
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Hujarat ayat 12 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”.
Profesor Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya HAMKA, dalam Tafsir Al-Azharnya, menafsirkan dengan sangat indah. Saya kutip lengkap disini.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka.”
Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata rahmat yang tidak pada tempatnya saja.
“Karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa.”
Prasangka adalah dosa karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahim di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanalah perasaan yang tidak mencuri lalu disangka orang bahwa dia mencuri, sehingga sikap kelakuan orang telah berlainan saja kepada dirinya.
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”
Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulan di muka umum. Sebagaimana kebiasaan yang terpakai dalam kalangan kaum komunis sendiri apabila mereka dapat merebut kekusaan pada satu negara. Segala orang yang terkemuka dalam negara itu dikumpulkan”sejarah hidupnya”, baiknya dan buruknya, kesalahannya yang telah lama berlalu dan yang baru, jasanya dalam negeri dan perlawatannya ke mana saja. Sampai juga kepada segala kesukaannya, baik kesukaan yang terpuji ataupun yang tercela. Maka orang yang dianggap perlu untuk dipakai bagi kepentingan negara, segeralah dia dipakai dengan berdasar kepada “sejarah hidup” itu. Tetapi kalau datang masanya dia hendak didepak dan dihancurkan, akan tampillah ke muka orang-orang yang diperintahkan buat itu, lalu mencaci maki orang itu dengan membuka segala cacat dan kebobrokan yang bertemu dalam sejarah yang telah dikumpulkan itu.
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
Menggunjing ialah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Hal ini kerap kali sebagai mata rantai dan kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia kebusukan seseorang ketika seseorang itu tidak ada. Tiba-tiba saja, dia pun datang maka pembicaraan pun terhenti dengan sendirinya, lalu bertukar sama sekali dengan memuji-muji menyanjung menjunjung tinggi. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat dikatakan,
“Apakah suka seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?”
Artinya, bahwasanya membicarakan keburukan seseorang ketika dia tidak hadir, samalah artinya dengan memakan daging manusia yang telah mati, tegasnya makan bangkai yang busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggung jawab, mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terus terang apa kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik?
“Maka jijiklah kamu kepadanya.”
Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau jijik. Maka membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah artinya dengan memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu, tentu engkau percaya apa yang difirmankan Allah. Sebab itu tentu engkau pun akan merasa jijik pula berbuat perangai yang hina yang pengecut itu.
“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah penerima tobat, lagi Maha Penyayang.”
Artinya, jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertobatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan bertobat. Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.
Tafsir Al Qurtubi tentang Ghibah
Sedangkan Imam Qurthubi dalam tafsirnya lebih menyoroti terhadap ghibah. Beliau menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan”, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Peringatan Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat Anda, jika itu memang benar ada padanya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar berarti engkau telah berdusta di atasnya.” (HR. Muslim).
Balasan bagi orang yang melakukan ghibah juga dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW berikut ini ini:”Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Aku bertanya:”Siapakah mereka wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (mengghibah) dan mereka menginjak-injak kehormatan manusia.”(Hadis Shahih Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4879).
Begitulah Allah ta’ala dan Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk dan membimbing hambanya untuk tidak melakukan perbuatan tercela tersebut. Perbuatan yang menjijikkan. Ghibah tidak hanya dilakukan dengan pembicaraan lisan saat berbicara dengan seseorang, sekelompok orang, atau dalam majlis tertentu. Akan tetapi, ghibah juga dilakukan melalui jemari kita dalam bentuk tulisan di website serta media sosial seperti : youtube, whatsapp, facebook, telegram, twitter, instagram, dan lain sebagainya.
Dengan demikian maka, Kita semua, kapanpun dan dimanapun dengan perkembangan teknologi, sangat berpotensi terjerumus dalam ghibah ini. Jadi mari kita saling menjaga diri sebagaimana sebagaimana hadits dari Asma’ binti Yazid dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa menahan diri dari memakan daging saudaranya dalam Ghibah, maka menjadi kewajiban Allah untuk membebaskannya dari api neraka.” HR. Ahmad Hadits No 26327. Wallahu a’lam.