Sore ini 19/05/2022, rupiah kembali melemah. Rupiah masih belum mampu bangkit melawan dolar Amerika Serikat (AS). Kurs tengah Bank Indonesia, menunjukkan 1USD = Rp. 14.682,00,00. Sedangkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate [JISDOR], 14,731, turun, 0,49% dari hari sebelumnya. Hal ini memperpanjang rekor buruk, di mana sepanjang bulan Mei, rupiah belum pernah mencatat menguat. Bahkan tergolong terendah sejak Oktober 2020.
Realitas ini, terjadi setelah beberapa pekan lalu The Fed menaikkan suku bunga acuan. Ternyata kebijakan ini sebagaimana prediksi sebelumnya, berdampak langsung terhadap pelemahan rupiah ini. Hal yang sama juga diikuti oleh mata uang lain, terutama di Asia terhadap dollar Amerika.
Sebenarnya, tidak hanya rupiah, mata uang lain di kawasan Asia turut terpantau melemah yang dipimpin oleh won Korea Selatan yang turun 0,88 persen terhadap dolar AS. Kemudian mata uang dolar Taiwan yang turun 0,27 persen, yuan China turun 0,19 persen terhadap dolar AS. Di sisi lain, Yen Jepang terpantau justru menguat 0,27 persen, Baht Thailand menguat 0,13 persen, dan Dolar Hongkong yang naik 0,02 persen terhadap dolar AS.
Dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Gubernur The Fed, Jerome Powell, menegaskan kembali upaya the Fed untuk mengendalikan inflasi di AS. Pagi ini Powell juga menambahkan bahwa pengetatan moneter AS tidak akan berhenti sebelum ada tanda-tanda inflasi akan turun. Saat ini, inflasi di AS masih di kisaran 8 persen, jauh dari target sebesar 2 persen.
Disi lain masih dalam wawancara itu, sebagaimana dikutip cnnindonesia, disebutkan bahwa, suku bunga di AS dalam posisi netral diperkirakan berada di level 3,5%, dan kemungkinan akan berada di level tersebut pada tahun depan. Sebab, pasar pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,75% – 3%, artinya akan ada kenaikan 200 basis poin lagi.
Suku bunga di atas netral, artinya bisa menekan perekonomian, dan Powell juga mengakui hal tersebut. Tetapi, ia menyatakan ada “banyak langkah” yang bisa dilakukan agar perekonomian AS tidak mengalami resesi yang dalam.
Kenaikan suku bunga yang agresif tersebut mau tidak mau akan membuat Bank Indonesia (BI) untuk juga mengerek suku bunganya agar daya tarik aset dalam negeri masih terjaga. Suku bunga acuan BI saat ini 3,5%, dan terus menyempit dengan Amerika Serikat.
Dampaknya sudah terlihat di pasar obligasi Indonesia yang mengalami capital outflow hingga Rp 78 triliun sepanjang tahun ini. Selain itu, Selain itu, lelang obligasi juga menjadi kurang menarik. Pekan lalu penawaran yang masuk hanya Rp 19,7 triliun di bawah target indikatif 20 triliun dan yang dimenangkan hanya 7,7 triliun.
Saatnya Investasi Emas dan Ekspor
Lalu apa dampaknya terhadap rakyat jelata. Kemungkinan adalah banyak produk yang akan naik harganya. Hal ini juga dipicu oleh perubahan APBN, terutama terkait dengan pembayaran hutang dalam bentuk dolar. Hal yang sama juga terjadi pada swasta. Selain itu harga barang-barang impor juga akan naik harganya. Secara ringkas dampak negatifnya adalah terjadinya diferensiasi inflasi, diferensiasi suku bunga, defisit neraca berjalan, utang publik, ketentuan perdagangan, sampai stabilitas politik dan ekonomi.
Kendatipun demikian kita mesti tetap optimis, sebab dampak positifnya juga tidak sedikit. Misalkan bagi karyawan yang bergaji dolar akan diuntungkan. Tetapi jangan coba-coba menjadi spekulan dolar, itu sangat merugikan orang lain, dan sudah barang tentu berdosa.
Dua hal penting yang bisa dilakukan dalam menyikapi kondisi ini adalah, Pertama Investasi Emas. Dimana ketika rupiah sedang melemah, harga emas cenderung ikut turun. Sehingga saat seperti ini lah yang dapat dimanfaatkan untuk berinvestasi. Namun untuk investasi emas ini harus lebih bersabar dalam memetik keuntungan pada tipe investasi ini, karena saat yang tepat untuk menjual emas adalah ketika nilai rupiah menguat. Jika ingin berinvestasi dalam jangka panjang, investasi emas menjadi salah satu yang cocok, dan tidak terombang-ambing dengan fluktuasi dolar.
Kedua adalah ekspor. Akibat kurs rupiah melemah maka banyak permintaan dari luar terhadap produk-produk Indonesia. Meningkatnya pembelian produk-produk dalam negeri tentu saja meningkatkan keuntungan beberapa eksportir Indonesia, seperti eksportir mebel, kerajinan, industri kreatif, fashion, kosmetik, halal food, dan lain sebagainya.
Kondisi ini adalah hal yang logis karena bila barang-barang dalam negeri dijual dengan mengacu pada rupiah, sudah tentu importir yang membelinya dengan mengonversi dolarnya ke rupiah akan mendapatkan barang dalam jumlah lebih besar daripada sewaktu rupiah menguat.
Akan tetapi, keuntungan tersebut tidak dirasakan semua eksportir. Bagi eksportir yang produksi produk-produknya mengandalkan bahan baku dari luar negeri, melemahnya rupiah justru memaksa mereka untuk menaikkan harga jual produknya. Naiknya harga jual produk yang sebanding dengan menguatnya dolar tidak membawa keuntungan berarti bagi eksportir tersebut.
Semoga kita dapat mengambil hikmah disetiap kejadian yang terjadi. Sebab, selalu ada hal yang positif yang bisa kita lakukan disetiap waktu, untuk memanfaatkan kesempatan apapun juga. Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan mengatakan, ”Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang singgah di perjalanan.” Ibnu ‘Umar berkata, “Kalau engkau berada di waktu pagi jangan sekedar menunggu datangnya waktu sore. Kalau engkau berada di waktu sore jangan sekedar menunggu datangnya waktu pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari. 6053, Kitab ar-Raqaa’iq). Wallahu a’lam