Islam, Leadership, organisasi

Kader Biologis Yang Ideologis dan Kader Ideoogis Yang Biologis


communityplans.net

Dalam sebuah organisasi dan gerakan apapun itu bentuknya, yang menginginkan untuk sustain, berjalan lama melintasi generasi, pastilah mempersiapkan generasi pelanjut untuk meneruskan visi dan misi yang sudah ditetapkan. Biasanya dua kelompok besar yang dikader dalam melakukan proses regenerasi ini. Pertama adalah mempersiapkan kader biologis. Dimana mereka adalah orang-orang yang memiliki garis keturunan dan lahir dari keluarga yang sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Sehingga secara otomatis mereka sudah termasuk sebagai kader organisasi itu. Selanjutnya dianggap sudah paham dengan seluruh aturan yang ada di dalam organisasi tersebut, karena sudah berinteraksi sejak lahir dengan orang tuanya yang memang sudah menjadi kader, dan menjadi bagian dari ekosistem yang ada. Sehingga pada gilirannya diharapkan akan meneneruskan estafeta kepemimpinan organisasi dimaksud.

Kedua adalah mempersiapkan kader ideologis,  yaitu orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi itu, setalah melakukan interaksi yang cukup panjang. Mereka awalnya outsider, yang kemudian bergabung didalamnya. Sehingga untuk mendapatkan gelar kader organisasi itu, setelah mengikuti pendidikan ataupun proser perkaderan berjenjang serta pembunaan yang ada di Organisasi tersebut. Konsekwensinya, kader ideologis ini faham atas seluruh peoses, aturan yang ada dalam organisasi, dan selanjutnya menjadi bagian dari organisasi tersebut diberbagai struktur dan underbow-nya, untuk ikut andil dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan organisiasi dimasa mendatang. Continue reading “Kader Biologis Yang Ideologis dan Kader Ideoogis Yang Biologis”

Advertisement
Parenting, Peradaban

Harga Sebuah Konsensus 



Ada kesepakatan yang tidak di tulis dalam keluarga. Dan itu menjadi semacam aturan yang mengikat, kemudian dipedomani. Olehnya, semua anggota keluarga, patuh, taat dan ikhlas menjalankannya. Tanpa ada paksaan, telah menjadi kesadaran kolektif.  Bahkan yang terjadi adalah, saling memotivasi, saling mengingatkan, saling menguatkan, dalam menjalankan kesepakatan itu. Sehingga semuanya menjadi enjoy dan nyaman.

Hari ini, Ahad, 9/7/2017 lalu, mas Haydar sedang memulai menjalankan kesepakatan itu. Sebagai orang tua, pada awalnya berat sebenarnya untuk merestui keinginan anak ke-4 itu. Bukan kemaluannya  dalam rangka menepati komitmen itu. Melainkan  terkait dengan konsekuensi atasnya yaitu menyangkut jauhnya jarak. Mengingat dia yang masih culun itu. Beda dengan 3 kakaknya terdahulu. Yang saat usia seusia dua, hanya nyantri  di radius Jabotabek. Sehingga masih mudah untuk di jangkau. Namun ini di Yogya. Sebuah pilihan yang harus dihormati, sekaligus mesti dipertimbangkan. Yang pasti ada cost yang harus dibayar tadi, yaitu berkenaan dengan jarak dan waktu. Apalagi saat dia membutuhkan sesuatu dan lain sebagainya. Itulah kalkulasi kami secara manusia. Namun, saat melihat niat, tekat dan semangat  anak yang ingin menjalani ya, saat itu pula meruntuhkan keraguan dan keberatan kami sebagai orang tuanya. Kami lepas, dan restui pilihannya, tentu dengan proses saling memahami atas konsekuensinya.

Disaat ada sebagian teman yang ingin anaknya nyantri dan ternyata berhadapan dengan kenyataan, bahwa anaknya tidak mau nyantri. Pun demikian, seringkali saya jumpai sebagian orang, yang nyinyir dengan pola pendidikan ala Pesantren. Dan dengan serampangan, namun dikemas seolah ilmiah, men-judge sepihak. Dari kenyataan tersebut, saya justru bernafas lega. Sebab, saya punya fakta bahwa, saya tidak pernah memaksa, justru merekalah yang meminta. Sehingga  dari 5 anak, hingga tahun ini, sudah 4 anak yang memilih Pesantren, sebagai wasilah untuk menuntut ilmu. Dan olehnya, Saya merasakan bahwa ini sebuah kebahagiaan bagi saya, dan nyatanya bahagia itu sederhana. Dari fakta tersebut, sekaligus menjawab, mengapa saya dan kemudian anak-anak memilih Pesantren? Sudah barang tentu saya punya sejuta alasan sebagai pembenarnya. Baik secara subyektif maupun objektif. Mungkin suatu saat saya diskusikan tentang ini.

Sayapun tidak menutup mata, bahwa ada kekurangan dalam pendidikan di Pesantren. Namun itu tidak bisa kemudian dipakai dalih untuk menggeneralisir, lalu mendiskreditkan pendidikan ala Pesantren ini. Bahwa ada kritik, yang tajam tentang model boarding (asrama), potensi penyimpangan orientasi sex, kehilangan figur orang tua, dlsb. Itu boleh-boleh saja, dan hak siapapun untuk menilai seperti itu. Tetapi sesungguhnya, semua sangkaan tersebut, sangat gampang dipatahkan. Sehingga saya tidak hendak memperpanjang kata untuk berpolemik dan berdebat soal ini. Silakan anda meyakini keyakinan pilihan pendidikan anak-anak Anda. Dan biarkan kami memilih pesantren untuk pendidikan anak-anak kami. Tanpa harus saling menjatuhkan dan merasa benar. Sebab ketika kami pilih pendidikan anak saya, juga melalui proses riset kecil-kecilan. Bukan asal, apalagi sekedar hanya ikut-ikutan trends saja, atau tanpa ilmu. Dari sini, saran saya untuk orangtua yang anaknya tidak mau nyantri, jangan dipaksa. Ajak diskusi, kasih pengertian. Jika ternyata tidak mau, beri informasi model pendidikan, dan konsekuensi, memilih model pendidikan itu. Banyak model pendidikan yang tersedia, dan setiap anak memiliki kecenderungan pola pendidikannya masing-masing, sesuai dengan minat, bakat, karakter dan fitrahnya. Tidak bisa digeneralisir, bahwa satu model pendidikan cocok untuk semua anak.

Jika boleh disampaikan, inilah sesungguhnya konsensus di keluarga kami itu. Begitu lulus SD, langsung memilih Pesantren sebagai tempat belajarnya. Namun, untuk pilihan pesantren mana yang harus dituju, kami diskusi dulu,didahului dengan melakukan riset bareng-bareng. Biasanya kami pilih 3-5 Pesantren, yang saya rasa dan lihat, sesuai dengan karakter anak. Kami searching dulu di internet. Banyak faktor yang di amati, mulai dari visi misi, lembaga penyelenggara, kurikulum, guru, fasilitas, dan lain sebagainya. Baru, kemudian kami list, dipilih 3 besar, untuk ikut seleksi. Kadang-kadang, survey dulu pesantrennya sebelum seleksi dan menetapkan pilihan. Dialog dengan guru dan mengamati aktifitas di pesantren. Begitu sudah lolos seleksi, dan mantap, kami melakukan semacam kontrak. Bahwa harus memiliki niat, komitmen dan iltizam untuk menempuh pendidikan sampai tamat.

Peran Orang Tua
Saya tahu bahwa ada kritikan atas pendidikan model pesantren sebagaimana di atas, yang seolah menghilangkan peran orang tua dalam mendidik anaknya. Bahkan, ada yang menghakimi, bahwa orangtua yang  menyerahkan pendidikan anak ke Pesantren adalah wujud berlepas diri,  alias tidak bertanggung jawabnya orang tua atas pendidikan anak. Sebuah penilaian ceroboh dan menyederhanakan permasalahan. Bisa jadi,  ini bagian untuk melemahkan pola pendidikan ini. Bahwa sangat mungkin, ada sebagian orang tua yang “pasrah bongkokan” alias menyerahkan begitu saja, adalah kenyataan. Namun tidak sedikit dan kini jadi mayoritas, bahwa orangtua yang sangat faham tentang urgensi  interaksi antara orangtua dan anak dalam proses pendidikan ini. Sebagai bagian dari integrasi pendidikan antara pesantren – orangtua-lingkungan.

Sehingga kualitas interaksi, menurut saya cukup memberikan warna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bukan hanya kuantitasnya saja, yang memang tidak bisa dilakukan. Komunikasi saat jarak jauh dan terbatas, bersebab ada batasan penggunaan alat komunikasi, justru menjadikan orangtua berpikir keras, tentang apa yang harus dikomunikasikan dengan anak. Bukan hanya sibuk untuk menanyakan kondisi kekinian, termasuk merespons komplain anak terkait kehidupan di Pesantren, yang seringkali memang berbeda dengan keinginan anak. Namun, justru orangtua harus mampu mengajak sekaligus mengarahkan anak untuk terbiasa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Disamping, tentu saja kalo saya, mengajak anak untuk berbicara Narasi Besar, berkenaan dengan masa depannya, negerinya dan dien-nya.  Anak-anak biasanya senang, lalu mereka berbicara berjaya mimpi serta imajinasi yang luar biasa. Sebab mereka bukan kita yang kecil, saat ini. Mereka, pada gilirannya akan berkompetisi di jamannya kelak.
Sehingga, peran orang tua adalah kunci. Orang tua, harus mampu menyelaraskan apa yang telah diprogramkan oleh Pesantren dengan kemampuan anak. Harus ada kerjasama. Tidak bisa orangtua berlepas diri. Karena mendidik anak, sampai dengan baligh, sesungguhnya melekat pada tugas orang tua. Ini yang perlu dipahami bersama. Karenanya, dalam konteks anak di pesantren, maka institusi pesantren dan seluruh stakeholders didalamnya, menjadi pendukung sekaligus menjadi “orangtua” anak (santri). Agar mereka tidak fatherless atau motherless. Dan kesadaran ini, mestinya menjadi pemahaman bersama. Agar anak tidak salah asuh.

Melaksanakan Konsensus

Dus
, dari apa yang saya kemukakan di atas, menegaskan bahwa, sejak dini kita bisa menerapkan kesepakatan dalam keluarga. Konsensus dibikin dengan kesadaran dan semestinya inline dengan visi keluarga. Secara explisit, baik verbal maupun tulisan, bisa jadi kita tidak pernah menyatakan apa visi keluarga. Namun, sebagai suami, sejak pernikahan, sudah menetapkan bahwa, menjadi keluarga qur’ani, adalah visi. Tentu ini visi besar, yang tidak ringan. Ayahlah yang pada awalnya membuat Big picturenya, lalu dikomunikasikan keseluruh anggota keluarga secara bertahap, sesuai dengan perkembangan usianya. Semua harus jelas, dan lebih baik jika terstruktur dan terukur. Sehingga, akan menjadi mudah jika di breakdown. Apalagi jika disusun, berdasarkan quadran penting dan mendesak. Dari situ akan, jelas apa dan prioritas apa yang harus dikerjakan oleh keluarga dan seterusnya.
Dari list prioritas itu, maka strategi implementasinya bisa di buat. Anak-anak mesti dibiasakan begini. Mereka perlu diberikan pelajaran dari pencapaian-pencapaian (quick win) setiap perlangkahannya. Tidak harus linier atau sequential. Bisa saja melompat-lompat, eksponensial, bahkan tidak berpola. Dan yakinlah mereka akan belajar dari itu. Bisa jadi saat ini, mereka melaksanakan konsensus, tanpa faham dengan pasti konsekuensinya. Tapi, kelak hal ini akan membekas dalam ingatan. Yang pada gilirannya memberikan arah dalam langkah hidupnya.
Buat anak-anakku yang sedang nyantri. Biarkanlah Abi menangis, saat melepas kalian. Setumpuk perasaan membuncah dalam dada. Antara haru, sedih, bangga dan entah rasa apa lagi, yang tidak bisa diungkapkan dengan bahasa tulisan dan kata-kata. Ini tahap awal kalian melangkah, dalam menjalani kehidupan ini. Kedepan, akan banyak rintangan yang kalian hadapi. Dan saya yakin, kalian mampu menaklukkannya. Sebab, Insya Allah pijakan kakimu telah benar dan kokoh. Untuk, menapak dan juga melompat untuk meraih cita-cita tertinggi. Sebagaimana yang sering kita diskusikan itu. Hidup mulia, atau Syahid di jalan-Nya. Amiin.

-Kaliurang, 9/7/2017

Parenting

Nasihat Untuk Calon Pengantin


Nasihat untuk Calon Pengantin

Pernikahan Mubarak Hidayatullah 2015.

“SUDAH nadhor dan taaruf dengan calon istri?” tanyaku kepada 7 dari 12 calon pengantin pria yang nge-teh pagi di rumah, Selasa, 25 April 2017.

“Beluuuuum!!” jawab mereka kompak, laksana paduan suara, yang mengguncang ruang tamu di rumah.

“Itulah yang bikin kami penasaran, Ustadz,” celetuk salah satu mereka. Saya tersenyum. Mereka berkeringat, setelah diminta mengangkut-ngangkut barang di rumah, sebagai bagian dari pendidikan pra nikah.

“Tolong kami dinasihati sebelum nikah, Ustadz,” pintanya. “Insya Allah! Eh, tolong dimakan kuenya,” walah ternyata sudah habis.

Kemudian saya mulai cerita.

“Pernikahan itu akan menggenapkan separuhdien antum (agama kalian. Red). Sehebat apapun sebelum menikah, masih belum komplit keber-Islaman kita. Nikah itu sunatullah. Mumpung antum belum ketemu calon istri, perbanyak ibadah, qiyamul lail, antum akan dipertemukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala pasangan yang sekufu dengan antum.”

Baca: Kemenag Gagas Kursus Calon Pengantin

Saya pandangi satu per satu dari mereka, nampak serius memperhatikan.

“Namun bisa jadi pasangan yang antumdapatkan, tidak sesuai dengan yang antumbayangkan. Tidak sama dengan kriteria yangantum idam-idamkan, sebagaimana di buku-buku yang pernah antum baca, atau ceramah-ceramah yang pernah antum dengar. Sikapilah itu sebagai pemberian terbaik dari Allah untukantum. Tidak usah protes, jangan mengeluh.”

Mereka semakin memperhatikan.

“Pernikahan itu menyatukan dua makhluk Allah yang berbeda. Laki-laki sangat didominasi oleh logika. Sementara wanita, lebih mengemuka perasaannya. Belum lagi latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya. Jadi jarang atau mustahil, dalam pernikahan itu langsung cocok, persis. Selalu saja ada kurangnya.”

Para calon pengantin semakin menyimak.

“Tugas suami itu mengayomi istri. Buat istri nyaman dengan kehadiran antum. Suami itu imam di rumah. Makanya dia yang paling tahu kemana arah rumah tangganya dibawa. Suami bersama istri harus bisa merumuskan visi keluarganya dibawa kemana. Tentu, semua merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada aturan main yang rigid di sana. Antum harus belajar dari situ.”

Mereka semakin mengernyitkan dahi.

“Suami itu juga mempunyai kewajiban memberi nafkah lahir batin terhadap keluarga. Sehingga suami, sebagai tulang punggung keluarga, harus mencari rejeki yang halal buat keluarga. Istri, sebagai manajer yang mengelola keuangan keluarga. Bukan soal banyak atau sedikit, namun yang lebih utama adalah berkahnya. Sebab dengan keberkahan, kebutuhan keluarga akan tercukupi.

Baca: Menikah Melecut Semangat Mencari Nafkah

Secara batin, suami harus menciptakan rasa aman dan nyaman di keluarga, sekaligus menjadikan keluarga Qur’ani. Di sisi lain, suami juga wajib memberikan nafkah biologis kepada istrinya. Semuanya harus imbang, dan saling pengertian serta memahami.”

“Olehnya,” lanjut saya, “jadikanlah istrimu laksana bidadari surga, Insya Allah antum akan diperlakukan sebagai raja. Jangan hardik dan kasari istrimu. Baik secara fisik maupun kata-kata. Sebab istri itu selalu ingat, apa yang dilakukan suaminya terhadap dirinya. Ingat, mereka lebih mengedepankan perasaan dibanding logika. Mungkin bagi lelaki itu hal sepele, namun bagi wanita tidak.”

Teh di teko tertuang habis di gelas.

“Panggillah istrimu dengan nama kesayangan, yang hanya kalian berdua yang paham. Misalnya ‘cinta’, ‘cantik’, ‘mawar’, ‘melati’, dan lain sebagainya.” Mereka mulai tersenyum, salah satu dari mereka nyeletuk, “Bunga Bangkai.”

Semua tertawa lebar.

“Dalam membangun rumah tangga, tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada saja masalah. Kadang itu hanya sepele. Tetapi jangan digampangkan. Sekecil apapun masalah, harus diselesaikan dengan baik, jika tidak, bisa jadi akan membesar. Karena setan, akan ikut bermain di situ. Dan senantiasa mengembus-embuskan fitnah, untuk membuat kacau. Bicarakan berdua, dengan tenang. Cari waktu dan tempat, yang membuat nyaman. Jangan sampai masalahmu, orang lain yang lebih tahu duluan. Apalagi ngumbar curhat di medsos.

Sehingga sebagai imam, antum harus berusaha menyelesaikan semua masalah itu dengan adil dan penuh kasih sayang. Jika ternyata belum bisa selesai juga, mintalah nasihat kepadamurrabi, atau ustadz yang paham tentang syariah. Selain itu, bekalilah dirimu dengan membaca Fiqh Munakahat, biar faham tentang pernikahan itu.”

Baca: Empat Alasan Ikut Pernikahan Mubarakah Hidayatullah

“Insya Allah, sebentar lagi antum memasuki pintu gerbang pernikahan. (Jika nanti) antumtelah menggenapkan separoh dien. Jadilah suami sekaligus imam. Yang akan membawa keluarga tidak hanya bahagia di dunia. Namun yang akan terus berkumpul di janah-Nya kelak.”

Semua mengangguk-angguk tanda setuju. Lalu pamit, untuk mengikuti pembekalan yang sudah diatur oleh panitia pernikahan mubarakah di Kalimulya, Cilodong, Depok, Jawa Barat. Acara ini akan digelar pada akhir April 2017.

Semoga mereka mendapat jodoh terbaik yang akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.* Asih Subagyo, ayah dari 5 orang anak, pengurus DPP Hidayatullah

Tulisan ini dimuat di : http://m.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2017/04/25/115528/nasihat-untuk-calon-pengantin.html

 

Continue reading “Nasihat Untuk Calon Pengantin”