ekonomi, Islam, Kronik

Ramadhan di Tengah Pandemi


Catatan Ramadhan-1

Alhamdulillah, hari ini kita memasuki hari pertama ramadhan 1414 H. Suasanan Ramadhan kali ini, jelas berbeda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Paling tidak yang pernah saya alami. Bersebab pandemic Sars-Cov-2 (COVID-19), virus yang bermula dari kota Wuhan, Propinsi Hubei China, sejak desember tahun lalu, hingga hari ini telah tersebar lebih dari 220 negara seantero dunia. Paling tidak menurut https://www.worldometers.info/coronavirus/ hingga sore ini ada 2.736.173 penduduk dunia telah terjangkit covid-19. Dengan jumlah kematian 191.422 jiwa dan yang sembuh 751.795. Sementara untuk Indonesia sendiri per 24/04/2019 jam 12.00 tadi sudah ada  8.211 jiwa yang terinfeksi, yang meninggal dunia 689 jiwa dan yang sembuh 1.002 jiwa. Meski masih jauh dari flu spaniel tahun 1918-1920, dimana ada 500 juta jawa terinfeksi dan sekitar 50 juta menunggal. Sementara Indonesia saat ini namanya mesih Dutch East India (Hindia Belanda) ada 1,5 juta yang meninggal, saat itu jumlah penduduknya baru 30 juta.

Saat ini, memang secara jumlah yang terinfeksi Indonesia menempatri peringkat ke 34 dunia. Namun yang namanya kematian (nyawa) itu bukan hanya dilihat dari deretan data statistic. Tetapi selayaknya, menyelamatkan nyawa satu penduduk, sama halnya dengan menyelamantkan nyawa seluruh umat manusia. Demikian juga halnya sebaliknya.  Dalam maqashidhul syariah, salah satu tujuan dari lima tujuan dasar ditegakkan syariah adalah hifdhul nafs, melindungi jiwa. Inilah yang kemudian diadopsi oleh pegiat HAM. Artinya, terkait dengan nyawa jangan remehkan hanya direduksi dengan hitungan angka-angka.

Balik ke soal korban tadi. Salah satu sebab hingga saat ini Indonesia saat ini masih sedikit yang terinfeksi, adalah pengetesan masih sedikit. Masih menurut data di atas, hingga hari ini baru 59.935 penduduk yang di test. Silakan lihat di link diatas dan bandingkan dengan negara-negara lain. Jadi wajar, jika masih sedikit. Apalagi perilaku warga +62 yang relatit abai terhadap aturan. Meski kita pahami, bahwa abai mereka karena dituntut oleh keadaan. 

Demikian juga ditambah dengan ketidak tegasan pemerintah pusat khususnya dalam menegakkan aturan untuk menghambat penyebaran COVID-19, yang dinilai beberapa pihak terlambat. Seharusnya sejak awal Maret, kebijakan yang sekarang ini dilakukan. Belum lagi mis-manajemen antara pemerintah pusat dan beberapa propinsi termasuk kabupaten/kota, menambah runyamnya penderitaan rakyat.  Seakan tidak ada koordinasi. Bahkan antar kementrian sekalipun. Maka tidak salah jika ada dokter di Malaysia yang memberikan warning bahwa Indonesia is a time bomb. Ya bom waktu ledakan penderita. Dan kondisi ini, bisa dijelaskan sebagaimana hasil simulasi yang dilakukan oleh beberapa ahli dan perguruan tinggi yang informasinya mudah di dapat itu.

Lalu apa hubungannya dengan puasa. Jelas kondisi ini, akan berdampak langsung terhadap kaum muslimin. Fatwa MUI beberapa waktu lalu, diikuti juga dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) di berbagai daerah, yang sebelumnya diawali dengan social distancing, physical distancing, mau tidak mau membatasi ruang gerak kaum muslimin untuk beribadah. Padahal bulan ramadhan kehadirannya sudah ditunggu-tunggu, sejak jauh-jauh hari. Karena keutamaan ramadhan yang begitu mulia. Coba kita perhatikan, ibadah di Masjid di daerah yang zona merah di larang, di zona kuning dan hijau, bisa dilaksanakan dengan protocol yang sangat ketat. Nggak ada buka bersama. Nggak ada sholat tarawih di Masjid. Sahur of the road, dan kegiatan-kegiatan lainnya, nggak ada. Semua kegiatan dilakuan di rumah. Sementara kajian dipindah ke online semuanya. Tidak menutup kemungkinan jika kondisi belum membaik, maka shola Ied-pun juga bakal dilarang.

Belum lagi ada larangan tidak boleh mudik (tidak usah diperdebatkan perbedaan nudik dan pulang kampung). Bahkan sejak hari ini, semua penerbangan komersial, terminal dan stasiun kereta api ditutup tidak melayani pemberangkatan ke tujuan manapun juga. Tiket yang sudah dibeli bakal di refund. Padahal banyak calon pemudik yang merencanakan jauh-jauh hari, dan sudah beli tiket untuk pemberangkatan menjelang idul fitri. 

Pada saat yang sama, krisis ekonomi menghantui. Badai PHK (pemutusan hubungan kerja) dan gulung tikarnya beberapa perusahaan terus berlangsung. Pasti akan menyebabkan pengangguran. Belum lagi ada prediksi ada kelangkaan pangan, akibat kebijakan import makanan pokok selama ini. Sementara Negara-negara lain yang selama ini mengekspor bahan pangan ke negeri kita, akan lebih mementingkan kebutuhan rakyatnya daripada mengekspor bahan pangan ke Negara lain, dan seterusnya.

Pendeknya, ramadhan kali ini, kita sedang di uji Allah SWT dengan berbagai hal, yang bertubi-tubi. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah [2] : 155). 

Ayat tersebut menjelaskan bahwa bentuk-bentuk ujian yang akan dihadapi manusia berkisar pada lima hal, yaitu diselimuti rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, berkurangnya jiwa, serta kurangnya persediaan buah-buahan. Bukankah hal ini saat ini terjadi., dan menimpa sebagian besar dari Kita? Namun Allah SWT menghibur kita dengan menutup ayat tersebut dengan sebuah harapan, yaitu dengan memberi kabar gembira bagi orang-orang yang Sabar.

Dan sebagaimana sering kita dengar, banyak sebutan bulan ramadhan, salah satunya adalah Sahrul Shabr. Bulan Sabar. Dimana kita dituntut untuk menghadpai segala kemungkinan yang terjadi itu dengan sabar. Semoga Allah SWT mengantarkan kita menjadi orang-orang yang sabar. 

Advertisement

1 thought on “Ramadhan di Tengah Pandemi”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.