ekonomi, Entrepreneurship, Ramadhan

Mudiknomics : Ekonomi Silaturrahim


source : portonews

Tradisi mudik tahun ini, kembali meriah lagi. Setelah dua tahun, terkendala oleh pandemi. Mesti masih harus terus menerapkan protokol kesehatan di berbagai tempat, akan tetapi tidak seketat tahun-tahun sebelumnya. Lebih longgar. Kendatipun masih kita jumpai, mayarakat yang terkesan abai, tetapi sekali lagi harus tetap waspada. Jangan sampai lengah, bisa fatal akibatnya.

Mudik berasal dari kata “udik”, artinya orang kampung atau orang Udik. Jadi mudik adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rantauan dikota-kota yang dalam waktu tertentu bahkan dikarenakan sudah lama tidak pulang, untuk balik ke kampung. Sehingga mudik identik dengan kegiatan pulang ke kampung halamannya dengan berbagai moda transportasi baik kendaraan pribadi maupun umum. Mudik seringkali terkait dengan hari besar keagamaan terutama hari raya Idul Fitri atau cuti tahunan untuk silaturahim pada keluarga besarnya yang ada dikampung.

Pada perkembangan selanjutnya, mudik tidak hanya terkait dengan kegiatan silaturrahim ke kampung yang awalnya kental dengan muatan religius tersebut. Akan tetapi  sudah bercampur dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya,  dan bahkan politik. Hal lain, mudik seringkali juga dikaitkan dengan reuni, bahkan tidak sedikit sebagai ajang untuk menunjukkan kelas sosial si pemudik, sebagai hasil dari perantauannya. Apakah terkait dengan kekayaan, pendidikan, jabatan dan lain sebagainya. Dari sinilah sebenarnya, kegiatan mudik itu sendiri secara langsung atau tidak langsung berdampak kepada aktifitas ekonomi. Sehingga diistilahkan sebagai mudiknomics.

Secara sederhana mudiknomis didefinisikan sebagai kegiatan yang memiliki potensi ekonomi yang signifikan terkait dengan kegiatan mudik dan sesudahnya. Dimana pada saat mudik ini terjadi transformasi ekonomi, dari kota ke daerah-daerah.  Baik melalui transaksi sosial semisal zakat, infaq, shadaq dan wakaf yang sifatnya karitatif, maupun hal-hal yang bersifat konsumtif.

Sehingga akan terjadi trickle down effect dari aktivitas ekonomi dan perputaran uang yang selama ini ada di Jakarta, akan masuk ke daerah. Selanjutnya diharapkan dengan mengalirkannya uang (kapital) ke daerah, selanjutnya akan terjadi pemerataan pendapatan yang berakibat kepada distribusi  kesejahteraan (wealth distribution). Hal ini akan berdampak kepada meningkatkan dan menggeliatkan ekonomi di daerah-daerah.

Selain itu melalui proses transaksi ekonomi yang terjadi, juga tidak sedikit yang mendorong terjadinya investasi di daerah, dengan berbagai sekala ekonomi. Dan ternyata, dari tahun ke tahun mudiknomics ini selalu meningkat secara signifikan, sehingga semestinya tidak bisa dibiarkan begitu saja, akan tetapi mesti di rekayasa sedemikian rupa sehingga, bisa menjadi pengungkit ekonomi umat itu sendiri. Karena multiplier effect-nya sangat besar.

Potensi Ekonomi Mudik

Ada banyak analisa terkait potensi ekonomi mudik lebaran tahun ini. Dalam laporan CNN, para ekonom memproyeksi perputaran uang dari aktivitas mudik pada periode Lebaran 2022 tembus Rp8.000 triliun. Angkanya tercatat tumbuh 4,26 persen dibanding perputaran uang pada bulan-bulan biasanya, yakni Rp7.672,4 triliun berdasarkan data Bank Indonesia (BI).

Sementara itu, menurut Menko Perekonomian, mudik tahun ini berdasarkan data dari Komisi V dan Kementerian Perhubungan, jumlah masyarakat yang mudik diperkirakan sekitar 85,5 juta. Jika diasumsikan masing-masing minimal spending 1,5 juta saja, maka ekonomi mudiknya sebesar Rp 175 triliun. Dan ekonomi mudik ini naik dibandingkan tahun yang lalu sekitar 15-20 persen.

Sedangkan Ekonom Indef Tauhid Ahmad memperkirakan uang berputar selama libur Lebaran, di atas Rp200 triliun atau lebih besar dari pra-pandemi pada 2019 lalu, yaitu Rp185 triliun. Demikian halnya dengan Kemenparekraf, jauh-jauh hari sudah memprediksi bahwa saat mudik, di sektor pariwisata potensi ekonominya sebesar 70 triliun rupiah.

Gambaran di atas, sesungguhnya menunjukkan besarnya potensi ekonomi mudik yang sangat besar. Sekali lagi, hal ini tidak bisa hanya dipandang sebagai rutinitas bulanan semata. Pertanyaanya adalah sudahkan aliran dana yang dimaksud “membasahi” umat muslim yang memang pemilik dari hari raya Idul Fitri yang berdampak kepada mudik itu?. Tentu ini bukan pertanyaan yang mudah di jawab.

Sektor Pendukung Utama

  1. Sandang, setelah dua tahun ramadhan dan lebaran dalam suasana pandemi, kini memasuki suasana yang relatif normal. Sehingga kebutuhan sandang juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) memprediksikan pada bulan ramadan hingga lebaran sektor ritel akan mengalami kenaikan tingkat kunjungan 15%-20% dibandingkan hari-hari biasa. Berkaca dari aktivitas ramadan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi mengalami lonjakan hingga 7,07 % dan itu tidak pernah terjadi selama masa pandemi. Dimana secara keseluruhan, berdasarkan laporan global islamic economi index, Posisi pasar fesyen muslim Indonesia saat ini masih di bawah Iran dengan total nilai industri yang mencapai US$53 miliar (Rp758 triliun). Tantangan yang harus di jawab adalah, siapakah produsen dari sektor sandang termasuk busana muslim ini?
  1. Pangan, seperti biasa harga sembako dan bahan pangan lainnya cenderung naik di Ramadan-Lebaran. Akan tetapi animo konsumsi saat mudik tidak dapat dicegah. Pun, meski stok pangan ditambah, inflasi sektor pangan tetap terjadi, karena ini merupakan kebutuhan pokok. Berdasarkan prognosa neraca pangan Januari-Mei 2022 milik Bapanas, stok beras diproyeksikan surplus mencapai 8,75 juta ton, jagung surplus 3,18 juta ton, kedelai surplus 142.307 ton, bawang merah surplus 92.435 ton, bawang putih surplus 104,966 ton, cabai besar surplus 27.957 ton.  Selanjutnya, stok surplus juga terdapat pada komoditas cabai rawit mencapai 40.484 ton, daging sapi sebesar 31.153 ton, daging ayam ras sebesar 357.770 ton, dan telur ayam ras sebesar 98.576 ton.PR besarnya adalah, dari semua potensi pangan tersebut, berapa yang kaum muslimnya sebagai subyek (pelaku utama/produsen/pedagang), bukan sekedar obyek (pembeli/konsumen).
  1. Lembaga Keuangan, perputaran keuangan yang sedemikian besar selama ramadhan dan lebaran, ternyata tidak diikuti dengan penggunaan lembaga keuangan syariah. Sebab hingga tahun 2021, market share (pangsa pasar) keuangan syariah secara akumulatif sebesar 10,16%, terdiri dari : perbankan syariah 6,52%; industri keuangan non-bank syariah 4,26%; pasar modal syariah 32,56 % yang meliputi : sukuk negara 18,52%, reksa dana syariah 7,07%, dan sukuk korporasi 7,55%. Dengan total kapitalisasi sebesar 2.000 triliun rupiah. Artinya, jika disederhanakan, perputaran uang yang ada selama ramadhan dan mudik ini, paling besar adalah 10,61 persen itu. Artinya penikmat dari kue besar mudiknomics ini, masih bukan kaum muslimin itu sendiri.
  1. Transportasi, sektor ini salah satu aspek utama dalam melihat perputaran uang selama mudik. Semua moda transportasi publik melalui darat, laut dan udara, serta dengan menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor sangat ramai. Ditambah lagi adanya mudik gratis dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta, juga semakin menambah kepadatan arus mudik ini. Dari survey Kementerian Perhubungan didapatkan hasil bahwa akan ada 23 juta mobil dan 17 juta sepeda motor yang akan digunakan oleh para pemudik. Pertanyaanya berapa besar konsumsi BBM, oli, serta onderdil lainnya, tentu nilainya fantastis. Belum lagi jika terjadi kerusakan dan membutuhkan bengkel dlsb. Nah pertanyaannya, siapa penyedia angkutan umum ini?
  2. Pariwisata, sebagaimana keterangan dari kementrian pariwisata dan industri kreatif, bahwa potensi ekonomi saat mudik lebaran ini mencapai 72 triliun rupiah. Proyeksi tersebut didasarkan pada hasil survei pemerintah yang memprediksi jumlah pemudik di tahun ini mencapai 80 juta orang. Dari angka tersebut, Menparekraf Sandiaga memperkirakan 40 persen di antaranya akan berkunjung ke destinasi-destinasi wisata atau sentra ekonomi kreatif. Jika rata-rata pengeluaran wisatawan sebesar Rp 1,5 juta, maka potensi pergerakan ekonomi di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif bisa mencapai Rp 72 triliun secara nasional. Disamping itu termasukknjungan ke desa wisata untuk kuliner dan membeli kerajinan serta industri kreatif. Sehingga perlu ditingkatkan peran pengusaha muslim dan UMKM di sektor ini. Sebab destinasi wisata modern sudah dikuasai oleh para pengusaha besar.
  3. Digitalisasi, dengan jangkauan jaringan telekomunikasi hingga ke daerah-daerah, maka transaksi dalam bentuk digital juga memiliki potensi yang sangat besar. Termasuk terkait dengan transaksi keuangan maupun e-commerce. Salah satu contohnya adalah terlihat dari transaksi QRIS yang mencapai Rp 4,5 triliun dari 54,6 juta transaksi per Februari 2022, dan selama ramadhan serta mudik diperkirakan akan meningkat 3 kali lipat.

Dengan melihat realitas di atas maka, sekali lagi mudik dengan seluruh turunannya memiliki dimensi ekonomi yang cukup besar. Dimana selaing mendorong terjadinya distribusi pendapatan, juga aakan mengungkit ekonomi umat, yang pada gilirannya menaikkan kesejahteraan rakyat itu sendiri.

Jika tahun ini, umat Islam masih belum memanfaatkan secara optimal, dan masih banyak sebagai konsumen, maka diperlukan perencanaan stratejik untuk tahun-tahun mendatang. Sehingga kue ekonomi ini juga dikuasai sepenuhnya untuk umat. Selanjutnya, pada gilirannya mudiknomics ini berarti ekonomi sillaturahim : dari umat, oleh umat dan untuk umat. Tidak mudah memang, tetapi harus segera dimulai. Wallahu a’lam

Asih SubagyoPeneliti Senior Hidayatullah Institute

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.