Islam

Berburu Lailatul Qadr


Ada sebuah pelajaran dari pacuan kuda, ketika mendekati garis finish justru, kuda tersebut akan berpacu lebih kencang lagi. Hal ini juga berlaku bagi pada pelari, jarak pendek maupun jarak pendek. Semua sama, ketika mendekati akhir perlombaan jutsru mempercepat lajunya. Demikian pula ketika pembalap sepeda, semakin dekat dengan ujung garis akhir perlombaan, semakin kuat ayunannya, sehingga mencapai finish duluan. Hal yang sama terjadi untuk hampir semua perlombaan jenis apapun juga, effort di akhir menjadi sebuah keniscayaan, jika ingin memenangkan perlombaan.

Jika di ibaratkan perlombaan tersebut di atas, maka hari-hari ini, kita berada di penghujung ramadhan. Maka, menjadi menyalahi sunnatullah untuk meraih kemenangan, jika kemudian di hari-hari ini, kita malah santai di banding hari-hari berikutnya. Artinya, seharusnya justru kita memacu ibadah kita. Baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Tidak ada pilihan lain jika kita ingin meraih keutamaan ramadhan yang liar biasa itu.

Modal dasar dari yang melaksanakan puasa adalah beriman, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al Baqarah : 183 adalah panggilan terhadap orang yang beriman. Sehingga orang yang tidak beriman tidak diwajibkan berpuasa. Olehnya jika ada orang yang tidak beriman kemudian nyinyir terhada ibadah puasa ramadhan dan seluruh kandungan di dalamnya, wajar saja. Sebab perintah ini bukan untuknya. Kemudian ada proses yang sama, yaitu puasa. Secara Bahasa puasa atau dalam Bahasa Arab -disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم) artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Puasa dilakukan dengan menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa. Kemudian outpunya adalah takwa.

Pertanyaanya adalah mengapa setiap tahun orang beriman berpuasa, akan tetapi ternyata tidak ada standar ketaqwaan yang mewarnai kehidupan umat pada hari-hari berikutnya. Maka jawabanya bisa panjang. Akan tetapi bisa jadi input-nya, tingkat keimanan yang berbeda. Proses dalam berpuasa juga belum sempurna. Sehingga outputnya tidak standar.

Akhir ramadhan memang diberikan fasilitas bagi setiap muslim yang melaksanakan shiyam ramadhan. Sehingga umat islam di akhir bulan ramadhan ini berbondong-bondong memenuhi masjid, sebagaiman di contohkan oleh Rasulullah SAW untuk melakukan I’tikaf. Dan kemudian juga dilanjutkan qiyamul lail disepertiga malam terkahir.

Fenomena yang terjadi di umat beberapa decade terakhir ini, akan memenuhi masjid disetiap malam-malam ganjil di kahir ramadhan. Biasanya puncaknya, setiap malam 27 ramadhan. Maka masjid-masjid akan dipenuhi jama’ah untuk ber I’tikaf dan melakukan qiyamul lail. Di beberapa masjid, rerata imamnya adalah para huffadz. Dan untuk 8 rekaat, dibacakan 1 juz, di tambah 3 rekaat witir. Di rekaat akhir witir, selalu membaca do’a qunut, dan biasanya menggores para jama’ah hingga menangis bersama.

Mengapa selalu berburu lalilatul qadar di sepertiga malam terakhir? Karena mereka berpegang pada hadits-hadits berikut , saya kutip dari Rumasyo:

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)

Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”  (HR. Bukhari)

 Dari deretan hadits tersebut di atas, maka kesimpulannya adalah malam lailatul qadr terjadi di sepuluh malam terakhir bulan ramadhan dan itu terjadi di malam-malam ganjil. Oleh karena itu mari, berburu lailatul qadr, semoga kita semua dapat mendapatkannya, sehingga mampu mendapatkan kebaikan yang senilai 1.000 bulan. Wallahu a’lam

Islam, Kronik, Peradaban

I’tikaf Produktif


Hari ini, Kita telah berada di ujung ramadhan tahun ini. Artinya duapertiga Ramadhan hampir kita lewati. In Syaa Allah, besok kita mulai memasuki sepuluh hari terakhir (al-‘asyr al-awakhir) . Dimana, dalam banyak hadits disebutkan bahwa, Rasulullah SAW beserta keluarganya, yang sudah barang tentu diikui oleh para sahabat dan umat Islam saat itu, memparbanyak ibadah dan berdiam diri di Masjid. Belaiau melakukan I’tikaf.  Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha berikut

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ  )رواه البخاري، رقم 2026 ومسلم، )1172)

“Biasanya (Nabi sallallahu’alaihi wa sallam) beri’tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan sampai Allah wafatkan. Kemudian istri-istrinya beri’tikaf setelah itu.” (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172)

Secara terminologi, I’tikaf didefinisikan sebagai berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu. Dan sepeninggal RasuluLlah SAW, I’tikaf ini menjadi ibadah yang menjadi kebiasaan bagi istri-istri rasulullah, yang dikuti para sahabat, tabi’in, tabiut tabi,in ulama’ salaf hingga khalaf.

Dan alhamdulillah, dalam konteks kekinian sunnah i’tikaf ini hidup Kembali. Bahkan i’tikaf menjadi sebauh Ibadah yang beberapa dekade ini menjadi trends, bagi umat Islam. Justru hal ini banyak diminati oleh generasi milenial dan kelas menengah terutama di perkotaan. Mereka adalah “santri” , yang menjalani laku nyunnah di masa kini.

I’tikaf tahun ini, nampaknya hampir sama dengan tahun lalu. Masih dalam suasana pandemi. Bahkan jumlah kasus harian, baik yang terinfeksi, sembuh dan meninggal, secara jumlah lebih banyak dari tahun lalu. Apalagi jumlah komulatifnya. Disamping itu, tahun ini juga ada kebijakan yang ketat  terkait dengan larangan mudik. Biasanya, 10 hari menjelang Idul Fitri seperti saat ini, arus mudik sudah mulai terasa, dan nanti ujungnya sehari menjelang lebaran.

Namun, tahun ini fenomena itu akan berubah. Perketatan larangan mudik H-7 dan H +7 lebaran, nampaknya bakal dipatuhi. Meski sebagaimana saya tulis sebelumnya, selalu saja ada cara dan akal-akalan dari pemudi untuk mengelabuhi petugas. Meski sudah dihadang, biasanya tetap saja bisa lolos. Karena bagi sebagaian besar rakyat, yang namanya mudik adalah ritual tahunan, yang tidak bisa ditinggalkan. Ia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari puasa dan lebaran itu sendiri. Sehingga berbagai cara akan ditempuh, untuk mudik. Sebab banyak relasi sosial yang terjalin saat mudik.

Kendatipun demikian, beberapa hari ini sudah banyak masjid yang telah membuka pendaftaran untuk melakukan i’tikaf tahun ini. Dengan beberapa persyaratan yang terutama terkait dengan protokol kesehatan. Jika jumlah orang yang ber’itikaf atau mu’takif (معتكف) tidak dibatasi, maka bisa jadi masjid akan penuh dengan mu’takif. Sebab mereka tidak bisa kemana-mana, karena berbagai larangan pembatasa bepergiatan tersebut. Sehingga bisa jadi tumpah ruah I’tikaf di Masjid. Maka benar adanya, jika ta’mir masjid dan DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) membatasi juumlah orang yang beri’tikaf.

Sehingga selain, tata cara I’tikaf yang sudah di atur dalam fiqh I’tikaf, maka paling tidak beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : 1) takmir masjid menyediakan peralatan yang mendukung protokol Kesehatan, 2) hanya peserta yang sehat yang bisa mengikuti I’tikaf, yang jika perlu menunjukkan hasil rapid antigen (minimal), 3) semua peserta wajib melaksanakan protokol kesehatan, 4) ada petugas ta’mir yang menjaga terlaksananya ini, 5) Jika memungkinkan berkoordinas dengan satgas covid setempat, sehingga jika ada kejadian tertentu bisa segera dieskalasi.

Lalu bagaimana agar I’tikaf kita bisa produktif ? Saya melihat bahwa i’tikaf ini akan produktif jika dan hanya jika para mu’takif saat melakukan i’tikaf bukan hanya untuk kepuasan ritualitas diri sendiri saja. Akan tetapi memang diniatkan untuk melakuka perubahan besar, baik untuk dirinya sendiri yang kemudian akan memberikan resonansi bagi perubahan masyarakat dalam rangka tegaknya Peradaban Islam. Jika kesadaran seperti ini tumbuh dan membersamai dalam pelaksanaan i’tikaf, maka dia akan proiduktif. Dan perubahan besar itu, In Syaa Allah akan terjadi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam beri’tikaf, sehingga i’tikaf bisa produktif dalam tataran pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

  • I’tikaf itu ibadah yang ada syarat dan rukunnya, sehingga wajib melaksanakan itu.
  • I’tikaf bukan berarti pindah tidur dari rumah ke Masjid
  • Hal utama yang dilakukan dalam I’tikaf adalah memperbayak ibadah (sholat, baca qur’an dan sedekah)
  • Tidak dilarang untuk membawa buku-buku atau kitab-kitab yang dipergunakan untuk menambah wawasan, ketika “capek” baca qur’an
  • Jika membawa gadget atau laptop, bukan untuk membuang waktu dengan kegiatan yang tidak perlu, akan tetapi dipergunakan untuk mendukung iabadah I’tikaf (membaca dan menulis)
  • Jangan banyak berbicara dan mengobrol yang tidak berguna dengan sesama peserta I’tikaf
  • Jika ada kajian yang dilaksanakan oleh takmir Masjid, sebaiknya diikuti dengan seksama
  • Manajemen waktu yang baik, selain untuk menjaga Kesehatan juga akan memandu tertib dan nyamannya dalam beribadah
  • Buat target apa yang akan dicapai selama I’tikaf
  • dlsb

Catatan tersebut di atas, merupakan sebagian pengalaman dari penulis, dan In Syaa Allah juga akan diterapkan dalam I’tikaf tahun ini. Tetapi, saya juga menghargai pilihan dari beberapa kawan yang tidak melakukan i’tikaf, justru karena alasan untuk menjaga protokol kesehatan. Atau mungkin karena ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, sekali lagi panduan ringkas ini adalah best practice, dan juga memperhatikan realitas kekinian. Selamat beri’tikaf.

Pertanyaannya, Anda I’tikaf dimana?

Entrepreneurship, Islam, Kronik

I’tikaf Dengan Protokol Ketat


Hari-hari ini adalah 10 hari terakhir bulan Ramadhan (asyrul awakhir). Biasanya, saatnya Masjid dipenuhi dengan kaum muslimin yang  i’tikaf. Sebuah ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.  Dimana, Beliau setiap 10 hari terkahir di bulan ramadhan, lebih banyak mengikatkan dirinya di masjid. Melakukan i’tikaf. Artinya, berdiam diri dengan memperbanyak ibadah kepada sang Khaliq.

Dalam konteks saat ini, ditengah masih belum beujungnya wabah covid-19, merupakan salah satu bentuk isolasi mandiri yang efektif dan produktif. Karena orang masih tetap bisa menjalankan ibadah dengan baik, daripada di rumah saja. Tentu saja dengan mengikuti protokol kesehatan yang super ketat.  Sebab jika tidak, seandainya ada peserta di Masjid itu yang terindikasi COVID-19, maka buliyyan terhadap umat Islam sebagai cluster baru, bakal meramaikan seluruh media. Apalagi di medsos.

Sehingga aturannya, sebelum ikut i’tikaf, semua peserta wajib di cek dulu kesehatannya. Jika dinyatakan sehat, boleh ikut. Jika tidak fit, apalagi ODP dan PDP, atau beberapa waktu sebelumnya berada/berkunjung di zona merah, by default, dilarang gabung. Bahkan, jika memungkinkan Continue reading “I’tikaf Dengan Protokol Ketat”