ekonomi, Entrepreneurship, Islam

Menggagas Kemandirian Pesantren


Tadi malam, Selasa 27/4/2021, diundang untuk mengisi Kajian Ramadhan oleh Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I) secara daring Via Zoom. Tema yang ditawarkan kepada saya adalah Menggali Potensi Sumber Pendanaan (Kemandirian) Pesantren (Best Practice Pesantren Hidayatullah). KH. Dr. Tata Ali Taufik selaku Ketua Dewan Pengurus P2I langsung memandu acara ini.

Kajian Ramadhan oleh P2I ini, dihadirkan pada Ramadhan kali ini, dengan menghadirkan pembicara dari berbagai narasumber dan latar belakang, untuk mendapatkan bekal bagi P2I dalam rangka merumuskan konsep dan strategi kemandirian dan keunggulan Pesantren pada tahun 2045. Sebuah cita-cita yang mulia yang patut didukung oleh semua stake holder umat Islam.

P2I sendiri merupakan organisasi massa nirlaba mewadahi para praktisi dunia pendidikan pesantren dari berbagai penjuru tanah air, bersifat nonpartisan berazaskan Islam berdasarkan Pancasila dan UUD RI 45.

Jam 20.50 WIB acara di mulai. Saya memaparkan materi berjudul Kemandirian Pesantren Dengan Pendekatan Closed Loop Economy Berbasis Wakaf. Seperti biasa dimulai dengan memperkenalkan diri dan organisasi beserta jaringan dan kegiatannya. Kemudian keberadaan jaringan pesantren Hidayatullah yang ada di 620 pesantren, di 34 propinsi dan di 374 Kabupaten/Kota. Sekitar Ada 85 ribu santri/mahasantri dan 5.500 ustadz/guru/pengasuh. Dari data singkat ini, sesungguhnya telah menggambarkan cakupan ekonominya.

Ada model generik dan siklus ekonomi yang selama ini lazim diimplementasikan di pesantren-pesantren di Indonesia. Model tersebut setidaknya dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Model Generik dan Siklus Ekonomi Pesantren

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa, sumber pendanaan pesantren digambarkan bersumber dari : SPP, Uang Gedung, ZISWAF, Donatur, Dari Unit Bisnis/Kopontren, Bantuan Pemerintah, dll. Demikian juga pemanfaatan masing-masing dana tersebut biasanya juga sudah dialokasikan sesuai dengan gambar tersebut di atas. Alokasinya biasanya secara generik diperuntukkan untuk : Sarana dan Prasaran, Operasional Pendidikan, Kesejahteraan (Ustadz/Guru/Pengasuh), Bea Santri dan Pengembangan. Selanjutnya, dari gambar tersebut di atas, setidaknya kita akan paham bahwa, yang seharusnya memberi kontribusi tebesar., karena setiap alokasi ada, adalah dari Kopontren/Bisnis. Sehingga wajar, jika kegiatan perekonomian di Pesantren ini mesti di kejar. Tanpa meninggalkan core dari pesantren tersebut, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam dengan seluruh kurikulum dan manajemen pengelolaan di dalamnya.

Dalam kesempatan tersebut, saya juga menawarkan konsep pendekatan closed loop economy dengan wakaf sebagai basisnya. Pendekatan ini dilakukan, mengingat bahwa mayoritas Pesantren itu berdiri di atas tanah wakaf. Dan biasanya juga terus mendapat amanah wakaf. Akan tetapi belum optimal dalam pemanfaatannya. Sehingga secara ringkas tawaran saya tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Close Loop Economy berbasis Wakaf

Ini membutuhkan pembahasan yang agak panjang. Tetapi secara sederhana adalah, bahwa sumber daya wakaf yang ada mesti dapat dihimpun dan dikelola dengan profesional oleh nadzir yang profesional pula. Sehingga perlu ada fund manager di lembaga kenadziran yang merumuskan dan mengeksekusi pengelolaan dan kemana harus investasi. Kemudian bisa kolaborasi dengan LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah-Pengelola Wakaf Uang) serta investor lainnya, untuk menginvestasikan dana wakaf (terutama wakaf uang dan wakaf melalui uang) dalam bentuk investasi seperti Saham, Sukuk, Reksadana Syariah yang menggnakan akad Syariah dan Low Risk dan lain sebagainya.

Disamping itu, juga bisa memanfaatkan wakaf asset, untuk dikelola dengan investor lain, dengan membentyuk korporasi. Sehingga bentuk pengelolaan investasinya dapat berupa : Perkebunan, Peternakan, Pertanian, Sekolah, Pesantren, Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, apartemen, Hotel, Laboratorium, Pabrik Pengolahan dlsb. Bahkan saya berseloroh, wakaf kapal selam pun juga bisa. Artinya, konsep ini bisa dikembangkan oleh masing-masing pesantren, terhadap potensi apa yang paling prospektif di daerahnya.

Selanjutnya saya juga memberi warning, berupa kunci-kunci sukses agar konsep ini bisa berjalan dengan baik. Key Success Factor tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Key Success Factor

Dari key success faktor tersebut di atas yang perlu saya tekankan adalah, adanya edukasi ke wakif, sehingga melahirkan pemahaman tentang wakaf. Agar tidak hanya sebatas 3 M saja (Masjid/Mushola, Makam dan Madrash), tetapi implementasi wakaf, lebih dari itu. Lengkap dengan pemahaman regulasi dan fiqh di dalamnya.

Kemudian dukungan dari pemerintah, pesantren dan Kyai. Yang lebih saya tekankan adalah bahwa pesantren (Yayasan) dan kyai mesti memiliki pemahaman dan keberpihakan disini. Bahkan harus menjadi pendukung utama.

Profesionalitas Nadzir ini dimaksudkan bahwa, pesantren harus mendaftarkan nadzirnya ke kemenag atau bisa bekerjasama dengan nadzir lainnya. Dimana sebagaimana pada penjelasan pada gambar sebelumnya, bahwa fungsi nadzir ini, sebagaimana mengelola bisnis. Menggunakan parameter dan pendekatan bisnis. Meski semua tetap berada pada koridor syar’i yang ada.

Kebijakan pesantren berupa pembagian yang jelas terkait kepemilikan asset. Apakah wakaf, SHM, HGU, HGB, HP dlsb. Dan untuk wakaf, tidak bisa hanya berupa ikrar wakaf saja, akan tetapi mesti diurus sampai mendapatkan sertifikat wakaf.

Strategi Investasi ini, sesungguhnya melekat pada profesionalitas nadzir yang harus ada fund managernya, serta adanya dukungan dari Kyiai dan juga Kebijakan pesantren. Sehingga resiko yang timbul di kemudian hari dapat di kalkulasi/dihitung (Risk Calculation).

Selanjutnya harus melakukan kolaborasi dengan berebagai pihak sebagaimana dijelaskan pada gambar sebelumnya. Sehingga dapat membangun “proyek bersama” yang melibatkan berbagai pihak. Sehingga ada sinergi yang akan menghasilkan kelolaan wakaf ini lebih bermanfaat dan bernilai.

Dan sebagai ujungnya adalah, bagaiaman mauquf ‘alaih (penerima manfaat) dapat berdaya dengan hasil kelolaan yang efektif dan efisien.  

Saya menyadari bahwa pada tataran implementasi, tidak semudah dan sesederhana dari konsep yang di tawarkan di atas. Hal ini  ternyata justru memantik diskusi cukup menarik. Karena rata-rata peserta adalah para pimpinan pesantren, sehingga pertanyaan cukup tajam. Dari mulai mempertanyakan konsep, melakukan tabayun, menyampaikan realitas yang terjadi di lapangan serta mempertanyakan berbagai hal yang terkait teknis pelaksanaan. Meski pertanyaannya sangat dan tajam, semuanya soalan tersebut bisa secara bersama-sama dapat dijawab dan dicarikan jalan keluar. Dan In Syaa Allah kedepan akan dilakukan pertemuan secara offline, jika COVID sudah berlalu.  Tepat pukul 22.37 WIB acara secara resmi di tutup. جَزَاكُمُ اللهُ.

Entrepreneurship, Peradaban

Kita Harus Kaya


“Kita harus kaya dan kaya, namun bukan untuk pribadi tetapi untuk lembaga. Karena yang kita pikirkan adalah seluruh dunia, bagaimana meng-Islamkan peradaban sekarang”.

TIBA-TIBA saya teringat salah satu ceramah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said yang dikutip dalam buku Mencetak Kader.

Dalam sebuah kesempatan kuliah malam Jum’at, 25 Maret 1990, beliau menyampaikan bahwa, “Kita harus kaya dan kaya, namun bukan untuk pribadi tetapi untuk lembaga. Karena yang kita pikirkan adalah seluruh dunia, bagaimana meng-Islamkan peradaban sekarang”.

Jika dimaknai dalam konteks ideologis, maka pernyataan tersebut di atas, adalah sebuah doktrin. Yang menuntut para sahabat di sekitar beliau saat itu dan juga generasi sesudahnya yang berpegang teguh pada manhaj yang beliau usung, untuk mengelaborasi lebih jauh, sehingga menjadi salah satu agenda gerakan organisasi.

Pendeknya, kita tidak bisa berlepas begitu saja, dari statement itu. Continue reading “Kita Harus Kaya”

entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, IT

Menjaga Kebersamaan


togetherSeperti biasa, hampir setiap bulan kami mengadakan acara kumpul-kumpul, yang kami nama keren dengan CEO Talks. Jum’at 10/05/2013 kemarin, kembali kami melakukan acara ini. Sebuah kegiatan yaang sesungguhnya,didesain dan ditujukan untuk menjaga silaturrahim antar jajaran direksi dengan Totalindoers yang menjalankan tugasnya, tersebar di berbagai proyek, berbagai tempat dan berbagai clients. Selain tentu saja, menjadi ajang untuk ssaling, kenal, akrab dan merasa menjadi satu team. Kadang-kadang kami juga mengundang seorang ustadz, untuk memberikan pencerahan spiritual, tetapi jika tidak ada, seringkali tugas itu saya rangkap sendiri 🙂

 

Saya sadar, hampir seperti kebanyakan perusahaan IT lainnya yang pernah saya baca, maka turn over employee, juga lumayan tinggi. Bagi saya tidak masalah, Continue reading “Menjaga Kebersamaan”

Peradaban

#1…..365 tulisan dalam 365 hari


Hari Sabtu, 30 Maret 2012 kemarin, saya mabit (bermalam) di Masjid Baitul Karim, Komplek DPP Hidayatullah, di bilangan Cipinang Cempedak – Jakarta Timur. Malam itu yang memberikan taujih, adalah al-Ustadz Abdurrahman Muhammad, Pimpinan Umum Hidayatullah. Ada sekitar 200-an peserta yang malam itu berkumpul, memenuhi ruangan masjid. Banyak hal yang disampaikan beliau malam itu. Akan tetapi bagi saya ada satu hal yang sangat menantang, yaitu ketika beliau membahas tentang baigaimana membangun tradisi keilmuan, yang dikaitan dengan bagaimana keseharian seorang Muslim itu harus diisi. Dan kesemuanya itu dalam kerangka membangun tradisi keilmuan itu.

Malam itu, beliau mencontohkan aktifitas beliau sendiri, yang menurut beliau, sesungguhnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah. Setiap malam, beliau menjadwalkan jam 22.00 malam harus sudah tidur. Jika ada aktifitas yang memaksa untuk lebih dari jam 22.00, berarti akan mengurangi jatah tidur beriktnya. Kemudian ,bangun jam 02.00 dini hari. Tidak perlu pakai alarm, sebab by default, ketika memasuki jam 02.00, seolah-olah ada yang membangunkan. Selanjutnya kegiatannya di awali dengan mandi dan bersuci, kegiatan bersuci ini membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Kemudian, kira-kira 1,5 – 2 jam kegiatan dilanjutkan dengan qiyamul lail, dan dzikir. Setelah itu, sekitar jam 3.30 atau 03.45, di pergunakan untuk kegiatan membaca dan menulis. Sampai sekitar 30 menit atau 15 menit menjelang Subuh melakukan istirahat sejenak sampai dengan mendengar azan subuh. Selepas subuh sampai 30 menit menjelang dhuhur melakukan aktifitas kegiatan seperti biasa, bekerja dan berdakwah. Dan kemudian beliau akan melakukan Qoilullah lagi 30 menit menjalang azan dhuhur, dan setelah sholat dhuhur sampai dengan jam 22.00, malam adalah aktifitas sebagaimana biasa. Baik untuk urusan keluarga, bekerja, dakwah dan ibadah lainnya. Beliau menegaskan maksimal hanya 5 (lima) jam dalam sehari, selayaknya seorang muslim itu tidur. Jika lebih dari itu, betapa banyak umurnya yang sia-sia, alias habis dipergunakan untuk tidur.

Jauh sebelum itu, saya sempat membaca di hidayatullah.com, sebuah tulisan yang membahas salah satu ulama besar, Imam Nawawi. Selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya, ketika malam sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi. Namun, Nawawi muda yang masih terlihat menikmati bacaannya. Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud. 
 Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam. Masih banyak lagi contoh, bagaimana ulama-ulama terdahulu dalam rangka mendedikasikan dirinya dengan ilmu. Dan saya yakin di saat inipun, masih banyak pencinta ilmu yang menghidupkan malam-malamnya dengan bergulat dengan riset-riset, tulisan-tulisan dan dalam bentuk tradisi keilmuan lainnya.

Dari fakta-fakta itu, artinya membangun tradisi keilmuan termasuk di antaranya kegiatan tulis menulis, sesungguhnya bukan sesuatu yang berat, asalkan kita mau bersungguh-sungguh, istiqomah  dan dinikmati. Pun demikian saya, terinspirasi yang kemudian termotivasi dari hal-hal di atas. Maka mulai hari ini 2 April 2012 sampai selesai, saya bertekad  membuat semacam proyek untuk membuat 365 tulisan dalam 365 hari. Saya tidak membatasi temanya. Apa saja yang bisa di tulis akan di tuangkan dalam blog ini. Tetapi saya jamin tulisannya yang ringan-ringan (karena tidak bisa nulis yang berat-berat :). Bahkan bisa jadi nggak penting. Wong, ini blog saya sendiri, ya terserah saya mau nulis apa. Saya hanya berusaha untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Bisa jadi terlaksana, bisa jadi tidak. Namanya juga proyek, jadi bisa dikatakan  365 tulisan dalam 365 hari, adalah baseline planning. Jika tidak berhasil, di buat rebaseline lagi, begitu seterusnya, sampai kemudian berhasil. Dan akhirnya….., Bismillah semoga bisa… #1


Islam

Mengkader atau Mati


Terinspirasi oleh status FB, seorang sahabat,  kebetulan juga seorang Ustadz, yang sedang melakukan Dauroh (Workshop) di Batu- Malang. Di status FB-nya tersebut tertulis “Mengkader atau Mati”. Sebuah tulisan, meskipun pendek dan singkat, hanya tiga suku kata, tetapi memiliki makna yang dalam dan sekaligus sebuah pernyataan yang menantang dan menggugah. Kalimat yang biasanya keluar dari jiwa-jiwa yang memiliki semangat kejuangan yang tinggi. Ternyata kalimat itu menjadi tema salah satu dauroh, tentu saja subyektifitas saya mengatakan bahwa kalimat itu akan menjiwai seluruh kegiatan di acara tersebut. Berhubung saya tidak mengikuti acara tersebut, tentu saja saya hanya bisa untuk “meraba” dan membayangkan ataupun menduga, dinamika dan suasana yang terjadi di tempat itu. Pastinya, akan dipenuhi dengan semangat dan ghiroh, yang meletup-letup, yang dihidupkan dalam kegitan itu. Saya bayangkan, rangkaian acara itu akan di mulai dari proses penyadaran, pemahaman konsep dan biasanya dilanjutkan dengan model aksi.

Mengapa pengkaderan itu urgent? dan mengapa pula mengkader itu penting. Jika dianalogikan dengan siklus kehidupan di muka bumi ini, maka pengkaderan adalah sama dengan regenerasi. Sebagaimana kita ketahui seluruh mahkluk hidup dimuka bumi ini, akan melakukan proses regenerasi. Tentu saja dengan bermacam variasi, model dan cara yang digunakannya. Apa yang dilakukan Singa si Raja rimba dalam meregenerasi kepada anaknya, tentu tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh seekor ayam. Apa yang dilakukan oleh pohon pisang, tentu berlainan dengan apa yang di lakukan oleh pohon Randu untuk melakukan proses regenerasi. Meskipun berlainan, akan tetapi secara spesifik memiliki tujuan inti yang sama, yaitu agar mereka memiliki penerus yang akan melanjutkan keturunannya, atau dengan kata lain melestarikan dan bahkan mengembangkan apa yang telah dibawa oleh generasi sebelumnya, kepada generasi selanjutnya. Singkatnya regerasi adalah sebuah sunnatullah, setiap mahkluk hidup dalam menjaga keberlangsungan hidupnya.

Demikian halnya dalam sebuah keluarga, kelompok, organisasi, perusahaan dan bahkan juga negara. Jika gagal melakukan regenerasi (baca ; pengkaderan), maka sesungguhnya gagal pula apa yang mereka “perjuangkan” selama ini. Tanpa adanya sebuah regenerasi, visi dan misi yang baik akan terputus atau lambat laun akan mati, bersama dengan kematian founding fathers atau assabiqunal awwalun-nya. Dalam konteks inilah, maka pengkaderan dalam organisasi memiliki urgensi yang tinggi. Pada sebuah organisasi (dakwah), sebagimana yang digeluti sahabat saya tersebut, tentu sudah dirumuskan dan memiliki tahapan dalam melakukan proses pengkaderan. Saya berkeyakinan, bahwa proses pengkaderannya akan dilakukan dengan program tarbiyah yang komperhensif yang mencakup tarbiyah ruhiyyah (spiritual), tarbiyah ‘aqliyyah (intelektual) dan tarbiyah jasadiyyah (fisik). Ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang integrated, tidak dapat dipisah-pisahkan. Dari tarbiyah yang komperhensif ini diharapkan akan melahirkan output-output yang telah siap berjuang dan berjihad demi cita-cita yang mulia dan luhur yaitu menegakkan panji-panji Islam dimuka bumi. Dari sinilah maka jargon “Mengkader atau Mati”, memiliki makna.

Dalam proses Pengkaderan tentu melibatkan Pengkader dan Kader. Kader paling tidak memiliki pengertian sebagi orang yang menjadi inti penggerak dalam sebuah pergerakan, baik itu bersifat pribadi maupun golongan. Pengkader adalah Kader, yang sudah melalui dan lulus dalam serangkaian tahapan proses pengkaderan. Mengkader berarti bagaimana memproses sesorang biasa (yang belum kader) dengan melalui tahapan tertentu, untuk menjadi dan melahirkan kader-kader. Sehingga dari proses pengkaderan ini akan lahir penerus yang akan meneruskan setiap cita-cita mulia yang sedang kita pikul. Mereka (para kader itu) akan memperjuangkan visi dan misi yang selama ini kita emban. Bahkan bisa jadi, mereka akan bisa mengembangkan dan menyempurnakan idealisme yang sudah kita bangun sebelumnya. Pendek kata, jika proses pengkaderan ini tidak ada, terputus, terhenti, atau macet, maka tunggulah saat-saat terputus pula cita-cita besar dan mulia generasi sebelumnya . Sehingga bersamaan dengan itu, hal-hal yang selama ini dibangun dan dikembangkan juga akan lenyap ditelan waktu.

Maka…, siapapun, dimanapun, kapanpun, dalam posisi apapun, melakukan pengkaderan adalah sebuah keharusan. Tidak ada sedetik waktu-pun yang kita miliki, selain melakukan aktifitas ini. Jika anda, keluarga anda, kelompok anda, organisasi anda, partai anda dan juga negara anda, ingin merealisasikan cita-cita, visi dan misinya, maka hanya melakukan tiga suku kata ini :”Mengkader atau Mati”. Selamat Mengkader…. (a tribute to Ust. Sohibul Anwar)