula ia menghadapi suatu masalah. Orang yang sabar adalah orang yang memiliki nilai tinggi dalam hidup dan lingkungannya. Dalam terminologi Islam, sikap sabar ini di ditunjukkan dengan menerima kenyataan dan berkhusnudzon terhadap Allah bahwa ini adalah takdir terbaik untuknya. Sikap seperti ini tentunya memberikan berbagai macam dampak positif bagi siapapun yang menerapkannya.

Ketiga semakin beriman, sebab Iman adalah pondasi hidup seorang muslim, oleh karena itu iman yang sejatinya merupakan sumber kekuatan seorang muslim akan diuji oleh Allah melalui berbagai macam ujian hidup. Sedangkan iman itu, kadang naik kadang turun. Sehingga justru dengan adanya ujian, seharusnya semakin meningkatkan keimanan kepada Allah swt, dengan meperbanyak amal dan ibadah. Karena ujian itu sesungguhnya disatu sisi merupakan wujud kasih sayang Allah terhadap hambanya.

Keempat berdzikir, inti dari berdzikr itu adalah  mengingat Allah, sebagai seorang hamba akan dilapangkan dadanya bahkan lebih lapang dari dunia dan seluruh yang ada didalamnya. Sholat merupakan salah satu bentuk dari dzikir itu sendiri. Hati yang berdzikir akan seolah ada nutrisi yang memberikan kehidupan ke seluruh tubuh, hingga kehidupan yang dijalani akan terasa sangat ringan.

Kelima ridha dan berkhusnudzan, Rasulullah saw menjanjikan siapa yang ridha terhadap ujian yang menimpanya, maka Allah swt pun akan ridha terhadapnya. Karena dengan ridha, hati kita akan menerima dengan ikhlas, tanpa beban. Dan, obat yang paling manjur bagi setiap ujian adalah, ketika mengalami musibah adalah dengan ridha dan ikhlas menerima ketetapan yang Allah berikan. Sekap berkhusnuzhan seperti ini, akan menjadi sugesti dan sekaligus mengundang pertolongan dari Allah swt.

Keenam introspeksi diri, sebagaimana dalam tafsir As-Sa’di di atas bahwa ketika ujian itu ada, maka seseorang menjadi mulia atau menjadi hina (karenanya). Dari sini, menjadi media bagi kita untuk bermuhasabah, atas seluruh amal ibadah yang kita lakukan selama ini, sehingga introspeksi yang dimaksud hingga pada tataran beristighfar kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya. Dan kemudian tidak lupa pula untuk meminta maaf kepada makhluk hidup yang ada kesalahan terhadapnya.

Ketujuh berikhtiar mencari solusi, setiap masalah pasti ada solusinya, sebab seringkali kita tidak mencari solusi tetpi justru mempermasalahkan masalah. Solusi bisa berasal dari muhasabah terhadap ujian yang menimpa diri kita. Kita bisa melkukan ikhtiardengan berbagai cara yang halal. Bisa dengan mandiri atau bisa juga dengan meminta pendapat dan pertimbangan orang lain. Dan yang lebih utama adalah meminta petunjuk dan tawakal kepada  Allah swt, melalui ibadah dan munajat yang kita lakukan.

Ujian hidup dan cobaan adalah hal yang pasti pernah terjadi dan kita alami. Apapun bentuk dan jenisnyanya, serta kapanpun hal itu terjadi. Masalah yang timbul bisa ringan atau bahkan berat. Setiap orang berbeda-beda. Sebagai seorang muslim, ujian yang datang tentu berasal dari Allah SWT, yang kerapkali disebabkan oleh ulah kita sendiri. Sehingga sudah barang tentu ada alasan mengapa Allah SWT memberikan cobaan dan ujian kepada hamba-Nya dan terkhusus kepada diri kita. Tentu hanya Allah swt yang tahu. Dan tugas kita adalah muhasabah diri lalu berikhtiar semaksimal mungkin. Selebihnya kita berserah diri dan tawakal kepada Allah swt, sang penentu segalanya.

Wallahu A’lam

Asih Subagyo│Pendidik

Tulisan  ini telah tayang di –> https://tadabbur.republika.co.id/posts/110963/enam-sikap-menghadapi-ujian, dengan sedikit editing

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.