Dakwah, Islam, Leadership, organisasi, Peradaban

Memaknai Sami’na Wa Atho’na


pinterest

Salah satu kunci sukses dalam sebuah kepemimpinan di dalam organisasi apapun juga adalah, jika setiap keputusan yang ada ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh elemen dalam organisai itu. Dengan catatan bahwa setiap pemimpin disaat mengambil keputusan  dalam kerangka melaksanakan dan menjalankan amanah organisasi. Sehingga sesuai dengan yang digariskan dalam visi, misi dan tujuan organisasi yang diderivasikan dalam serangkaian rule of the game, regulasi, aturan serta tata kelola yang menjadi guidelines (petunjuk) bagi organisasi tersebut. Dan dalam konteks organisasi Islam yang paling utama adalah menjadikan al-Qur’an dan As-Sunah sebagai pedomannya.

Al-Qur’an telah memberikan petunjuk yang indah tentang ketaatan ini di dalam Surat An-Nur ayat 51 :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Ada satu kalimat yang menjadi kunci di situ, yaitu سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (“Kami mendengar, dan kami taat”). Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, dalam Tafsir Al-Wajiz saat menafsirkan ini beliau menjelaskan : “Sesungguhnya ucapan: “Kami mendengarkan hukumNya, menaati perintahNya, dan meridhai hukumNya” adalah ucapan orang-orang mukmin saat diajak mematuhi hukum Allah dan rasul-Nya supaya bisa menentukan hukum di antara mereka. Orang-orang yang mendeklarasikan diri untuk taat itu adalah orang-orang yang memenangkan kebaikan dunia akhirat”. Continue reading “Memaknai Sami’na Wa Atho’na”

Islam, Parenting, Peradaban

Tujuh Sikap Menghadapi Ujian


hidayatullah.com

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al-Baqarah : 214)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di didalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, menafsirkan Surat Al-Baqarah : 214 di atas dengan, “Demikianlah setiap orang yang menegakkan kebenaran itu pasti akan diuji, dan ketika persoalannya semakin sulit dan susah lalu dia bersabar dan tegar menghadapinya, niscaya ujian tersebut akan berubah menjadi anugerah untuknya, dan segala kesulitan itu menjadi ketenangan, lalu Allah mengusulkan semua itu dengan kemenangannya atas musuh-musuhnya serta mengobati penyakit yang ada dalam hatinya”.

Ada hal menarik dan menggelitik sekaligus menjadi tadzkirah bagi kita adalah dari tafsiran beliau di akhir ayat. Beliau menyatakan ketika ujian itu ada, maka seseorang menjadi mulia atau menjadi hina (karenanya). Konsekwensi logisnya adalah, setiap ujian yang ditimpakan kepada hamba, apapun bentuknya sesungguhnya ibarat dua sisi mata uang ; bisa membawa kemuliaan, dalam arti akan menjadi semakin beriman, atau dia akan dihinakan oleh Allah swt, jika kemudian salah dalam menyikapi berbagai bentuk ujian itu. Continue reading “Tujuh Sikap Menghadapi Ujian”