Islam, Peradaban, Ramadhan, Tarbiyah

Work From Mosque ?


foto : tirto

Tidak terasa kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan ramadhan (asyrul awakhir fi syahril ramadhan). Sebuah episode penghujung di Ramdhan kali ini. Dimana, minimal sejak bulan rajab kita sudah mengharapkan kehadiran tamu agung itu, namun kini dalam hitungan hari tamu itu akan pegi meninggalkan kita. Dan entah, tahun depan kita bisa bersua dengan Ramadhan kembali atau tidak. Bahkan sesaat setelah ini, kita masih hidup atau tidak, semuanya merupakan ketetapan Allah Ta’ala.

Ibarat sebuah lari marathon, saat menjelang finish, justru konsentrasi penuh, dan dengan kekuatan sepenuhnya untuk lari sekencang-kencangnya dalam memenangkan perlombaan itu. Dalam idiom bahasa Inggris sering disebutkan the last minutes is decisive (menit-menit terakhir itu menentukan). Atau dalam bahasa al-Qur’an di surat adh-dhuha ayat : 4 وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ “Dan sesungguhnya hari akhir (kemudian) itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”.

Demikian juga yang dicontohkan Rasulullah saw, ketika memasuki bulan Ramadhan, sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasannya “dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila telah masuk 10 terakhir beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

I’tikaf

Lantas apa yang dilakukan Nabi di 10 hari terakhir tersebut. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]

I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Yang dimaksud amalan tertentu disini adala, selain tentu shalat wajib dan sunnah, juga tadarus al-Qur’an, termasuk qiyamul lail, dlsb.

Oleh karena itu, sebenarnya i’tikaf dapat dilakukan setiap saat, tetapi khususnya di bulan Ramadan i’tikaf lebih dianjurkan. Itikaf di bulan Ramadan dianjurkan terutama di sepuluh malam terakhir. Hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa itikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan bagai berit’ikaf bersama beliau (Rasulullah SAW). “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir.” (HR Ibnu Hibban).

Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).

Beberapa syarat I’tikaf adalah : Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam; Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; Orang yang akan melaksanakan i’tikaf  hendaklah memiliki niat i’tikaf; Orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf (terutama untuk perempuan, tentu tidak melaksanakan sholat juga)

Para  ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu; karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at;  karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya.; karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.

Kondisi Kontemporer

Saat ini kesadaran orang untuk beri’tikaf sangat tinggi. Akan tetapi terkendala oleh pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga ada beberapa hal yang dilakukan dalam menyikapi ini. Pertama, cuti dan beri’tikaf di masjid. Kedua, tidak beri’tikaf karena kantor belum libur/pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Ketiga, melakukan I’tikaf tetap sambil bolak-balik kerja (hit and run). Keempat, I’tikaf dengan tetap kerja dari masjid (work from mosque) untuk yang terakhir ini hanya jenis profesi tertentu. Kita tidak bisa menghakimi, siapa diantara empat model itu yang paling utama. Karena semuanya memiiki alasan, sebagaimana yang dipebolehkan oleh para ulama.

Dari reaalitas di atas, sehingga kita menjumpai pada sepuluh hari terakhir seperti saat ini, masjid-masjid dipenuhi oleh jama’ah. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran untuk mengikuti sunnah rasulullah sangat tinggi, atau memang menjadi trend dan lifestyle, kita tidak pernah tahu. Tua-muda, laki-laki perempuan, eksekutif atau pekerja biasa, bahkan dalam sebuah keluarga, semua tumpah ruah memenuhi masjid, apalagi di malam-malam ganjil. Khusus tahun ini malah semakin semarak, sebab sudah 2 (dua) ramadhan ada pembatasan yang ketat untuk melakukan I’tikaf, karena sedang ganas-ganasnya pandemi saat itu. Meski tetap ada saja yang melakukan I’tikaf.

Dewasa ini pekembangan teknologi informasi semakin memudahkan pekerjaan manusia. Sebelum pandemi ada istilah digital nomade, dimana orang bisa bekerja tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Lalu saat pandemi tenar dengan istilah WFH (work from home) dimana pekerjaan bisa diremote dan dilakukan dari rumah. Lalu berkembang istilah WFA (work from anywhere), ini juga pekerjaan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dan saat i’tikaf seperti saat ini, berkembang lagi dengan sebutan WFM (work from mosque), dimana sambil I’tikaf sesuai dengan syarat dan rukunnya, akan tetapi masih tetap produktif mengerjaan pekerjaan yang menjadi bebannya tanpa meninggalkan masjid secara fisik.

Apapun pilihan kita, jika semuanya dilakukan dalam kerangka lillah, artinya semata-mata karena mencari ridha Allah dalam melaksakan kewajiban dan sunnahnya, maka akan dicatat menjadi amal kebajikan oleh Allah ta’ala. Jadi perbaiki niat kita, dan selanjutnya kita niatkan I’tikaf kita tahun ini semaksimal mungkin, sehingga melengkapi amalan ramadhan dalam rangka menggapai derajat takwa. Wallahu a’lam

Asih Subagyo│Senior Researcher Hidayatullah Institute

Tulisan ini telah tayang di laman à https://hidayatullah.com/kajian/read/2022/04/23/229316/bekerja-dari-masjid.html

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.