Islam, Krisis, Kronik

Ramadhan Di Bawah Naungan Pandemi


Tigabelas purnama sudah berlalu. Kita hidup dalam kondisi new normal. Sebuah keadaan dimana memaksa kita untuk membiasakan pola hidup baru, yang tidak biasa kita lakukan pada masa-masa sebelumnya. Sehingga mau-tidak mau mengubah semua aspek kehidupan, tanpa kecuali. Tetapi, tatanan kehidupan baru itu, setelah satu tahun lebih, kini telah menjadi habit. Seolah kita sudah terbiasa dengan lifestyle baru ini. Terutama yang menyangkut dengan menjaga Kesehatan. Tentu masing-masing kita punya segudang pengalaman yang bisa diceritakan.

Jika kita menengok, sejak diketemukannya kasus COVID-19 pertama akhir 2019 di Wuhan China, hingga hari ini menurut situs wordometer sudah ada 137,252,621 kasus diseluruh dunia. Dengan tingkat kesembuhan sebesar 110,433,163 jiwa, dan kematian sebesar 2,958,629 orang. Dari data tersebut diperoleh angka, bahwa saat ini ada  23,860,829 orang yang masih positif COVID-19, dengan 23,756,920 orang (99.6%) dalam kondisi sedang, serta 103,909 orang (0.4%) dalam kondisi kritis. Dan data ini bisa berubah dari menit ke menit.

Bagaimana dengan Indonesia? Dari sumber yang sama, ternyata Indonesia mengalami kenaikan peringkat dari tahun lalu. Dari peringkat 34 sebagaimana dikutip di tulisan sebelumnya, hingga kini berada pada urutan ke-19. Secara statistik dapat jelaskan bahwa hingga hari ini sudah ada 1,571,824 kasus diseluruh Indonesia. Ada 1,419,796 jiwa yang sembuh (termasuk saya), dan ada 42,656 jiwa yang meninggal. Sebagai penyintas, pengalaman terinfeksi COVID-19, merupakan pengalaman yang cukup menarik. Apalagi saya termasuk komorbid. Nanti akan saya ceritakan tersendiri.

Lagi-lagi, jika merujuk data yang ada, maka sesungguhnya Indonesia telah mengalami puncak Covid-19 pada bulan Februari 2021. Karena setelah itu, kasus harian berangsur terus menurun, sebagaimana ditunjuk dalam grafik berikut ini. Semoga akan terus melandai dan segera berakhir.

Meskipun demikian jika merujuk pengalaman beberapa negara lain, ternyata memiliki pola yang sama, terjadi gelombang-gelombang berikutnya. Olehnya masih berpotensi adanya second wave, third wave dan seterusnya. Dengan demikian maka, dalam konteks Indonesia, masih berpeluang bahwa pandemi ini tidak segera berakhir. Namun, dengan adanya vaksin yang sudah dilakukan sejak bulan lalu, semoga juga menjadi penghambat tersebarnya virus china ini. Selain itu, dengan adanya kebijakan pemerintah yang cukup membatasi ruang gerak rakyat, dus artinya juga akan membatasi ruang gerak penyebaran virus.

Kebijakan-kebijakan itu, ternyata juga berpengaruh terhadap kegiatan Ibadah. Memang sudah banyak masjid/mushola yang sejak beberapa bulan lalu membuka diri untuk kegiatan sholat dengan pembatasan dan protokol kesehatan. Meski juga ada yang masih menjaga jarak, namun juga ada juga yang shaf-nya sudah rapat. Semua tergantung dengan kebijakan pemerintah dan kesepakatan takmir/DKM masing-masing masjid/mushola. Tetapi apapaun yang terjadi,  kita bisa lihat bahwa ghirah umat menyambut Ramadhan dengan seluruh aktifitas Ibadah didalamnya tetap semarak.

Dari pengamatan di masyarakat terkait dengan Ramadhan, terutama yang terkait dengan pandemi ini, setidaknya dapat dipilah sebagi berikut :

Pertama, Takut (Paranoid), sikap paranoid banyak kita jumpai di masyarakat. Mereka sangat ketakutan dengan situasi yang ada. Biasanya banyak ini dialami oleh kelas menengah atas. Mereka yang sudah mapan. Hingga proteksi berlebihan dilakukan. Meskipun belakangan sudah tidak ketat lagi, namun jelas ketakutannya. Biasanya ngotot untuk tidak hadir berjama’ah di Masjid, atau jaga jarak shaf sholat, protokol kesehatan yang ketat dan seterusnya. Kajian dilakanakan secara online. Intinya tidak mau ada kerumunan atas nama apapun juga. Sikap ketakutan yang berlebihan justru malah menghambat untuk melakukan ibadah yang sempurna.

Kedua, Proporsional (moderat), sebenarnya ada juga perasaan takut bagi kelompok ini. Namun rasa takutnya bisa ditutupi dengan memperhatikan realitas yang ada. Sehingga melahirkan sikap yang proporsional. Biasanya mereka yang well educated yang berada pada kelompok ini. Sikapnya terukur. Saat status pandeminya meningkat (jadi zona merah misalnya) mereka menjaga jarak dan menjaga protokol Kesehatan. Jika status sudah turun ke kuning atau hijau, maka Kembali sholat dengan shaf rapat seperti biasa. Namun tidak sampai tidak menghadiri sholat. Demikian juga dalam kajian, fleksibel bisa online ataupun offfline.

Ketiga, Masa Bodoh, Kelompok ini tidak merasa takut dengan apapun yang terjadi. Biasanya mereka menganggap bahwa covid-19 ini adalah konspirasi kelompok tertentu. Sehingga mereka tidak peduli. Sholat, kajian dan lain sebagainnya tetap berjalan secara offline. Shaf sholat tetap rapat. Meski sesekali masih pake protokol kesehatan, dlsb. Intinya, apapun yang terjadi tidak mempengaruhi sikapnya dalam beribadah. Saat ini, kelompok seperti ini banyak. Paling tidak dalam sikapnya dalam beribadah. Bukan latar belakangnya. Karena sudah jenuh dengan situasi pandemi ini.

Ternyata 13 bulan hidup dalam suasana pandemi telah melahirkan sikap beribadah yang beraneka ragam. Jika didetailkan lagi, akan ditemukan sikap yang lain lagi. Model ini, setidaknya juga bisa menjadi mapping kondisi kita, berada pada posisi mana. Dan sikap keberagamaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan akan terpolarisasi lagi, jika pandemi masih berlangsung lama. Atau, hanya 2 (dua) saja, yaitu paranoid dan masa bodoh. Selamat menjalankan ibadah shiyam Ramadhan.

Wallahu a’lam.

Advertisement
Entrepreneurship

Senjakala Toko Buku


Kamis, pekan kemarin (19/7/2017), saya berkesempatan mengunjungi tempat service MacBook Air, bersebab MacBook kesayangan yang mengalamai masalah dengan bateray. Seperti biasa, saya menuju lantai 1, Mal Ambassador, ke tempat service, yang sudah saya searching sebelumnya. Jam menunjukkan pukul 10.30, padahal di pintunya tertulis took buka dari jam 11.00-20.00. Pintunya baru di buka separo, tapi saya kasih kode kalo mau service, akhirnya di bukakan. Saya kasih tahu bahwa, problemnya di battery service. Charger tidak bisa masuk, sehingga tidak mau nge-charge. Bahkan, gampang panas. Lalu, dicarikan type battery yang sesuai dengan Macbook air saya, dia sebutkan harganya, serta waktu pengerjaannya, yaitu selama satu jam. Harganya lumayan juga. Sedangkan waktu pengerjaannya akan dimulai dari jam 11.00, sesuai dengan jam kerja.

 

Sambil menunggu waktu pengerjaan, Saya keliling dulu, cari pembanding. Naik sampai ke lantai 3, dan ternyata sama saja. Jika mau beli yang original, harganya segitu dan waktu pengerjaannya sama, 1 jam. Kecuali yang KW, dan itupun barangnya tidak ready stock. Harus ngambil ke gudang. Akhirnya saya putuskan untuk kembali lagi, ke tempat semula. Lalu saya sepakat, dengan tawarannya tadi. Setelah di cek, semua kondisi fisik dan hardware, maka mulailah dikerjakan. Karena ada waktu satu jam untuk menunggu pengerjaan, barang ditinggal saja. Saya bilang mau ke Gramedia, yang kebetulan dilantai yang sama. Nah si-embaknya bilang, kalo Gramedia sudah tutup, tidak buka lagi. Sejak sepekan yang lalu, karyawannya berkemas untuk mulai mengosongkan toko.

Saya agak terkejut, meski pada tahun sebelumnya, sudah mendengar dan baca berita bahwa jaringan toko Gunung Agung di beberap tempat juga tumbang. Namun sekelas Gramedia, toko buku dengan branding yang kuat serta jaringan yang begitu luas, akhirnya bisa tutup juga. Jelas ini merupakan berita yang tidak sedap. Padahal, lokasi Mal Ambasador itu cukup rame, dikunjungi dan di akses oleh pengunjung yang rata-rata pekerja dan profesional yang ada di sekitar Mega Kuningan. Mereka itu jelas well educated, dan biasanya sangat dekat dengan buku. Melihat hal di atas, nampaknya ada sebuah fenomena, yang patut untuk di analisa dan dipertanyakan berkenaan dengan gulung tikarnya toko-toko buku ini. Apakah, hanya sampai disini, apakah kemudian ini akan membesar, diikuti dengan tutupnya toko buku lainnya. Continue reading “Senjakala Toko Buku”