
Saat ini, kejadian apapun juga, akan melahirkan pengamat dan ahli baru. Di mana sebenarnya secara akademis dan jejak digitalnya, orang tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan yang linear untuk itu. Namun, seolah dia yang paling tahu segalanya : Politik, Ekonomi, Sosial, Agama, dlsb . Dan anehnya, memang setiap kejadian dengan berlainan topik, bisa dengan cepat meresponnya. Hal yang terbaru adalah ketidaksamaan penetapan 1 Dzulhijjah 1443 H, yang berimbas pada pelaksanaan Sholat Idul Adha.
Sebenarnya hal itu (orang memiliki banyak ilmu), dulu menjadi sesuatu yang biasa dan wajar, bahkan melekat langsung pada seorang berilmu. Namun kemudian berubah setelah keilmuan dibagi menjadi lebih dispesifikasikan dalam berbagai batasan yang kaku, dan mengerangkengnya. Dan semakin kesini, semakin lebih spesifik lagi. Sekularisasi keilmuan menjadi penyebabnya.
Mengapa demikian? Sebab, sebagaimana dalam berbagai referensi, maka banyak sarjana Muslim di abad pertengahan, memerankan peranan ini. Ketika Barat menamakan dirinya dalam Dark Age, maka ilmuwan Islam berada dalam era Golden Age. Para sarjana Muslim itu, menemukan dan merumuskan serta mempraktekkan berbagai jenis keilmuan. Pada saat yang sama, seolah mereka menjadi eksiklopedi berjalan, dengan berbagai multidisiplin keilmuannya itu. Hal ini, apa yang kemudian oleh Barat di sebut sebagai polymath (polimatik). Yaitu seseorang yang pengetahuannya tidak terbatas hanya pada satu bidang keilmuan.
Seorang polimatik juga dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki wawasan sangat luas. Kebanyakan ilmuwan kuno adalah seorang polimatik. Sejak jaman Plato, Aristoteles, Archimedes dan seterusnya. Demikioan juga para sarjana Muslim : al Jazari, Al Khawarizmi, Ibn Bajjah, Ibnu Khaldun, dlsb di abad pertengahan. Kemudian dilanjutkan Barat pasca renaissance oleh Gottfried Wilhelm Leibniz, Leonardo Davinci dlsb. Bedanya dengan polymath muslim adalah, Ilmuwan muslim rata-rata mereka memiliki basic keilmuan yang sama yaitu al-Qur’an dan fiqh.
The Death of Expertise
Fenomena di atas, ketika terjadi saat ini dipicu oleh kemajuan teknologi dan meningkatnya tingkat pendidikan telah mengekspos orang pada lebih banyak informasi daripada sebelumnya. Keuntungan sosial ini, bagaimanapun, juga telah membantu memicu lonjakan egalitarianisme intelektual narsistik dan sesat yang telah melumpuhkan perdebatan yang terinformasi tentang sejumlah masalah.

Saat ini, semua orang menjadi mudah untuk tahu segalanya: hanya dengan perjalanan singkat melalui Web atau Wikipedia dan media sosial. Sehingga rata-rata setiap warga negara percaya diri mereka berada pada pijakan intelektual yang sama dengan doktor dan pakar keilmuan lainnya. Semua suara, bahkan yang paling konyol sekalipun, menuntut untuk diambil dengan keseriusan yang sama, dan klaim apa pun yang bertentangan dianggap sebagai elitisme yang tidak demokratis. Semua seolah tidak ada yang tersebunyi, semua kerumitan bisa diketahui, dalam waktu yang cepat. Serba instan.
Realitas ini menurut Tom Nichols ditulis dalam bukunya yang bertajuk The Death of Expertise (kematian kepakaran/ahli). Bukunya terbit tahun 2017, tetapi masih relevan hingga kini. Disitu Nichols mengutuk apa yang dia gambarkan sebagai banyak kekuatan yang mencoba merusak otoritas para ahli, terutama dalam hal ini terjadi di Amerika Serikat. Dia menyalahkan tren dalam pendidikan tinggi (seperti fokus pada harga diri dan toleransi narsisme yang mengarah pada inflasi kelas dan kepercayaan diri yang berlebihan pada kemampuan sendiri), internet, dan ledakan pilihan media online, dan media sosial untuk sentimen anti-keahlian dan anti-intelektual yang dia lihat sedang meningkat.
Sementara mengakui bahwa keberadaan para ahli terkadang gagal, dia mengatakan jawaban terbaik untuk ini adalah kehadiran ahli lain yang mengoreksi diri sendiri untuk mengenali dan memperbaiki kegagalan sistemik. Nichols juga menunjukkan bagaimana penolakan terhadap para ahli ini telah terjadi: keterbukaan internet, munculnya model kepuasan pelanggan di pendidikan tinggi, dan transformasi industri berita menjadi mesin hiburan 24 jam, di antara alasan lainnya.
Paradoksnya, penyebaran informasi yang semakin demokratis, alih-alih menghasilkan publik yang terdidik, malah menciptakan pasukan warga negara yang kurang informasi dan marah yang mengecam pencapaian intelektual. Ketika warga negara biasa percaya bahwa tidak ada yang tahu lebih banyak daripada orang lain, lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri berada dalam bahaya jatuh baik ke populisme atau ke teknokrasi atau, dalam kasus terburuk, kombinasi keduanya.
Jalan Keluar
Gugatan Nichols dengan berbagai fakta ini, sesungguhnya ingin mengembalikan peran ahli pada tempatnya. Sesuatu yang susah, ketika informasi dengan mudah utuk di akses. Dia hanya bisa di level akademis. Akan tetapi, untuk level kehidupan yang sesungguhnya, nampaknya tidak semudah itu. Bahkan kecenderungan menjadi generalis itu menjadi sebuah trend.
Akan tetapi problemnya adalah jika kita temui mereka yang asal comot, asal kutip asal jiplak, dan lain sebagainya kemudian men-share ke berbagai media dan seterusnya. Sementara tanpa memiliki basic keilmuan yang memadai, dan selalu merespons setiap peristiwa dan kejadian secara membabi buta, maka yang terjadi adalah pembunuhan pakar secara masif. Bahkan pameran kedunguan yang nyata. Lebih parah lagi kemudian melecehkan eksistensi para pakar di berbagai keilmuan yang ada.
Demikian juga ini sebagai peringatan bagi para pakar yang ada, agar tidak jumawa dengan kepakarannya. Untuk kemudian down to earth, melihat realitas di lapangan dan fenomena pekembangan teknologi yang ada. Namun Nichols juga mengingatkan,“Ini adalah masa-masa berbahaya. Tidak pernah begitu banyak orang memiliki akses ke begitu banyak pengetahuan, namun begitu tahan untuk mempelajari apa pun.”
Hal ini, sesungguhnya menjadi tantangan juga bagi para Ulama’ sekaligus peluang bagi umat Islam untuk kembali menerapkan pola sebagaimana ilmuwan muslim menguasai dunia saat itu. Yaitu dengan memiliki basic al-Qur’an dan Fiqh yang memadai. Kemudian darinya menjadi pijakan untuk menemukan dan mengembangkan keilmuan yang tiada batas itu. Sebab sesungguhnya semua ilmu itu adalah milik Allah ta’ala. Dan ini merupakan prototype Ulama’ masa depan.
Maka barangsiapa yang menerapkan petunjuk Allah (al-Qur’an dan As-sunnah), maka dia akan menguasai berbagai disiplin ilmu dan berarti akan menguasai dunia. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah (2) ayat 269 :
يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
Artinya: Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (berilmu) yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). Wallahu a’lam.