Entrepreneurship, IT, Peradaban

Penjajahan Digital [2]


Senin, 27 November 2017 – 15:57 WIB

Minimal inilah bentuk perlawanan atas imperialisme digital, yang akan terus berlangsung

 Sambungan artikel PERTAMA

Dan, tak kurang dari Jack Ma, pemilik Ali Baba yang kemudian juga diangkat jadi konsultan roadmap e-commerce Indonesia itu, dengan bersemangat memborong beberapa start-up  Indonesia itu. Tentu itu dilakukan bukan tanpa hitungan.

Pasti ada kalkulasi bisnis yang njlimet menyertainya. Tidak ada ceritanya investor itu mau rugi. Pasti motif keuntungan yang di kejar. Atau bahasa kerennya, mereka berburu rente di negara ini. Jika hanya, motif bisnis semata, meski ini juga berarti merebut kue ekonomi kita- masih bisa ditolerir.

Namun ada sisi lain yang harus di waspadai. Mereka bisa masuk tanpa sekat. Dunia menjadi tak berbatas. Tanpa adanya entry barrier. Hanya berbekal Apps, semua bisa disedot, detik itu juga, dan terdistribusi keseluruh dunia.

Dengan teknologi  big-data, mereka bisa dengan leluasa mendapatkan dan mengolah data kita. Sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, atau dijual kepihak lain. Data kita menjadi komoditas jualan.

Baca: Imperialisme Modern dan Kriminalisasi Umat Islam

Bahkan, bisa jadi, nilai transaksinya lebih besar dari bisnis initinya sendiri. Dan anehnya, Mereka mendapatkan data kita secara lengkap, by name by address. Dan di dunia digital, siapa yang memiliki data, sesunggungnya mereka penguasa dunia ditital sesungguhnya.

Itulah yang saya maksud, kita tidak sadar masuk dalam ‘jebakan batmen. Masuk ke  sebuah perangkap dengan kesengajaan. Kita mesti sadar bahwa setiap media sosial dan juga bisnis online lainnya, mensyaratkan pendaftaran melalui account email kita, nomer mobile phone dan seterusnya.

Lebih tragis lagi, mereka bisa mengetahui koordinat rumah kita, kantor, tempat tujuan kita, lengkap dengan koordinat lintang dan bujur. Karena saat kita naik moda transportasi online misalnya, kita memilih lokas asal dan tujuan yang kita tuju.

Makanya jangan heran, jika kemudian bisnis penyedia layanan transportasi online, kedepan bukan itu. Namun menjadi kurir, penyedia fintech dan lain sebagainya.

Penyedia transportasi online, hanya pintu masuk, untuk membangun komunitas, yang men-drive, bisnis lainnya. Dan, berbekal data tersebut, dengan mudah mereka melakukan profillingterhadap kita. Melalui jejak digital,mereka mengetahui, hampir semua perilaku dan kecenderungan kita. Pendeknya, privacy kita sudah dalam gengaman penguasa teknologi digital ini.

Imperialisme Gaya Baru

Inilah imperialisme model baru yang saya maksud itu. Yang sebenarnya telah di ingatkan oleh banyak pihak sebelumnya. Penjajahan gaya baru yang dengan sadar kita dukung, dan kita menikmatinya.

Watak dari imperialisme sejak jaman dulu sama. Selalu ingin menjajah, mengeruk kekayaan seacara ekonomi, dan menguasai. Hanya peran, media dan modus operandinya yang berbeda. Mereka nampaknya sedang membantu, mengulurkan tangan, namun sejatinya sedang menginjak.

Mereka bisa tersenyum, sementara tanganya mencekik leher kita. Dan mereka, juga selalu memiliki agen di negeri yang di jajah. Kaki tangannya itu, bisa jadi secara perorangan, korporasi maupun memanfaatkan birokrat yang korup.

Baca: JIL, CIA dan Imperialisme Barat

Hal ini dapat diperkuat dengan kenyataan bahwa, banyak produk domestik milik UMKM Indonesia, yang dijual melalui market place yang ada, kemudian merebut pasar, dengan omzet  penjualan yang tinggi, tidak beberapa lama jatuh. Bersebab munculnya produk tiruan dari China, dengan model sama dan harga yang murah, dan mereka lazim menggunakan istilah white label. Dan hal seperti ini akan diikuti oleh berbagai produk.

Disaat data dan produk-produk kita mereka kuasai, maka kita akan mudah mereka atur. Imperialisme gaya baru ini, tidak mengenal sekat Negara bangsa. Mereka melampuai itu.

Dunia digital, adalah borderless, tanpa batas. Mereka masuk dari berbagai sisi kehidupan. Jika, penjajahan konvensional, untuk memasuki wilayah sebuah Nnegara, penjajah bisa dihadang dengan perlawanan secara militer atau perlawanan rakyat, karena secara fisik wujudnya nampak. Dengan era digital ini, tidak ada barrier to entry. Tanpa perlawanan fisik. Mereka bebas untuk memasuki “wilayah”  sebuah negara, bahkan disediakan karpet merah, berupa regulasi yang mengatur dan melindunginya.

Perlawanan Kita

Tidak ada kata lain selain melawan. Imperialism Digital, sesungguh tetap saja sebuah penjajahan berbasis materialisme. Model kapitatalisme yang dibungkus dalam kemasan kekinian.

Kita tidak bisa melawan penjajahan digital, ini dengan mengguakan cara-cara mereka melakukan penjajahan. Jika melakukan cara yang sama dengan cara-cara mereka, pastinya kita akan kalah. Bukan berarti, menyerah sebelum bertanding. Namun kita belajar dari perlawanan di bisnis konvensional.

Baca: Tentara Cyber, Perang Info dan Berita Palsu

Umat, harus sadar  untuk melakukan perlawanan secara ideologis. Ekonomi berbasis masjid, halaqah, majelis taklim, pesantren dlsb, harus ditegakkan. Tidak bisa tidak.

Kita harus membuat komunitas sendiri. Dus, berarti menegakkan community based economic, ekonomi berbasis komunitas. Start-up lokal yang berbasis market place, e-commerce, fintech dlsb, meski di support.

Termasuk dengan pengembangannya, melalui sekema crowdfunding, atau fasilitas wakaf tunai misalnya. Produl-produk UKMK lokal perlu digalakkan, dan di jual melalui fasilitas tersebut. Pembiayaannya disupport oleh Fintech lokal. Dan langkah lain adalah dengan mengurangi subscribe, dan transaksi melalui market place, ecommerce, fintech dlsb, yang dengan jelas dikuasai oleh asing dan aseng.

Dan tentu banyak lagi model perlawanan yang bisa kita lakukan. Intinya, dengan tidak mendukung dan transaksi di sana, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan yang nyata. Dan disaat bersamaan, kita juka harus membangun pusaran baru, dengan menyediakan fasilitas substitusi, yang dibutuhkan dari ummat. Dan ini menjadi kerja bareng (jama’i).

Tidak mudah memang. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Minimal inilah bentuk perlawanan atas imperialisme digital, yang akan terus berlangsung. Dan satu hal lagi, untuk menghadangnya, perlu dukungan fatwa ulama untuk jihad melawan digital imperialism ini. Juga menuntut adanya regulasi dari pemerintah yang membatasi gerak venture capitalis tasing yang terus memborong start-up, sekaligus membatasi kepemilikannya pada bisnis online di Indonesia.

Dan, penjajah gaya baru ini, mesti kita hadapi bahkan harus bisa kita tumbangkan, sebelum mereka jauh merajalela di negeri ini.  Di lain sisi, kita perlu banyak warrior dan kesatria yang menjadi cyber army (pasukan dunia maya) untuk melakukan perlawanan itu, untuk menghadapi penjajah digital itu.Sehingga pada akhirnya kita memenangkan pertarungan dan menjadi tuan di negeri sendiri. Jadi, kedaulatan negara masa kini dan nanti tidak sebatas teritorial, tetapi juga digigal. Wallahu a’lam.*

Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah dan Sekjen Muslim Information Technology Association  (www.mifta.or.id)

Tulisan sedikit koreksi typo dan telah di muat di https://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2017/11/27/129055/penjajahan-digital-2.html

Advertisement

1 thought on “Penjajahan Digital [2]”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.