Entrepreneurship

Senjakala Toko Buku


Kamis, pekan kemarin (19/7/2017), saya berkesempatan mengunjungi tempat service MacBook Air, bersebab MacBook kesayangan yang mengalamai masalah dengan bateray. Seperti biasa, saya menuju lantai 1, Mal Ambassador, ke tempat service, yang sudah saya searching sebelumnya. Jam menunjukkan pukul 10.30, padahal di pintunya tertulis took buka dari jam 11.00-20.00. Pintunya baru di buka separo, tapi saya kasih kode kalo mau service, akhirnya di bukakan. Saya kasih tahu bahwa, problemnya di battery service. Charger tidak bisa masuk, sehingga tidak mau nge-charge. Bahkan, gampang panas. Lalu, dicarikan type battery yang sesuai dengan Macbook air saya, dia sebutkan harganya, serta waktu pengerjaannya, yaitu selama satu jam. Harganya lumayan juga. Sedangkan waktu pengerjaannya akan dimulai dari jam 11.00, sesuai dengan jam kerja.

 

Sambil menunggu waktu pengerjaan, Saya keliling dulu, cari pembanding. Naik sampai ke lantai 3, dan ternyata sama saja. Jika mau beli yang original, harganya segitu dan waktu pengerjaannya sama, 1 jam. Kecuali yang KW, dan itupun barangnya tidak ready stock. Harus ngambil ke gudang. Akhirnya saya putuskan untuk kembali lagi, ke tempat semula. Lalu saya sepakat, dengan tawarannya tadi. Setelah di cek, semua kondisi fisik dan hardware, maka mulailah dikerjakan. Karena ada waktu satu jam untuk menunggu pengerjaan, barang ditinggal saja. Saya bilang mau ke Gramedia, yang kebetulan dilantai yang sama. Nah si-embaknya bilang, kalo Gramedia sudah tutup, tidak buka lagi. Sejak sepekan yang lalu, karyawannya berkemas untuk mulai mengosongkan toko.

Saya agak terkejut, meski pada tahun sebelumnya, sudah mendengar dan baca berita bahwa jaringan toko Gunung Agung di beberap tempat juga tumbang. Namun sekelas Gramedia, toko buku dengan branding yang kuat serta jaringan yang begitu luas, akhirnya bisa tutup juga. Jelas ini merupakan berita yang tidak sedap. Padahal, lokasi Mal Ambasador itu cukup rame, dikunjungi dan di akses oleh pengunjung yang rata-rata pekerja dan profesional yang ada di sekitar Mega Kuningan. Mereka itu jelas well educated, dan biasanya sangat dekat dengan buku. Melihat hal di atas, nampaknya ada sebuah fenomena, yang patut untuk di analisa dan dipertanyakan berkenaan dengan gulung tikarnya toko-toko buku ini. Apakah, hanya sampai disini, apakah kemudian ini akan membesar, diikuti dengan tutupnya toko buku lainnya.

 

Melawan Teknologi

Jika, kita sedang berada dalam keramaian umum, misal di stasiun atau airport, demikian juga para penumpang kendaraan umum itu, ternyata jarang kita jumpai orang yang baca buku, komik, majalah atau Koran. Hampir semua orang asyik-masyuk, menundukkan pandangan memelototi gatgetnya. Dan tidak jarang, kita lihat semua pada senyam-senyum, lalu diikuti dengan asyiknya jari-jemari mereka memainkan gatgetnya itu. Sehingga, orang yang membaca buku menjadi orang yang aneh. Padahal beberarapa tahun yang lalu, kita masih sering jumpai orang yang naik kereta membaca buku dan demikian juga di keramaian umum.

Sehingga, dengan kecanggihan dan fasilitas yang dimiliki oleh gatget saat ini, mampu memenuhi hamper semua keinginan tahuan, ilmu dan bacaan yang secara tradisional biasanya diwakili oleh buku, majalah, koran, jurnal dan lain sebagainya. Anak-anak muda, dengan mudah kini mendownload e-book, makalah dan lain sebagainya dengan mudah, murah dan tidak sedikit yang gratis. Akhirnya memang, kini era paperless menjadi sebuah kenyataan. Meski, susah bagi saya untuk paperless, sebab baca di gatget ataupun di laptop, membuat mata menjadi cepat lelah. Sedangkan baca buku membuat kita mudah ngantuk. (artinya saya lebih sering baca buku untuk pengantar tidur). Singkatnya, teknologi memang cukup memanjakan bagai penggunanya, baik hanya untuk kepentingan yang remeh-temeh, hiburan, maupun dalam kaitannya dengan keilmuan. Dan kini semua itu, berada dalam genggaman kita. Artinya, ketergantungan kepada teknologi, kepada generasi kekinian, menjadi sulit dilawan, oleh cara-cara tradisional. Dan ini, mungkin menjadi penyebab toko buku menjadi ditinggalkan.

 

Lemahnya Budaya Literasi

Dari beberapa bacaan, didapatkan bahwa hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara yang di teliti tersebut. Sementara Vietnam, Negara yang relative baru merdeka, justru menempati urutan ke-20 besar. Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke-57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tidak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.

Dari data statistik UNESCO pada tahun yang sama , menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Pada 2014, buku yang terbit hanya lebih dari 30 ribu judul. Jumlah penerbit pun kurang. Anggota IKAPI yang tercatat, ada 1.300-an. Namun yang aktif hanya 700 sampai 800 penerbit. Sekitar 30 ribu judul buku per tahun dibanding penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta orang, jelas jauh. Perbandingannya satu orang belum bisa membaca satu buku. Padahal di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku. Di Indonesia tiga sampai lima orang membaca satu buah buku.

Data-data tersebut di atas, menggambarkan kondisi kekinian yang tidak terbantahkan. Olehnya, kita bisa melihat dan merasakan, tentu saja hal ini cukup memprihatinkan. Nampak jelas bahwa literasi, belum sepenuhnya sebagai suatu budaya yang beriringan dengan kehidupan sehari-hari di negeri ini. Belum lagi budaya plagiarisme begitu kuat, bahkan hanya untuk sekedar membuat status di media sosial. Fenomena ini, sebagaimana saya sampaikan di atas, juga bisa dilihat dalam lingkungan sekitar, kebiasaan seperti membaca buku di tempat umum masih langka dijumpai, dan justru semakin menjauh, akibat digerus perkembangan teknologi dan minimnya buku yang terbit.

 

Robohnya Toko Buku Kami

Kenyataan di atas, secara empiris menemukan pembenarannya. Hari Raya ke-4 saya tidak mudik, jalan-jalan se keluarga ke Gramed Matraman. Yang menurut saya gramed yang paling besar dinegeri ini. Dulu, waktu renovasi setahu saya di resmikan oleh Pak SBY. Saya sering datang kesini, karena koleksi bukunya sangat banyak dan nyaman. Nah, agak sekian lama saya tidak kesitu. Saya terkejut lagi, saat melihat, lantai satu yang dulu berisi buku import dan buku agama, serta buku-buku kontemporer lainnya. Kini hampir separoh di penuhi dengan stationery alias ATK. Jadi ATK selain di lantai dasar kini di lantai satu. Lay out yang dulu familier itu menjadi berubah. Data ini, mungkin bisa menjawab kekagetan saya, berkenaan dengan ditutupnya Gramed di Mal Ambasador.

Saya, kemudian melanjutkan ke Kwitang, mengunjungi kios buku, Buyung dkk. Mobil diparkir di Gunung Agung Kwitang, ternyata toko bukunya sepi, mungkin saat itu masih pada mudik. Saya tidak masuk, tetapi menyusuri kios-kios buku dan hunting buku di situ. Buku yang laris adalah buku literature dan buku-buku agama. Itupun menurut mereka juga sudah mulai sepi. Di Toko Buku Wali Songo, yang menjual buku-buku agama, juga jumlah buku yang dijajakan semakin sedikit. Pekan lalu saya nganter anak ke Yogya dan Malang. Di Yogya, saya mengunjungi social agency di jalan Kaliurang, yang masih cukup rame demikian juga TM Book Store di Malang yang cukup rame. Nampaknya, ramenya kedua toko buku ini, serta di kios-kios kwitang tadi, bersebab oleh adanya discount, hingga 40%. Sedang di Gramed gan Gunung Agung Tidak.

Dari keliling ke beberapa toko buku tersebut, ternyata ada beberapa buku yang tidak saya temukan pada hunting saat itu. Akhirnya saya cari di marketplace. Saya beli via online, dengan harga yang lebih murah. Berbagai jenis buku, dengan mudah di jumpai di ditu. Bisa searching dibeberapa market place, untuk membandingkan harga. Karena, masing-masing mewarkan discount yang menarik. Dan proses pembeliannya, selain tidak rumit, juga tidak butuh waktu lama dalam pengirimannya. Tergantung pilihan jasa pengirimannya. Ada yang satu hari, hingga dua hari sudah sampai di rumah.

Dari uraian di atas, kesimpulan sederhana saya, ternyata banyak hal yang menyebabkan mengapa toko buku itu, mulai bertumbangan. Pertama lemahnya budaya literasi, sehingga orang malas baca buku dan juga beli buku. Kedua, perkembangan teknologi, sehingga orang lebih suka e-book dan cenderung paperless. Ketiga, kemudahan beli, sehingga orang lebih memilih beli lewat marketplace, secara online. Keempat, buku mahal, sehingga memilih untuk beli di tempat yang menawarkan diskon.

Saya teringat sastrawan dari Minang A.A. Navis, yang pada tahun 1956 pernah menuliskan sebuah cerpen yang fenomenal, dengan judul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen itu begitu melegenda, sehingga dulu selalu di hafal, minimal judulnya saat pelajaran Bahasa Indonesia di SD. Intinya, bercerita tentang ditinggalkannya surau sebagai pusat ibadah akibat ketidakpedulian yang dilakukan oleh umatnya sendiri. Kini, hal yang sama juga bisa kita ucapkan sebagai “robohnya toko buku kami” akibat banyak hal tersebut. Bisakah kita meramaikan kembali, atau kita biarkan saja roboh semuanya, bersebab sunnatullahnya demikian. Dan apakah ini menunjukkan senjakakala Toko Buku, yang sudah menjelang maghrib, bersebab beberapa hal yang saya sampaikan di atas. Wallahu a’lam.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.