
Dunia terus berputar. Dia tidak stagnan. Silih bergantinya peradaban dan peristiwa, menandai bahwa ada kehidupan. Setiap tahapan memiliki karakteristik masing-masing. Perubahan yang terjadi baik bersumber dari internal maupun pengaruh eksternal, memaksa siapapun juga untuk mensiasati perubahan itu. Dituntut untuk adaptif. Bukan hanya mengikuti ataupun ikut-ikutan, apatah lagi larut dalam perubahan. Tetapi bagaimana, berselancar diatas perubahan. Sehingga dengan sadar bisa berhitung manfaat dan mudharatnya. Jika tidak, maka justru kita yang bakal tergilas dan digulung oleh arus perubahan itu sendiri.
Pandemi yang telah memasuki tahun ke-3 ini, juga telah mendeterminasi perubahan peradaban. Pun demikian dengan dorongan revolusi teknologi yang demikian cepat dan masif. Digitalisasi menjadi sebuah keniscayaan. Hampir disetiap aspek kehidupan, saat ini terhubung dengan teknologi. Ketika pandemi bersenyawa dengan digitalisasi ini, maka terjadi akselerasi perubahan yang luar biasa. Model kerja digital nomad, work from home, work from anywhere, dan seterusnya juga menjadi life style. Dan lagi-lagi menemukan momentumnya saat pandemi dan dukungan digitalisasi ini.
Selanjutnya, pelan atau pasti merubah tatanan kehidupan. Etika, adab, sopan santun menjadi barang mahal, jika tidak dikatakan langka. Digitalisasi dengan beberapa turunannya diantaranya adalah melahirkan media sosial. Dimana keberadaannya seolah memfasilitasi sekaligus memberi wadah yang besar bagi berkumpulnya energi positif dan negatif, yang saling berhadpan secara diametral, bahkan asimetris. Terjadi perang narasi berupa narasi, bahkan tidak jarang dibumbui dengan hoax, fitnah, hate speech dan seterusnya. Kini menjadi hidangan yang tampil di linimasa hampir setiap orang.
Realitas di atas merupakan apa yang disebut turbulensi. Dimana turbulence (turbulensi) secara bahasa berarti gerak bergolak tidak teratur yang merupakan ciri gerak zat alir. Secara umum Turbulensi didefiniskan sebagai gerakan tidak beraturan atau berputar tidak beraturan akibat perbedaan tekanan udara atau perbedaan temperatur udara. Hal ini sering kita alami saat naik pesawat, pada ketinggian 33.000 kaki, tiba-tiba terjadi goncangan, pesawat bergetar, seperti berjalan di atas batu. Kemudian terdengar announcement dari pramugari dan kadang-kadang pilot, kira-kira begini “Kita sedang memasuki cuaca yang tidak baik. Silakan Anda kembali ke tempat duduk masing-maning dengan segera dan kenakan kembali sabuk pengaman Anda.”.
Ketika hal itu terjadi, maka semua penumpang akan taat. Mereka merapikan tempat duduknya, memasang kembali sabuk pengaman, dan tenang dan kebanyakan berdo’a. Meskipun tetap saja ada yang panik, tetapi tetap terkendali. Mengapa demikian, karena pramugari dan juga pilot juga terus memberikan arahan dan panduan. Coba bayangkan ketika terjadi goncangan sebagaimana tersebut, kemudian para penumpang tidak taat dengan petunjuk yang diberikan oleh pramugari/pilot. Lalu mereka mengambil inisiatif sendiri-sendiri, sesuai dengan pikiran dan keinginannya. Atau ada yang tidak taat dan menyelisihi aturan yang ada, bahkan mungkin yang berada di pintu darurat, sampai ada yang membuka pintu darurat misalnya. Padahal aturan membuka pintu darurat sudah dijelaskan sebelum pesawat take off, dan buku petunjuknya bisa dibaca. Maka pasti akan fatal akibatnya. Bisa jadi satu pesawat itu tidak ada yang selamat, artinya semuanya bakal berkeping.
Dalam kehidupan sehari-hari baik secara individu, dalam keluarga, di organisasi, di perusahaana, bernegara dan seterusnya, turbulensi ini sering terjadi. Dengan dan atau tanpa kita sadari. Menyikapi secara proporsional sebagaimana yang digambarkan di atas, merupakan cara untuk selamat dari turbulensi itu sendiri.
Menurut bapak manajemen modern Peter F Drucker, dia memberikan rumusan berkenaan dengan hal yang paling berbahaya dalam menghadapi Turbulensi. Ternyata yang berbahaya tersebut, bukan soal turbulensinya itu sendiri. Akan tetapi bagaimana kita melakukan respon terhadap sebuah Turbulensi dengan cara – cara yang lama, pola pikir yang lama, dan tindakan – tindakan yang lama, yang sangat jauh dari efektif dalam menghadapi tatanan baru. Tanpa kemampuan dan kemauan untuk beradaptasi mengikuti irama perubahan tentu akan membuat kita jatuh tersungkur pada jurang yang curam dengan tubuh yang penuh luka sehingga merasakan betul pedih dan perihnya kesulitan.
Dengan demikian maka, turbulensi itu sesungguhnya justru akan membawa ke-kenormalan baru. Atau dengan kata lain, ada keseimbangan baru yang bakal terjadi. Dengan catatan sebagaimana apa yang dipesankan oleh Peter F Drucker tersebut di atas.
Sebagai seorang Muslim, kita telah memiliki panduan, sebagaimana yang tertuang dalam dalam surat Al-Insyirah ayat 5-6.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Dengan demikian maka, setiap kesulitan (turbulensi), pasti ada kemudahan setelahnya, bahkan bisa jadi bersamaan. Itulah jaminan Allah ta’ala untuk Rasul-Nya Muhammad ﷺ dan untuk ummatnya, agar setiap hamba tidak putus asa dengan pertolongan Allah, sekalipun coabaan yang ia hadapi begitu berat kesabaran dan ketabahan harus ia hadirkan dalam dirinya, dan yakin bahwa kemudahan akan datang dari pertolongan Allah. Wallahu a’lam.