Covid, Kronik, Peradaban

Belajar dari Tsunami Covid di India


https://www.worldometers.info/coronavirus/country/india/

Beberapa hari lalu, saya tulis tentang belajar dari Bangaluru, untuk membangun Silicon Valley, maka kali ini kita kita tetap belajar dari India, tetapi terkait dengan penanganan COVID-19. Dunia terbelalak, tiba-tiba India mengalami peningkatan yang drastis, terkait yang positif. Padahal pad bulan Januari, Pebruari hingga pertengahan Maret, grafiknya melandai. Seolah ada signal bahwa, pandemi segera berakhir di India.

Semua bersuka cita, bahwa kebijakan di India untuk menekan COVID-19 berhasil. Tetapi kini menunjukkan terjadinya sebuah anomali, sebab sebagaimana dalam grafik di atas, COVID-19 di India sempat mereda, namun lonjakan kembali terjadi, pada saat para ilmuwan memperkirakan herd immunity sudah hampir tercapai.

Barangkali ini yang memicu lonjakan itu. Dengan melihat penurunan kasus itu, serta tanda-tanda akan berakhirnya COVID-19, masyarakat menjadi lengah. Kerumunan masa terjadi di mana-mana. Tanpa adanya protocol Kesehatan. Sebagaimana ketat dilakukan pada bulan-bulan sebelumnya. Petugaspun nampaknya juga sudah mulai melonggarkan aturan.  

Kegiatan keagamaan rakyat India yang  berdasarkan sensus 2020  berpenduduk 1,380,004,385 orang dengan komposisi 79,8% Hindu, 14,2%  Islam, 2,3 Kristen dan sisanya agama lain itu menjadi bebas. Bahkan ritual penganut Hindu yang mandi di sungai Gangga dalam beberapa hari dilakukan dengan tanpa menghiraukan protokol Kesehatan. Mereka percaya bahwa Maa (ibu) Gangga akan menyelamatkan mereka dari pandemi ini. Faktanya, justru setelah ritual itu, muncul klaster baru terjadi di sini. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang tumpah ruah disini. Dari dari 50.000 sampel yang di tes, 1.000 diantaranya adalah positif COVID-19. Dan ini diikuti di seluruh India. Kasus harian meningkat tajam. Bahkan memecahkan rekor.

Demikian juga kampanye politik juga terjadi secara offline di negara multipartai ini. Yang namanya kampaye pasti mengundang kerumunan masa. Hal lain juga terjadi di restoran, rumah makan, mall, pasar, tempat perbelanjaan dll yang juga sudah dibuka dan semuanya sama, tanpa protokol kesehatan yang ketat dan memadai. Padahal India sejauh ini, India telah memberikan lebih dari 127 juta dosis vaksin virus corona dalam upaya inokulasi terbesar di dunia. Dan ada 272,705,103 penduduk yang sudah ditest. Hanya kalah dari USA yang sudah mengetest sebanyak 435,438,612 jiwa.

Tetapi realitas di atas justru mendapatkan data yang mengerikan. Kemarin 22/04/2021, menurut worldometer, tercatat ada 332.503 kasus baru. Dengan kematian sejumlah 2.256 orang. Hal ini menjadikan kasus dan kematian tertinggi di India hingga hari ini, sepanjang pandemi menyerang setahun lalu. Sehingga secara total, ada 16,257,309 kasus di India. Dengan 13,641,606 yang sembuh dan 186,928 yang mati. Sehingga  menempatkan India menempati peringkat ke-2, menyalip Brazil dengan jumlah kasus 14,1 juta, tetapi kalah dari USA dengan 32,6 juta.

Hal lain, juga memcicu pertumbuhan yang cepat itu disinyalir telah terjadinya dan ditemukannya mutasi COVID-19.  Varian virus baru itu dinamakan varian B.1.617, yang membawa beberapa mutasi. Virus ini telah dijuluki “mutan ganda” karena dua mutasi kunci pada protein lonjakan virus corona, yang digunakannya untuk mengikat lebih efektif dengan sel sehingga menyebabkan infeksi. Sementara, mutasi L452R diketahui meningkatkan transmisi virus dan mengurangi kemanjuran antibodi, mutasi E484Q dikatakan memberi virus peningkatan sifat pengikatan sel dan penghindaran kekebalan.

Dengan tingginya kasus positif di atas, diistilahkan telah terjadi tsunami COVID-19 di India. Hal ini menyebabkan setidaknya ada 4 (empat) masalah baru di India.  1) kurangnya jumlah bed dan obat-obatan di RS, 2) keterbatasan pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh pasien saat saturasi menurun, 3) mayat bertumpuk di luar RS, 4) tempat kremasi jenazah penuh.

Pelajaran apa yang bisa di ambil?

Dari apa yang terjadi di India, setidaknya beberapa pelajaran yang bisa kita ambil agar negeri ini terhindar dari tsunami COVID-19, beberapa hal itu meliputi :

Pertama, ketika grafik melandai, meskipun bisa dijadikan ukuran, bahwa jumlah yang terinfeksi COVID-19 turun, akan tetapi tidak bisa dijadikan alasan bahwa pandemi akan berakhir.

Kedua, grafik melandai juga bukan sebagai ukuran bahwa telah terhadi herd immunity, sehingga virus tidak menyebar/menular  lagi. Sebab masih ada indikasi yang lain yang jadi parameter.

Ketiga, Vaksinasi yang massif, juga bukan jaminan bahwa kita tidak akan terinfeksi virus corona. Faktanya, ada yang sudah di vaksinasi 2 (dua) kali ternyata masih terinveksi juga, hal ini juga kita jumpai di Indonesia.

Keempat, waspada terhadap mutasi dan hadirnya varian baru dari COVID-19.

Karena ada kesamaan dalam hal ndablegnya, terutama terkait untuk mematuhi protokol kesehatan, maka apa yang terjadi di India, sangat berpotensi juga terjadi di Indonesia. Apalagi jika mudik tetap dipaksakan. Maka, lonjakan itu bisa dipastikan bakal terjadi. Olehnya menjaga protokol kesehatan adalah kunci. Selain itu, intinya jangan paranoid sehingga menciptakan ketakutan yang luar biasa, akibatnya tidak berbuat apa-apa. Juga jangan jumawa sehingga sembrono, merasa tidak takut apapun yang terjadi, malah nantangin, nanti begitu kena baru bilang kalo COVID itu ada. Sebaiknya, kita bersikap wasathiyyah, moderat, pertengahan sehingga waspada dan proporsional menyikapi hal ini.

Selain itu bagi kita umat muslim, tentu saja dengan tetap menjaga wudhu, dan senantiasa lebih mengintefsifkan do’a dan beribadah. Apalagi ini sedang bulan Ramadhan. Setelah semua upaya itu dilakukan, selebihnya, kita tawakal kepada Allah. Semoga Allah SWT segera mengenyahkan COVID-19 dari muka bumi. Wallahu a’lam.

Advertisement
Islam, Krisis, Kronik

Ramadhan Di Bawah Naungan Pandemi


Tigabelas purnama sudah berlalu. Kita hidup dalam kondisi new normal. Sebuah keadaan dimana memaksa kita untuk membiasakan pola hidup baru, yang tidak biasa kita lakukan pada masa-masa sebelumnya. Sehingga mau-tidak mau mengubah semua aspek kehidupan, tanpa kecuali. Tetapi, tatanan kehidupan baru itu, setelah satu tahun lebih, kini telah menjadi habit. Seolah kita sudah terbiasa dengan lifestyle baru ini. Terutama yang menyangkut dengan menjaga Kesehatan. Tentu masing-masing kita punya segudang pengalaman yang bisa diceritakan.

Jika kita menengok, sejak diketemukannya kasus COVID-19 pertama akhir 2019 di Wuhan China, hingga hari ini menurut situs wordometer sudah ada 137,252,621 kasus diseluruh dunia. Dengan tingkat kesembuhan sebesar 110,433,163 jiwa, dan kematian sebesar 2,958,629 orang. Dari data tersebut diperoleh angka, bahwa saat ini ada  23,860,829 orang yang masih positif COVID-19, dengan 23,756,920 orang (99.6%) dalam kondisi sedang, serta 103,909 orang (0.4%) dalam kondisi kritis. Dan data ini bisa berubah dari menit ke menit.

Bagaimana dengan Indonesia? Dari sumber yang sama, ternyata Indonesia mengalami kenaikan peringkat dari tahun lalu. Dari peringkat 34 sebagaimana dikutip di tulisan sebelumnya, hingga kini berada pada urutan ke-19. Secara statistik dapat jelaskan bahwa hingga hari ini sudah ada 1,571,824 kasus diseluruh Indonesia. Ada 1,419,796 jiwa yang sembuh (termasuk saya), dan ada 42,656 jiwa yang meninggal. Sebagai penyintas, pengalaman terinfeksi COVID-19, merupakan pengalaman yang cukup menarik. Apalagi saya termasuk komorbid. Nanti akan saya ceritakan tersendiri.

Lagi-lagi, jika merujuk data yang ada, maka sesungguhnya Indonesia telah mengalami puncak Covid-19 pada bulan Februari 2021. Karena setelah itu, kasus harian berangsur terus menurun, sebagaimana ditunjuk dalam grafik berikut ini. Semoga akan terus melandai dan segera berakhir.

Meskipun demikian jika merujuk pengalaman beberapa negara lain, ternyata memiliki pola yang sama, terjadi gelombang-gelombang berikutnya. Olehnya masih berpotensi adanya second wave, third wave dan seterusnya. Dengan demikian maka, dalam konteks Indonesia, masih berpeluang bahwa pandemi ini tidak segera berakhir. Namun, dengan adanya vaksin yang sudah dilakukan sejak bulan lalu, semoga juga menjadi penghambat tersebarnya virus china ini. Selain itu, dengan adanya kebijakan pemerintah yang cukup membatasi ruang gerak rakyat, dus artinya juga akan membatasi ruang gerak penyebaran virus.

Kebijakan-kebijakan itu, ternyata juga berpengaruh terhadap kegiatan Ibadah. Memang sudah banyak masjid/mushola yang sejak beberapa bulan lalu membuka diri untuk kegiatan sholat dengan pembatasan dan protokol kesehatan. Meski juga ada yang masih menjaga jarak, namun juga ada juga yang shaf-nya sudah rapat. Semua tergantung dengan kebijakan pemerintah dan kesepakatan takmir/DKM masing-masing masjid/mushola. Tetapi apapaun yang terjadi,  kita bisa lihat bahwa ghirah umat menyambut Ramadhan dengan seluruh aktifitas Ibadah didalamnya tetap semarak.

Dari pengamatan di masyarakat terkait dengan Ramadhan, terutama yang terkait dengan pandemi ini, setidaknya dapat dipilah sebagi berikut :

Pertama, Takut (Paranoid), sikap paranoid banyak kita jumpai di masyarakat. Mereka sangat ketakutan dengan situasi yang ada. Biasanya banyak ini dialami oleh kelas menengah atas. Mereka yang sudah mapan. Hingga proteksi berlebihan dilakukan. Meskipun belakangan sudah tidak ketat lagi, namun jelas ketakutannya. Biasanya ngotot untuk tidak hadir berjama’ah di Masjid, atau jaga jarak shaf sholat, protokol kesehatan yang ketat dan seterusnya. Kajian dilakanakan secara online. Intinya tidak mau ada kerumunan atas nama apapun juga. Sikap ketakutan yang berlebihan justru malah menghambat untuk melakukan ibadah yang sempurna.

Kedua, Proporsional (moderat), sebenarnya ada juga perasaan takut bagi kelompok ini. Namun rasa takutnya bisa ditutupi dengan memperhatikan realitas yang ada. Sehingga melahirkan sikap yang proporsional. Biasanya mereka yang well educated yang berada pada kelompok ini. Sikapnya terukur. Saat status pandeminya meningkat (jadi zona merah misalnya) mereka menjaga jarak dan menjaga protokol Kesehatan. Jika status sudah turun ke kuning atau hijau, maka Kembali sholat dengan shaf rapat seperti biasa. Namun tidak sampai tidak menghadiri sholat. Demikian juga dalam kajian, fleksibel bisa online ataupun offfline.

Ketiga, Masa Bodoh, Kelompok ini tidak merasa takut dengan apapun yang terjadi. Biasanya mereka menganggap bahwa covid-19 ini adalah konspirasi kelompok tertentu. Sehingga mereka tidak peduli. Sholat, kajian dan lain sebagainnya tetap berjalan secara offline. Shaf sholat tetap rapat. Meski sesekali masih pake protokol kesehatan, dlsb. Intinya, apapun yang terjadi tidak mempengaruhi sikapnya dalam beribadah. Saat ini, kelompok seperti ini banyak. Paling tidak dalam sikapnya dalam beribadah. Bukan latar belakangnya. Karena sudah jenuh dengan situasi pandemi ini.

Ternyata 13 bulan hidup dalam suasana pandemi telah melahirkan sikap beribadah yang beraneka ragam. Jika didetailkan lagi, akan ditemukan sikap yang lain lagi. Model ini, setidaknya juga bisa menjadi mapping kondisi kita, berada pada posisi mana. Dan sikap keberagamaan seperti ini, tidak menutup kemungkinan akan terpolarisasi lagi, jika pandemi masih berlangsung lama. Atau, hanya 2 (dua) saja, yaitu paranoid dan masa bodoh. Selamat menjalankan ibadah shiyam Ramadhan.

Wallahu a’lam.