Dakwah, Entrepreneurship, Islam, Leadership, organisasi

Tantangan Organisasi : Memimpin Multi Generasi


Generation concept icons set. Age groups idea thin line illustrations. Gen Z and millennials. Generation X. Peer groups. Baby boomers. Vector isolated outline drawings. Editable stroke

Setiap organisasi, apapun bentuknya akan selalu menghadapi tantangan baru dari waktu ke waktu. Sebagaimana apa yang menjadi realitas saat ini, dimana disetiap organisasi, terdapat lintas generasi didalamnya, dengan berbagai peran, dari mulai pemimpin hingga anak buah/staf. Menurut Don Topscott dalam bukunya Grow Up Digital, menyimpulkan bahwa setidaknya ada empat generasi dominan yang masih aktif bekerja. Generasi Baby Boomers yang lahir sebelum tahun 1965, generasi Gen X yang lahir antara tahun 1965-1979, generasi Gen Y atau sering disebut Millenials, mereka yang lahir antara tahun 1980-1996 dan generasi Gen Z adalah mereka yang lahir 1997 sampai 2010.

Bahkan, dewasa ini Milenial atau yang kerap disebut Gen Y telah mendominasi angkatan kerja dan mendapatkan jabatan di berbagai organisasi. Meskipun sebenarnya berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, keberadaan Gen Y ini secara populasi menduduki peringkat ke-2 sebagai generasi terbanyak di negeri kita ini setelah Gen Z, namun di dunia kerja dan organisasi maka Milenial lah yang mendominasi. Meskipun para Zoomer, demikian panggilan akrab Gen Z sudah mulai memasuki dunia kerja, namun sebagian besar Zoomer saat ini masih berada di jenjang kuliah dan bangku sekolah. Sementara pendahulu mereka yaitu Gen X tergolong masih cukup banyak dan menduduki posisi manajerial hingga manajemen puncak. Sedangkan Baby Boomers dalam berbagai  organisasi ada yang berada pada posisi puncak, ada juga yang sudah memasuki usia pensiun, sebagai penasihat dan lain sebaginya Continue reading “Tantangan Organisasi : Memimpin Multi Generasi”

Advertisement
entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship, IT

Membangun Start-Up (lagi)


Seolah tiada kapoknya. Bagi sebagian entrepreneur, membangunstart-upadalah sebuah habbits. Bukan masalah serakah, tamak, loba atau tidak puas dengan raihan yang dicapai dan sejenisnya. Tetapi keterpanggilan jiwa, sebagai manifestasi dari keingingan untuk selalu berkarya dan memberikan yang terbaik, lebih dominan yang melatarinya. Idealnya memang, dalam membangun sebuah perusahaan rintisan itu adalah setelah di didirikan, di rawat dulu, hingga menjadi perusahaan yang survive, berkembang, besar,sustainserta berpengaruh hingga IPO dan menjadi perusahaan publik (terbuka). Dan sudah barang tentu memberikan profit yang maksimal bagi share holders. Baru kemudian dikembangkan. Itu, cara kerja otak kiri katanya. Cara kerja otak kanan beda. Sebab dalam membangun bisnis, seringkali tidak linear, tetapi eksponensia. Bukan deret hitung, namun deret ukur, dan seterusnya. Sehingga, syukur-syukur start-upyang dibangun bisa mencapai derajat unicorn. Sebuah tahapan ideal bagi start-up, yang seringkali di ukur dengan valuasinya yang mencapai 1 juta dollar atau dalam kisaran 15 triliun rupiah dalam kurs hari ini. Dan parameter prestasi seperti itu, biasanya yang menjadi motivasi & impian hampir setiap start-up.Meskipun kenyataannya, dalam membangun start-upitu, tidak bisa dikaitkan langsung dengan sukses dan gagalnya bisnis sebelumnya.

Mengapa demikian? Sebab, tidak selamanya gambaran ideal itu, dapat diraih oleh semua start-up. Hanya sedikit yang bisa mencapai derajat itu. Alih-alih bisa sampai tingkatan unicorn. Untuk berkembang dan survivesaja, kerap kali sulit untuk diraih. Akibatnya, Continue reading “Membangun Start-Up (lagi)”