Buzzer menurut wikipedia adalah perangkat pensinyalan audio, yang bekerja secara mekanis, elektromekanis, atau piezoelektrik (disingkat piezo). Sedangkan menurut kamus webster diartikan sebagai perangkat sinyal listrik yang mengeluarkan suara mendengung. Intinya buzzer adalah pengingat.
Tetapi pada perkembangannya, ketika media sosial mulai masif dimanfaatkan sebagai channel komunikasi pemasaran maka istilah buzzer ini dipergunakan untuk komunikasi pemasaran sebuah produk, jasa, sampai kemudian komunikasi “pemasaran” di bidang politik. Dari sini, seringkali orang susah memberakan antara buzzer dengan influencer.
Buzzer lebih berfokus pada penggiringan opini secara masif, tanpa dasaran yang kuat. Sedangkan influencer memiliki cara tersendiri untuk mengamplifikasi pesan ke masyarakat. Mereka biasanya dikenal memiliki keahlian di sebuah bidang atau artis dan publik figur yang kapasitas dan jejak digitalnya bisa ditelusuri. Ini membuat suaranya lebih layak didengar oleh publik dibandingkan buzzer di dunia politik. Continue reading “Wahai Buzzer Bertobatlah”→
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”.
Profesor Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya HAMKA, dalam Tafsir Al-Azharnya, menafsirkan dengan sangat indah. Saya kutip lengkap disini.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka.”
Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata rahmat yang tidak pada tempatnya saja.
“Karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa.”
Prasangka adalah dosa karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahim di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanalah perasaan yang tidak mencuri lalu disangka orang bahwa dia mencuri, sehingga sikap kelakuan orang telah berlainan saja kepada dirinya.
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”
Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulan di muka umum. Sebagaimana kebiasaan yang terpakai dalam kalangan kaum komunis sendiri apabila mereka dapat merebut kekusaan pada satu negara. Segala orang yang terkemuka dalam negara itu dikumpulkan”sejarah hidupnya”, baiknya dan buruknya, kesalahannya yang telah lama berlalu dan yang baru, jasanya dalam negeri dan perlawatannya ke mana saja. Continue reading “Para Pemakan Bangkai”→
Sudah tiga hari kita merayakan hari raya Idul Fitri 1443 H, bahkan bebarapa menjelang 1 Syawal 1443H, ada suasana damai yang luar biasa diantara umat Islam. Dimana setiap orang dengan kesadaran penuh tidak ada yang merasa paling benar, semua merasa salah, dan kemudian tanpa sungkan dan rasa malu memohon ma’af, kepada saudara, sahabat, teman, bahkan kepada siapa saja. Jika jaman dulu secara simbolis diwujudkan dengan saling berkunjung dan silaturrahim, saat ini berbeda.
Sejak era digital menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, ternyata juga mempengaruhi cara mengucapkan dan memberikan ma’af. Melalui kanal digital mempermudah, mempercepat dan memperbanyak yang bisa disampaikan dalam satuan waktu yang sama. Apakah dalam bentuk mesenger seperti WhatssApp, Telegram, Line, BIP bahkan masih ada yang menggunakan SMS dan lain sebagainya. Tinggal di blasting, maka pesan akan sampai ke ribuan penerima, sesuai dengan “alamat” yang kita tuju. Demikian juga yang melalui platform media sosial lainnya, seperti : Instagram, Facebook, Tiktok, Snapchat, YouTube dan lain sebagainya. Sehingga berbagai jenis dan model ucapan permohonan ma’af itu, bisa kita jumpai dari yang serius, yang biasa saja, hingga yang lucu. Continue reading “Ketika Minta Ma’af Begitu Mudah”→
“Ini tahun 2022 Bro. Masih ngeblog aja. Sudah kuno Tuh”. Begitu kira-kira percakapan yang terjadi. Teringat beberapa tahun lalu, saat eranya blog, memang blog menjadi trend, dan akibatnya banyak netizen berbondong-bodong bikin blog. Dengan berbagai platform yang ada saat itu. Ada juga yang sudah mati seperti multiply.com, dll. Olehnya selain blog ini, saya juga masih ada blog lain lagi. Yang ini nggak pernah diupdate. Karena lupa username dan passwordnya. Alamatnya ini https://masbagyoku.blogspot.com/ , terakhir posting 23 Januari 2013, setelah itu nggak terupdate lagi.
Blog inipun juga hampir bernasib sama. Seringkali vacum. Namun setiap ramadhan, selalu tergerak untuk meng-updatenya lagi. Termasuk pada ramadhan kali ini. Meski dengan nuansa berbeda, sebab serangkaian tulisannya agak serius. Sehingga hampir semua tulisan disini, pernah dimuat diberbagai media. Kemudian baru di reposting di blog ini.
Dunia blog memang sudah mulai ditinggal. Kalah popularitasnya dengan media sosial, yang memang lebih interaktif. Hal seperti ini nampaknya memang cocok dan ketemu chemistry-nya dengan karakter manusia, terutama netizen indonesia, yang memang lebih senang komunikasi verbal dibanding tulis. Lebih nyaman. Bahkan dimanjakan dengan subscribe, comment, like and share. Nggak banyak mikir. Akibatnya banyak yang membaca judulnya saja lalu men-share.
Padahal sering kali judul dan isi nggak nyambung. Mengejar clickbait, dimana sebuah judul konten yang dibuat menarik dengan tujuan memancing orang melakukan klik terhadap konten tersebut. Semakin banyak jumlah klik, semakin berhasillah judul clickbait tersebut. Hal ini juga mengkonfirmasi tentang rendahnya budaya literasi bangsa ini. Tak heran jika kemudian hasil survey microsoft tahun 2020, yang menyatakan bahwa netizen indonesia itu peling berisik seantero jagad raya
Konsekwensinya adalah, hanya sisa sedikit blogger yang masih setia ngeblog. Termasuk blogger senior, dimana mereka adalah bloggerpapan atas di jamannya. Memang jaman telah berubah. Pilihan platform media dan kecenderungan netizenpun juga berubah. Kebanyakan migrasi dan memilih facebook, twitter, instagram, linkedin, untuk menulis ide-idenya, sebagai microblogging, meski bisa juga untuk gambar dan video. Kemudian khusus yang video menggunakan youtube, snapshot, tiktok dlsb.
Mengapa pada berpidah, selain eranya memang berunah, juga lebih interaktif sebagaimana disebut di atas. Aspek lainnya adalah aspek ekonomi, dimana platform saat ini bisa di moneytizing yang menjanjikan. Artinya bisa mendatangkan cuan disitu. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya terinspirasi dan menjadikan Youtuber, atau influencer melalui IG, bahkan Buzzerp di Twitter, dijadikan sebagai profesi. Juga menurunkan banyak profesi turunannya seperti content creator, story telling, video maker, digital marketing, search engine optimization, apps developer dlsb.
Mengapa?
Kembali ke pertanyaan yang jadi judul blog ini. Saya perlu menjelaskan mengapa masih nge-blog. Padahal kalo lihat penjelasan di atas, nampaknya jadul banget. Nah ada beberapa alasan pribadi yang mendasari, jadi wajar kalo nenti kesannya subyektif.
Manyalurkan Hobi
Hobi menulis ini sebenarnya dibantun sejak kecil. Hobi ini, sesungguhnya sangat dipengaruhi kebiasaan alm. Ayahanda yang hampir setiap malam ngetik dengan mesin ketik brother. Saya biasa menemani Ayah yang multitalenta : pendidik, politikus, wiraswasta, aktifis sosial dlsb, sambil tidur di kursi sebelahnya. Sehingga, di saat mesin ketik sedang nganggur saya coba-coba ngetik. Demikian juga dianjutkan dengan menulis tangan.
Hal ini sebenarnya juga terkait dengan hobi baca. Buku apa saja yang ada, sejak kecil memang selalu dibaca. Ditambah lagi seneng koleksi buku sejak bujang. Hingga berumah tanggapun, selalu setiap bulan selalu menyisihkan uang untuk minimal beli satu buku. Akibatnya isi buku-buku itu yang meyesaki kepala. Dan menulis menjadi salah satu cara mengurangi sesaknya otak. Dan ternyata mengasyikkan. Disisi lain setelah paham tentang makna ayat pertama yang turun yaitu iqra’ (bacalah) sebagai bagian dari literasi, maka pasti diikuti juga dengan uktub (tulislah). Jadi menulis menjadi sesuatu aktifitas yang menyenangkan.
Menuangkan dan Menguji Gagasan
You’re what you write. Kamu adalah apa yang kamu tulis. Sehingga dalam setiap tulisan itu seringkali mewakili isi kepala si penulis. Meskipun ada juga yang tidak begitu. Tetapi bagi saya, setiap ada ide dan gagasan, selalu dituangkan. Memang tidak semua dalam bentuk tulisan di blog, bisa juga seperti artikel, esay atau jurnal. Seringkali juga dalam bentuk pointer, presentasi, mindmap, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan ini, jika sudah dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan itu, kemudian biasanya dibagi (di share) ke berbagai kalangan. Bisa di muat di blog, di jurnal, di media online, di media cetak, di group whatsapps, dan lain sebagainya. Juga tidak jarang dipresentsikan dalam pelatihan/training, ngajar di kelas, seminar, dlsb. Juga bisa dikembangkan dalam platform digital lainnya.
Narasi yang dituangkan itu tidak sepenuhnya diterima oleh semua orang. Ada kalanya juga diberi masukan, dikoreksi, dikritisi, di hujat dan lain sebagainya. Nah feedback seperti ini menjadi cukup bagus, karena akan menjadikan koreksi dan introspeksi diri kita, untuk tidak jumawa dan sebagai perbaikan di masa depan.
Membangun Relasi
Melalui blog bisa memperkenalkan diri kita kepada pihak lain. Hal ini terkait dengan poin ke-2 juga. Dari gagasan yang ditulis di blog itu, pernah mendapatkan respons untuk mengisi seminar dan pelatihan di sebuah organisasi. Dari tulisan di blog juga, sempat ada yang mengajak untuk membangun bisnis bersama.
Oleh karenanya, relasi dari ngeblog itu terjadi secara alamiah. Dimana pembaca blog kita bisa jadi memang mendapatkan dari platform media sosial lainya. Di share temannya. Atau ada yang niat melalui search engine. Saya juga mengamati ada beberapa tulisan yang sering dikunjungi, dan nampaknya adalah mahasiswa yang mencari rujukan untuk di tulis.
Sarana Pendidikan Dakwah
Bagi saya menulis adalah sarana dakwah itu sendiri. Dimana dakwah itu maknyanya adalah memanggil, mengundang, mengajak, menghimbau, menyeru menghidangkan dlsb, kepada kebaikan dalam hal ini dienul Islam. Memang tidak semua tulisan harus disertai dengan ayat dan hadits, akan tetapi muatannya adalah kesana.
Dimana secara langsung ataupun tidak langsung ada proses mendidik diri dan untuk mempengaruhi pembaca. Sebab ada seorang ulama yang berpesan satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, tapi satu tulisan dapat menembus ratusan hingga ribuan kepala (Sayyid Quthb). Bahkan di era media sosial ini bisa menembus jutaan kepala. Oleh karena terkit dengan unsur pendidikan dan aspek dakwahnya ini, maka tidak boleh ngasal. Meskipun tidak sedikit tulisan saya juga berisi kritikan dan gagasan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk kepada pemerintahan misalnya. Tetapi lagi-lagi semangatnya untuk kebaikan itu sendiri. Tidak lebih dari itu.
Subyektifitas tulisan ini seratus persen milik saya. Blogger lain bisa memiliki pandangan berbeda. Sebab ada juga bloggeryang memiliki orientasi untuk ekspresi kebebasan, mendapatkan uang, menjadi saluran politik dan lain sebagainya. Itu hak masing-masing blogger. Saya sendiri masih berusaha untuk mengintegrsikan menggunakan platform lain, dan kedepnnya jika memungkinkan juga bisa dimoneytizing.
Tetapi sekali lagi 4 (empat) point di atas, setidaknya menjadi landasan mengapa saya masih ngeblog. Saya masih ingat pesan seorang ustadz bahwa umur dakwah ini lebih panjang dari umur kita. Sehingga kita mesti meninggalkan sesuatu untuk melangengkan dakwah itu sendiri, dan menulis adalah salah satunya. Sehingga ngeblog bagi saya adalah menulis itu sendiri. Dimana ”menulis itu merangkai kata, sedangkan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, maka menulis adalah mempersiapkan perjuangan.” Wallahu a’lam
Ada sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan pagi tadi, disela-sela i’tikaf. Yang memaksa untuk kembali ke laptop, dan meninggalkan “kekhusyukan” beri’tikaf. Kemudian membawa untuk merenungi tentang konsep kerja itu sendiri. Dan melahirkan berbagai pertanayaan tentang ap asih kerja itu? Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun berkerja di berbagai bidang, namun seringkali pertanyaan mendasar seperti ini tidak terjawab dengan tuntas. Sebab kita terjebak dalam aktifitas yang praktis dan prakmatis saja. Tidak sempat untuk menelisik substansi filosofisnya.
Dalam Islam, menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki yang halal dan thoyyib dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya. Bahkan bekerja dengan benar sesuai tuntutan Islam, ditempatkan setara dengan para mujahid fi sabilillah. Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (profesional atau ahli). Barang siapa bersusah-payah (bekerja) mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah ‘Azza wajalla.” (HR. Ahmad)
Menurut KBBI kerja /ker·ja / 1 n kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat): — nya makan dan minum saja; 2 n sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian: selama lima tahun — nya berdagang; 3 n perayaan yang berhubungan dengan perkawinan, khitanan, dan sebagainya; pesta perjamuan: — nikah akan dilaksanakan pada tanggal 10 Syawal; 4 n cak pekerjaan: menguli adalah — yang memerlukan tenaga fisik; 5 v cak bekerja: hari ini ia tidak — karena sakit;
Kemudian bagaimana kerja dengan baik? Banyak referensi yang bisa kita jadikan acuan untuk menjawab ini. Namun dalam kesempatan ini, saya menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Pak Anies Baswedan. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur DKI ini memberikan panduan praktis bagaimana seharusnya kita bekerja, untuk meenghasilkan sebuah pekerjaan yang terstruktur, terukur dlsb. Meskipun, konteks pembicaraan beliau adalah berkenaan dengan tata kelola pemerintahan, akan tetapi apa yang beliau sampaikan itu, sesungguhnya juga sangat relevan dengan aktifitas kehidupan keseharian kita.
Konsep sederhana yang beliau sampaikan adalah, untuk mengerjakan suatu pekerjaan/proyek, jangan langsung kerja, kerja, kerja saja. Memang Just do it itu bagus, akan tetapi, jika tidak dibarengi dengan proses perencanaan yang matang, maka hasil yang didapatkan, bisa jadi tidak sesuai dengan harapan. Berpotensi adanya deviasi yang besar antara target dan realisasi. Atau bisa jadi pekerjaannya gagal, bahkan bisa menjadi useless (mangkrak) alias tidak berguna. Maka yang terjadi adalah bongkar pasang dan tambal di tengah di tengah jalan. Dan ini akan berakibat costly. Terjadi pemborosan, baik dari aspek waktu maupun biaya, dlsb.
Sebenarnya, statement beliau itu sudah cukup lama. Dan sering berulang. Sehingga “memaksa” saya untuk berfikir dan merenunginya. Ndilalah, saat berselancar di youtube, melihat sebuah acara di ILC, beberapa tahun lalu. Kemudian saya perhatikan dan renungkan. Secara singkat saya berkesimpulan bahwa apa yang beliau sampaikan itu benar adanya. Memang, saya faham, bahwa sebagian besar cara berfikir kita adalah, yang namanya bekerja itu adalah yang langsung kelihatan hasilnya. Alias hanya kerja fisik. Yang outputnya di ukur dari bentuk barang yang kasat mata. Dari gedung pencakar langit, tol langit dan seterusnya.
Gagasan – Narasi – Karya
Konsep kerja yang beliau sampaikan itu direduksi dalam tiga tahapan. Ide/Gagasan – Narasi – Kerja. Yaitu bahwa setiap kerja itu harus dimulai dari gagasan. Artinya harus ada ide yang melatar belakangi. Di cari dulu root cause-nya. Inti masalahnya apa. Jika sudah ketemu dan dirumuskan inti masalahnya, maka akan diketahui juga hubungannya dengan bidang/sector lain. Sehingga, tidak ada sebuah pekerjaan itu yang berdiri sendiri, dia dependent dengan kerja lainnya.
Selanjutnya, setelah ide/gagasan terdefinisikan dengan baik, maka langkah berikutnya adalah membuat narasi. Yaitu sebuah penjelesan yang komplit berkenaan dengan pekerjaan/proyek yang akan dilakukan ini. Bentuknya bisa bermacam-macam. Dari Term of Reference, Feasibility Study, atau Rencana/Program Kerja. Dengan adanya narasi maka, akan tahu apa pekerjaannya, siapa yang melakukan dan bertanggung jawab, kapan mulai dan berakhuir, dimana pekerjaan itu dilakukan, bagaimana cara mengerjakannya, berapa biayanya dlsb. Sehingga dari sini menjadi panduan yang komplit, sebagai guidelines untuk melakukan tahapan berikutnya.
Kemudian setelah narasi sudah jadi yang dapat berupa berbagai model itu (bisa juga pakai Business Model Canvas, dan tools lainnya), maka mesasuki tahapan implementasi. Disinilah karya itu akan dilakukan, dengan panduan proses sebelumnya. Sehingga hasil yang diharapkan dan dikerjakan itu, akan meminimalisir deviasi antara target dan realisasi. Disisi lain, mesti juga ada feed back yang berfungsi untuk mengoreksi selama berkarya itu. Tidak harus menunggu selesai pekerjaan baru dilakukan evaluasi untuk memberikan feed back, tetapi ditengah-tengah aktifitas juga bisa dilakukan. Dengan demikian maka, jika ada potensi penyimpangan, bisa segera diluruskan sedini mungkin.
Bahwa kemudian ada juga KPI (Key Performance Indicators) dalam setiap tahapan, itu bisa dilakukan, sebagai alat ukur baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga semua kerja itu terukur dari sisi target, output dan outcome nya. Dari sini selanjutnya juga akan kelihatan saling keterhubungan satu kerja dengan kerja lainnya. Begitulah seharusnya kita kerja. Tidak hanya kerja, kerja, kerja saja, tetapi semua ada konsep dan tahapannya. Selamat mencoba. Wallahu a’lam.