Negeri ini, adalah zamrud katulistiwa. Bentangannya, bisa menutupi seluruh Benua Eropa. Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, yang menyebar disekitar khatulistiwa, dan denganya memberikan cuaca tropis. Inilah sebuah negeri yang digambarkan dalam pepapatah jawa sebagai negera yang gemah ripah lohjinawi toto tentrem kerto raharjo thukul kan sarwo tinandur. Sebuah gambaran negeri yang subur dan melimpah ruah serta kedamaian bagi penghuninya apapun yang ditanamnya pasti tumbuh. Bahkan oleh Koes Ploes, dilukiskan tongkat dan kayu pun bias jadi tanaman. Namun gambaran itu semua kini hanya menjadi dongeng dan cerita. Negeri ini masih belum beranjak dari negara berkembang. Bahkan, ada beberapa pengamat yang memprediksi sebagai failed state (negara gagal). Meski ramalan tersebut berlebihan, namun patut untuk di perhitungkan.
Meski ada juga harapan, sebagaimana yang diprediksi oleh Mc Kinsey Global Institue, bahwa pada tahun 2030 Indonesia menjadi negeri denga kekuatan ekonomi ke-7 dunia. Dan saat inipun sudah berada di kisaran angka belasan, sehingga menempatkan Indonesia masuk dalam jajaran negara G-20. Namun, pencapaian itu semua, ternyata tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh rakyat. Ada sejumlah ketimpangan yang jelas. Jurang pemisah yang masih menganga lebar.
Sementara itu, pemerintah berada dalam bius pertumbuhan. Sehingga terus menerus berhutang, untuk mengejar dan menggenjot pertumbuhan tersebut. Yang terjadi kemudian adalah, rasio hutang dibanding PDB terus membesar. Bahkan anak yang baru lahir dinegeri ini telah menanggung hutang negara 17 juta rupiah. Pembiayaan infrastruktur, menurut Kwik Kian Gie dalam taraf ugal-ugalan. Subsidi listrik, pupuk dlsb dicabut. Berlaku mekanisme pasar bebas. BUMN di jual (meski dengan dalih aksi korporasi biasa, namun pengalihan kepemilikan, berarti berpindahnya juga aliran kas yang masuk). Disamping itu penerimaan pajak, masih jauh dari harapan. Dan sederat lain permasalahan yang dihadapi. Seolah meunupi bahwa, sesungguhnya ini adalah negara besar. Butuh nahkoda yang mampu membawa sampai ke tujuan dengan selamat.
Padahal, tujuan negara itu adalah sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45 alinea 4: “Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Pertanyaannya adalah, apakah tujuan negara sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD’45 alinea 4 itu, kini sudah terwujud? Bukankah jika tidak bisa mewujudkan berarti pemerintah telah mengingkari UUD’45? Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir dari alinea 4 itu adalah Pancasila, berarti juga pemerintah gagal mengamalkan Pancasila ?
Persoalan Mendasar
Dalam magnum opusnya, Muqadimmah, Ibnu Khaldun mengatakan : suatu masyarakat (atau suatu bangsa) hanya akan utuh kalau ada apa yang disebut dengan solidaritas, setia kawan, dan gotong royong. Jadi mafhum mukhalafahnya, suatu masyarakat atau suatu bangsa akan hancur kalau masyarakat dan atau bangsa itu tidak lagi direkat oleh solidaritas, kesetiakawanan dan semangat gotong royong yang baik diantara mereka. Bagaimana halnya bila teori Ibnu Khaldun Tersebut dikaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang kita alami saat ini ? Inilah salah satu masalah di negeri kita saat ini yang harus kita hadapi dan carikan solusinya. Dimana solidaritas, kesetiakawanan dan semangat gotong royong diantara warga bangsa kita mulai terancam.
Apa saja hal-hal yang diperkirakan akan bias merusak persatuan dan kesatuan kita sebagai satu masyarakat dan suatu bangsa ? Yang paling mendasar yaitu masalah ketidak-adilan ekonomi dan terancamnya rasa kebersamaan diantara warga bangsa, yang bentuknya bermacam-macam seperti adanya kenyataan penguasaan ekonomi yang tidak sesuai dengan proporsionalitasnya. Dimana seperti diketahui umat islam yang jumlahnya mayoritas dinegeri ini (87,3%) tetapi menguasai ekonomi yang sangat jauh dari proporsinya. Ada yang mengatakan nilai ekonomi yang ada di tangan umat maksimal hanya sekitar 20 % sementara umat agama lain yang minoritas yang jumlahnya hanya 12,7%, menguasai lebih dari 80% dari ekonomi yang ada dinegeri ini.
Demikian juha Dalam deretan orang-orang terkaya, dari 10 orang terkaya di negeri ini hanya ada 2 orang yang beragama Islam, dan dari 30 orang orang terkaya di negeri ini hanya 3 atau 4 orang yang beragama Islam. Padahal jumlah mereka yang beragama islam dinegeri ini adalah mayoritas. Kemudian yang cukup mengerikan juga adalah bahwa dari sekian banyak suku bangsa di negeri ini, suku bangsa Tionghoa yang jumlahnya hanyasekitar 4 % dari jumlah penduduk tampak terlalu mendominasi kehidupan Perekonomian di negeri ini disbanding suku Jawa yang jumlah populasinya sebesar 40,2%, dan Sunda 15,5% dari jumlah penduduk.
Gambaran di atas, bukan SARA. Akan tetapi realitas yang ada di negeri ini. Bahwa ketimpangan itu nyata, dan hadir ditengah-tengah kita. Bukan untuk dipermasalahkan, akan tetapi dicarikan jalan keluar. Agar keadilan social bagi rakyat Indonesia itu, bukan ahanya sebuah slogan yang dihafal. Akan tetapi sebuah bangunan kehidupan yang terwujud.
Kesalahan Paradigmatik
Saat Gubernur DKI diawal tugasnya, dalam pidato politiknya menggunakan diksi Pribumi, disambut publik dengan berbagai cara. Di media sosial ramai, saling bersahutan. Rakyat terbelah menjadi 2. Ada yang mendukung dan disisi lain ada yang menolak. Padahal konteks yang dipakai oleh Anis Baswedan saat itu adalah menjelaskan tentang dampak penjajahan/kolonialieme. Sehingga yang paling banyak jadi korban adalah pribumi alias bumi putra. Namun, isu sudah kadung digoreng, terjadi bias, dan rakyat sudah menerima itu, seolah menjadi sebuah kebenaran.
Meski kehebohan ini kini mulai reda, namun saya melihat bukan soal penggunaan istilah pribumi itu sendiri,sebagai penyebabnya. Ada masalah mendasar yang menjadi penyakit bangsa ini. Yaitu soal paradigma. Atau bisa disebut problem worldview. Mentalitas inferior bersebab lamanya dijajah, meminjam istilah Prof. Rheinal Khasali menyebabkan DNA sebagian rakyat menjadi kerdil, sehingga perlu di re-code. Ibarat seekor kerbau besar, setelah dicocok hidungnya, dan kemudian diikatkan tali di tempat cocokan hidungnya itu, maka akan nurut kemana aja di ajak, meski yg menuntun itu anak kecil. Yang secara fisik tidak akan kuat menahan, jika kerbau itu berontak. Namun kerbau itu, dalam pikirannya sudah dibatasi, dan merasa tidak bisa lepas dan harus taat meski oleh anak kecil yang tidak bertenaga itu. Inilah yang namanya mental block itu. Dan hal ini juga yang saat ini menjangkiti dan terus dipelihara oleh “anak kecil” itu. Kita selalu merasa bahwa mereka kuat, dan kita lemah, hanya dengan seutas tali. Padahal sejatinya, kitalah yang kuat, dan mereka yang lemah.
Mental inlander ini yang harus kita bongkar. Tidak bisa kita mengalah dan menyerah pada keadaan. Kita perlu melakukan perlawanan. Sebuah gerakan perlawanan yang membutuhkan strategi yang jitu. Tidak perlu kita merusak, secara fisik. Akan tetapi justru kita memanfaatkan kekuatan internal anak bangsa. Perubahan dimulai dari mindset, dan kesadaran bahwa ini bangsa besar, dan tentu saja pribumi sebagai pemilik syah negeri ini, sudah barang tentu berjiwa besar.
Kita bisa mencontoh bagaimana HOS Tjokro Aminoto menghimpun kaum bumi putera melalui Syarikat Dagang Islam. Itu terjadi di awal tahun 1900-an. Dimana para saudagar pribumi berhimpun, dan membangun berbagai macam kongsi dagang. Saling menguatkan antara saudagar besar dan pedagang kecil. Sebagaimana dalam catatan sejarah, langkah ini terbukti menjadi kekuatan riil yang diperhitungkan oleh penjajah. Bukan hanya di aspek ekonomi semata. Namun bisa menjalar menjadi gerakan dan kekuatan politik yang diperhitungkan, dan membawa kemakmuran rakyat.
Ekonomi Berdikari
Soekarno, presiden pertama RI, pernah menelorkan jargon ekonomi berdikari. Sebuah konsep ekonomi yang bertumpu pada kekuatan internal dalam negeri. Kekuatan anak bangsa. Bukan tergantung pada kekuatan asing dan aseng. Dan kini, kita dihadapkan pada paradoks dengan apa yang terjadi di negeri ini. Dimana tingkat ketergantungan ekonomi kita dengan asing dan aseng yang begitu tinggi. Seolah mempertegas, bahwa mental inlander itu, juga terus menjangkit pada pengambil keputusan. Mengecilkan peran anak bangsa. Bahkan, ada kesan bangsa ini lemah, tidak bisa melakukan lompatan, jika tidak melibatkan aseng dan asing.
Birokrat berlomba menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing dan aseng. Tanpa memperdulikan nasib bangsanya. Mereka digerakkan oleh kaidah kuno, untung-rugi. Bukan bagaimana memberdayakan ekonomi lokal. Ekonomi Rakyat. Ekonomi Umat. Sehingga, investasi asing dan aseng, di bikin ugal-ugalan. Dan ini ditunjukkan dengan hutang yang terus bertambah tinggi. BUMN mulai di jual, demikian juga dengan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, jalan tol dlsb, di jual ke swasta, dan bisa jadi ke asing dan aseng lagi.
Secara statistik, pertumbuhan ekonomi memang ada. Dan bisa ditampilkan dengan grafik yang menarik. Eye catching. Memang benar, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain. Tetapi semuanya semu. Hanya indah di atas kertas. Dan faktanya jelas berbeda dengan tataran realitas. Pertumbuhan yang tidak berkualitas. Menyebabkan, yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin. Rakyat seolah tidak menikmati pertumbuhan itu. Pertumbuhan hanya dinikmati orang kaya dan korporasi yang rakus. Bahkan menurut ekonom Chatib Basri, “Pada 2050 nanti, kalau tumbuhnya hanya segitu (5%), kita akan menjadi tua sebelum kaya”. Lalu apa makna pertumbuhan, jika tidak bermutu? Dan ini terus berputar seperti lingkaran setan. Ini bukan Ekonomi Berdikari yang di cita-citakan Soekarno. Ini malah wujud pengingkaran visi besar itu. Ini bukan ekonomi Berdikari. Tetapi ini Ekonomi ketergantungan. Ekonomi Penindasan. Ekonomi Serakah, dlsb.
Jadilah Tuan di Negeri Sendiri
Banyak yang bilang, yang menjajah negeri ini selama 350 tahun, sesungghnya bukan negara Belanda. Akan tetapi korpporasi yang bernama VOC. Melalui VOC inilah , kekayaan negara di keruk dan di bawa ke Belanda saat itu. Dan untuk mengamankan kegiatan korporasi inilah, dirimkan kumpeni untuk menjaga keberlangsungan bisnis dari VOC.
Hal yang sama kini terualang kembali. Korporasinya tidak dari satu negara. Tetapi dari banyak negara. Mereka berbentuk MNC (Multi National Corporation). Menghisap tidak hanya kekayaan sumber daya alam bangsa ini. Namun seluruh potensi dibawa lari ke luar negeri. Dan persis seperti apa yang terjadi dengan VOC. Ada penjagaan dari kumpeni dan centeng dari bangsa sendiri. Dan mereka berlindung dengan regulasi, yang penyusunanyapun, dibiayai oleh MNC ini. Sehingga VOC gaya baru ini, sebenarnya lebih sadis dari apa yang dilakukan jaman dulu. Karena mereka bekerja dalam sebuah system yang rapi yang didukung dengan seperangkat aturan yang menguntungkannya. Akibatnya rakyat tetap menjadi korban.
Kondisi tersebut di atas yang mesti kita lawan. Saat ini, anak bangsa yang memiliki kapasitas dan kualitas di berbagai bidang bejibun. Mereka tersebar diberbagai MNC (Multi National Corporation), baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka bekerja untuk mem-buat kaya majikannya, alias korporasi asing itu. Mereka harus kembali ke pangkuan Ibu Pertiwiu ntuk membangun negeri ini, sesuai dengan skillnya masing-masing. Yang diperlukan adalah iklim dan yang berpihak kepada pribumi.
Negara menciptakan regulasi yang berpihak (affirmative policy). Amanah UUD bahwa bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya di kuasai negara dan pergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat harus di tegakkan. Disisi lain, kepemilikan asing di berbagai sektor bisnis dan industri di batasi. IUP dan semua jenis konsensi, di tinjau ulang. Dunia perbankan memberikan akses yang besar kepada pribumi. Jika belum mampu, diajari sampai bisa. Dan seterusnya, jika semuanya bisa di desain dan diimplementasikan dengan baik. Maka, tidak akan lama kesejahteraan dan kemakmuran bangsa ini tercapai. Tetapi, jika masih saja mentalitas kita tidak mau berubah, niscaya kita akan dijajah selamanya oleh asing dan aseng.
Kita sebagai sebuah bangsa sebenarnya mampu, untuk melakukan semuanya. Namun, sekali lagi mentalitas inlander itulah yang menjadi barrier. Kita harus mendobraknya. Kita mesti bangkit. Kita harus jadi tuan di negeri sendir. Kita tidak anti asing dan aseng. Mereka boleh bermain, dan menikmati kue bisnis di negeri ini. Namun harus proporsional. Tidak boleh mereka menguasai, bahkan mengatur-atur di negeri kita.
Dilain pihak, para cerdik pandai baik dikampus maupun di lembaga riset dalam negeri di dorong untuk terus bergandengan tangan dengan dunia industi, untuk menciptakan produl-produk dalam negeri, sebagai substitusi dari produk asing dan aseng. Demikian juga, pemerintah, harus menciptakan iklim ekonomi yang kondusif, belanja produk dalam negeri dan ukm, dibanding produk asing. Rakyat dimotivasi untuk mencintai dan membeli produk dalam negeri. Mulai belajar investasi dengan membeli saham perusahaan dalam negeri dan perusahaan asing sekalipun. Dan banyak hal lain yang bisa dilakukan.
Pendeknya, kita jangan bosan-bosan untuk mengajak anak bangsa untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Kita harus merdeka dan berlepas dari penjajah, dalam arti yang sebenarnya. Kapan itu terjadi? Tergantung dimana standing position kita, dan bagaimana kita merespon ini. Semoga tulisan singkat ini, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua? Wallahu a’lam