
Hari ini, kita mendapatkan berita yang mengejutkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagaimana dilaporkan idntimes, menyampaikan di beberapa media saat Rapat Kerja denggan Badan Anggaran DPR Kamis 19/5/2022. Dia menyatakan bahwa ada dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) mengalami kerugian dalam jumlah cukup besar. Hal itu tak terlepas dari lonjakan harga komoditas energi, yakni batu bara dan minyak mentah yang jadi bahan baku produksi kedua BUMN tersebut.
Untuk Pertamina dilihat dari arus kas, maka estimasi defisitnya mencapai 12,98 miliar dolar AS (Rp191,2 triliun). Defisit terjadi karena Pertamina tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ketika harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan. Dijelaskan pula bahwa harga keekonomian saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga yang ditetapkan di pasar. Hal tersebut membuat Pertamina menanggung selisih lebar antara kedua harga tersebut. Itu semakin diperparah dengan belum adanya tambahan anggaran subsidi dan kompensasi dari pemerintah ke Pertamina.
Dalam hal ini, sebenarnya statemen tersebut diata bisa dibantah dengan data pula. Sebab saat harga minyak mentah dunia sangat rendah, sementara harga BBM tidak diturunkan, sebenarnya disitu seharusnya Pertamina juga mengeruk keuntungan dari selisih harga yang sangat besar pula. Tetapi lagi-lagi, kalo sedang rugi tone-nya membesar, ketika untung mengecil.
Selain Pertamina, PLN juga mendapatkan kerugian diperkirakan akan mencapai Rp71,1 triliun, sebagai imbas dari belum naiknya tarif listrik di tengah lonjakan harga komoditas batu bara. Namun, angka defisit PLN tidak lebih besar jika dibandingkan dengan Pertamina.
Alasan yang sama sebenarnya juga bisa dikenakan ke PLN, sebagai pemain tungga pemasok listrik di Indonesia. Seharusnya secara kalkulasi bisnis, juga sangat mudah untuk mendapatkan keuntungan. Apalagi Pertamina dan PLN juga sama-sama masih mendapatkan subsidi energi dari pemerintah. Bahkan menurut Menkeu. Katanya dengan adanya perubahan harga keekonomian yang menggunakan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) pada 100 dolar AS per barel maka subsidi energi akan menggelembung menjadi Rp208,9 triliun atau naik Rp74,9 triliun. Dan secara keseluruhan kompensasi dan subsidi melonjak sangat tinggi dari Rp152,5 triliun menjadi Rp443,6 triliun atau naiknya Rp291 triliun.
Apapun alasannya, memang itu hak rakyat. Tugas negara dan juga yang ditunjuk untuk mengatur dan mengelola negara adalah bagaimana mensejahterakan hajat hidup orang banyak ini. Karena, sebagai pejabat, selain digaji dari uang rakyat melalui pajak dan retribusi lainnya, juga mendapatkan fasilitas yang tidak sedikit. Dan yang dikhawatirkan adalah, setelah ini BBM dan TDL bakal naik.
Utang Menggunung
Kondisi keuangan dari 2 BUMN tersebut di atas, sesungguhnya menjadi potret buram pengelolaan dan manajemen yang mengelolanya. Sebab hal yang sama juga terjadi di BUMN karya, sebagaimana di kutip oleh CNBC. Sebagai gambaran, terdapat empat BUMN karya yang melantai di Bursa Efek Indonesia., yaitu PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., dan PT PP (Persero) Tbk. Jika ditotal, secara keseluruhan utang dari keempat BUMN karya tersebut per kuartal III-2021 mencapai Rp 218,61 triliun dengan 144,99 triliun merupakan utang jangka pendek. Jika ditambah dengan BUMN Karya lainnya yang belum melantai di BEI maka nilainya akan fantastis lagi. Dalam beberapa tulisan, total utang BUMN mencapai Rp. 2.000 triliun.
Meskipun Meneg BUMN ngeles bahwa menumpuknya utang BUMN Karya tersebut tak lepas dari masifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pembangunan pun bersifat jangka panjang, sehingga tidak serta-merta langsung berdampak positif pada kinerja perusahaan dalam waktu yang singkat. Disisi lain juga terkait dengan dampak dari COVID-19.
Terlepas dari kentaranya syahwat politik Meneg BUMN untuk maju dalam pilpres 2024 mendatang, nampaknya perlu juga mengaudit secara serius seluruh BUMN yang ada. Termasuk keberadaan para komisaris titipan, yang sudah jadi rahasia umum itu. Jika memang tidak perform, ya diganti. Karena BUMN itu Badan Usaha Milik Negara, bukan Badan Usaha Milik Nenek Lo.
Utang Negara = Beban Rakyat
Kementerian keuangan pada bulan April lalu melaporkan bahwa utang pemerintah pusat mencapai Rp 7.052,50 triliun di akhir Maret 2022. Utang ini naik dibandingkan akhir Februari yang sebesar Rp 7.014,58 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,39%
Sebagaimana dalam investor, INDEF juga memproyeksikan, pembiayaan APBN melalui utang mencapai Rp 7.500 triliun tahun ini. Perhitungan ini berdasarkan realisasi utang pemerintah pada akhir Januari 2022. “Namun utang tersebut belum termasuk utang BUMN, yang jumlahnya di atas Rp 2.000 triliun. Secara rinci, proyeksi total jumlah utang publik (utang pemerintah plus utang BUMN) tercatat pada triwulan III-2022 mencapai Rp 9.052,50 triliun,”ujarnya, Kamis (24/3/2022).
Dengan beban utang yang terus meningkat, ia memperkirakan tingkat fleksibilitas fiskal yang semakin ketat dari keuangan negara. Alhasil total pembayaran bunga utang di APBN pada 2022 menjadi naik sebesar Rp 405,9 triliun pada 2022 atau 20% dari total belanja pemerintah pusat.
Hari ini 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meskipun ada polemik terkait dengan siapa yang pantas menjadi tonggak sejarah kebangkitan nasional, Budi Utomo atau Syarikat Islam, ini nanti jadi bahasan tersendiri. Akan tetapi dengan total utang 9.000 trilyun rupiah ini, dibagi dengan 276 juta penduduk Indonesia, maka setiap kepala, menanggung utang 32 juta rupiah.
Jadi ini bukan Kebangkitan Nasional agar terlepas dari penjajah. Akan tetapi Kebangkitan Utang Nasional, menuju penjajahan ekonomi baru, dimana anak cucu kita yang akan menanggung. Wallahu a’lam