Dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang kawan, kami berbicara tentang bagaimana sih membangun sebuah bisnis. Kemudian kami merujuk beberapa buku dan tulisan, yang menerangkan bahwa, sebuah bisnis yang baik, harus di awali dengan ide besar pendirinya. Dan seringkali di contohkan dengan, perusahaan dan organisasi besar yang ada sekarang inipun, dulunya juga berawal dari ide besar penggagasnya. Kemudian dari ide besar itu, di turunkan menjadi teknis operasional, dan akhirnya dilakukan adjustment dan penyempurnaan, sehingga bisa terus berkembang hingga sekarang. Pendek kata, tanpa ide, maka tidak akan melahirkan apa-apa dikemudian hari.
Dari perbincangan yang singkat itu, kami hampir menyepakati bahwa ide lah yang utama dalam memulai setiap aktifitas. Dari ide ini nantinya akan menjadi semacam kompas, untuk menapaki langkah dan selanjutnya menggapai pertumbuhan dan perkembangan bisnis/organisasi pada masa-masa mendatang. Ide yang baik, menjadi semacam garansi bahwa dimasa depan, prestasi gemilang sudah di depan mata. Begitupun sebaliknya. Bekerja tanpa ide, seolah berjalan tanpa penunjuk arah. Mungkin juga bisa mencapai tujuan yang akan dicapai, tetapi butuh proses panjang dan berdarah-darah untuk mencapainya. Atau dengan kata lain, probabilitas kesasarnya (baca = gagal) lebih besar, di banding keberhasilannya.
Apa itu ide?
Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa Ide /idé/ n adalah : rancangan yg tersusun di dl pikiran; gagasan; cita-cita: ia mempunyai — yg bagus, tetapi sukar dilaksanakan. Sehingga Ide itu sejatinya merupakan gagasan yang timbul sebagai hasil dari proses berpikir kreatif. Artinya, sebuah ide hanya bisa muncul saat kita keluar dari rutinitas berpikir yang itu-itu saja. Istilah kerennya adalah thinking out of the box. Ide, tidak bisa didapat dengan cara berfikir yang linear. Ide, lahir dari proses yang sering meloncat-loncat, zig-zag, dengan mengambil beberapa sudut pandang, lalu di integrasikan melalui proses perenungan dan kemudian lahir serta tuangakan dalam sebuah gagasan.
Hal ini sejdikit berbeda dengan apa yang termuat dalam webster dictionary : idea is a transcendent entity that is a real pattern of which existing things are imperfect representations. Jadi ide merupakan entitas transenden (di luar keanggupan manusia) yang membentuk pola yang merupakan representasi sempurnya dari sesuatu yang nyata. Jadi Ide itu bukan sesuatu yang khayali atau utopis. Tetapi nyata. Namun proses mendapatkannya bisa jadi melalui tahapan dan berbagai cara, dan sejatinya ada “tangan” yang ikut serta dalam menemukannya. Maka, tidak jarak laku untuk mendapatkan ide ini, ada yang dengan proses perenungan, meditasi, maupun dengan cara-cara ilmiah melalui cara penelitian dan lain sebagainnya. Artinya, dia tidak datang tiba-tiba. Ada pendahuluan, sebagai proses untuk mendapatkannya. Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang sudah melalui tahapan itu semua, akan tetapi tetap saja buntu, tidak ada ide yang muncul. Seolah-olah semua jalan keluarnya ide, tersumbat rapat.
Ide itu Mahal
Karena melihat cara dan proses mendapatkan ide itu, selalu digambarkan dengan penuh perjuangan yang demikian hebat, maka sudah menjadi rahasia umum kemudian bahwa ide itu mahal. Sehingga banyak para konsultan, yang “memanfaatkan” situasi ini, selanjutnya memberikan value yang lebih terhadap ide, yaitu dengan cara di jual mahal. Mengapa bisa demikian, bukankah semua orang seharusnya bisa untuk mendapatkan ide itu? Dan bukankah ide merupakan hak semua manusia, bukan elitis hanya milik inventor, akademisi, konsultan dan lain sebagainya, yang terkesan orang-orang pinter itu?
Ternyata, selain rangkaian proses yang dilalui sebagaimana tersebut di atas, ide juga lahir dari mereka yang bisa dan terbiasa mengoptimalkan otaknya untuk berfikir. Model seperti ini yang lazim kita temui, dari type orang elitis di atas. Karena telah terbisaa olah pikir, maka dia gampang menemukan patern (pola) yang kemudian di rajut menjadi sebuah ide. Dan ini yang membuat nilainya mahal itu. Akan tetapi, sejatinya jika kita mencermati definisi dari webster, maka ada faktor yang terpenting, yaitu entitas trensenden. Artinya kita mengumpulkan potensi yang bersumber dari luar kesanggupan manusia. Dan jawaban yang jelas dari hal ini, tentu saja kekuatan dan ridho Allah. Dan untuk mendapatkannya perlu riyadhoh dan mujahadah, dengan menjalankan semua perintahnya. Jika sumbernya dari sini, maka tidak ada sejatinya ide itu mahal. Yang ada adalah kita belum tahu caranya. Atau bisa jadi sejatinya kita sudah mendapatkan ide, tetapi karena kita tidak sadar bahwa sejatinya ide itu bisa di valuasi, akhirnya dia pergi begitu saja tanpa bekas. Baru kemudian setelah ada orag lain yang mengerjakan dan melahirkan sesuatu, lantas kita berguman, “itu seperti yang pernah saya pikirkan dulu”, dan lain sebagainya.
Terbelenggu Ide
Bagi entrepreneur, meskipun sudah mengetahui tentang seluk beluk ide, tetapi seharusnya tetap berprinsip, tanpa ide-pun bisnis harus tetap jalan. Jika proses untuk mendapatkan dan atau membeli ide itu sedemikian rumit, dan dalam konteks bisnis, biasanya di tuangkan dalam bentuk sebuah business plan. Maka, banyak orang yang mencontohkan, tanpa ada rencana bisnis pun, mereka bisa berbisnis, bahkan tidak jarang omzet dan revenue serta profit nya lebih besar dari mereka yang mengagung-agungkan ide.
Bukan berarti ide tidak perlu. Dia tetap di butuhkan. Tetapi yang saya maksudkan disini adalah, jika kita tidak bergerak hanya karena terbelenggu satu ide, dan kita terus berusaha merealisasikan itu, jika secara empiris sejatinya memang sulit untuk di implementasikan. Seorang entrepreneur, seharusnya sudah terbiasa berfikir out of the box, keluar dari pakem yang ada. Ide, bisa saja keluar tanpa proses yang normal sebagaimana di uraikan di atas. Dia datang tiba-tiba. Tidak jarang datangnya bergelombang, sebagaimana tsunami. Jika demikian, maka justru kita disibukkan untuk memilah dan memilih, yang cocok untuk kita. Dan hal ini perlu waktu, mungkin juga biaya. Jadi menurut saya, dalam memulai bisnis, kata kuncinya lakukan saja (action !). Sebab bisa jadi ide itu datang, justru ketika melakukan sesuatu, yang tanpa ide.