Ketika ingin memulai menulis lagi di blog, setelah beberapa saat vakum, ada seorang sahabat yang mengingatkan, kurang lebih begini,”sekarang eranya podcast mas, bukan era menulis lagi”. Sejenak saya lihat ada benarnya. Sebab saat ini, hampir setiap hari kita diundang untuk masuk ke tautan daring, baik melalui conference meeting maupun live Youtube, atau media sosial lainnya. Baik sebagai peserta, atau pembicara. Bahkan dalam satu hari dapat beberapa kali dan tidak jarang terjadi bersamaan. Apalagi saat Ramadhan seperti sekarang ini.400
Hadirnya podcast, seolah sebagai pemberontakan terhadap realitas sosial politik yang ada. Hal-hal yang tidak kita jumpai di media mainstream, seringkali kita jumpai di podcast tersebut. Berbagai permasalahan muthakir dan juga sejarah, di ulas secara lugas, detail dan mendalam, dari berbagai sudut pandang. Dan tidak main-main, host-nya juga bervariasi, dari kalangan rakyat biasa, artis, hingga tokoh-tokoh publik terkemuka. Semua memiliki kesempatan yang sama dan membuka channel itu. Sehingga peminatnya juga bervariasi, ada yang fakir viewers hingga yang jutaan viewersnya. Termasuk juga subscribe-nya. Tergantung dari content yang diusung, dan konsistensi dari host-nya.
Saya sebenarnya juga sempat tergiur untuk bikin podcast sendiri, sejak beberapa waktu lalu. Tetapi niat itu saya urungkan, dengan berbagai pertimbangan. Saya memilih, jalan “primitif”. Karena, terngiang quote dari Imam Ghazali,“Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.” Sebuah pesan singkat yang sangat mengena. Dikesempatan lain beliau juga menyampaikan,”Bodohlah Orang Yang Memburu Kijang Liar Di Hutan, Mendapatkan Tapi Tidak Mengikatnya. Begitulah Ilmu Bila Tidak Ditulis.”. Hal ini menegaskan atsar dari sahabat Ali bin Abi Thalib r.a,”Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya.”
Namun kegiatan menulis ini, sangat sedikit peminatnya. Padahal sekarang lebih mudah. Karena beberapa fasilitas tersedia dimana-mana. Setidaknya, media sosial dapat dipakai untuk menulis ini. Termasuk juga memanfaatkan blog seperti ini. Menulis itu sebenarnya tidak susah, meski pada sebagian orang juga tidak mudah. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Jika kita berfikir saat akan menulis dengan pertanyaan : ada yang membaca atau tidak, bagus atau tidak, menarik atau tidak, dlsb. Maka dapat dipastikan tidak jadi menulis. Tetapi jika kita paksakan apa saja yang ingin kita tuangkan, kita tuangkan saja, lama-lama akan terbiasa. Dan yakinlah setiap tulisan kita ada peminatnya. Minimal diri kita sendiri. Tentu berbeda halnya dengan penulisan ilmiah untuk masuk ke jurnal-jurnal yang ter-index scopus, dlsb. Meski harus kuat referensi dan sitasi.
Motivasi yang sering kita dapat adalah kegiatan untuk membaca. Hal ini dikaitkan dengan ayat pertama yang turun yaitu Iqra’ bismirabbika (bacalah atas nama Tuhanmu). Dalam banyak tafsir, perintah Iqra’ ini bukan hanya diartikan membaca begitu saja. Tetapi dalam konteks pembelajaran juga berarti menganalisa, mendalami, merenungkan,menyampaikan,meneliti dan lain sebagainya. Namun juga ada perintah untuk menulis (uktub). Tepatnya terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, sebagai ayat terpanjang dalam al-Qur’an itu, yang terkait dengan pencatatan hutang-piutang.
Sayangnya implementasi oleh umat saat ini, dalam hal memahami iqra’ sebagaimana definisi tersebut di atas, ternyata masih belum optimal. Berbeda dari pemahaman para sarjana Islam terdahulu di abad pertengahan, yang mampu mengembangkan dan implementasi iqra’ ini dengan sangat cemerlang. Sehingga penemuan-penemuan ilmiah yang unggul dan maju dijamannya. Karena mereka benar-benar membaca, menganalisa, mendalami, meneliti dan seterusnya. Bersebab keunggulannya itu, dan ketika itu Barat tertinggal jauh. Maka dalam terminologi Barat, mereka menjuluki dirinya sendiri dengan masa Dark Age.
Lalu apa kaitannya antara membaca dan menulis. Gordon Smith (politikus Inggris abad 18) menyampaikan “Membaca tanpa menulis, ibarat memiliki harta dibiarkan menumpuk tanpa dimanfaatkan. Menulis tanpa membaca, ibarat mengeduk air dari sumur kering. Tidak membaca dan juga tidak menulis, ibarat orang tak berharta jatuh ke dalam sumur penuh air”. Jadi keduanya memiliki keterkaitan, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian maka, aktivitas membaca dan menulis itu adalah kegiatan literasi itu sendiri. Sebuah aktifitas yang seharusnya melekat pada diri setiap muslim. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi Kita untuk tidak meningkatkan literasi umat dan literasi diri, sedini mungkin. Sebab inilah yang dilakukan oleh para sahabat, salafush shaleh, para ulama serta generasi terdahulu. Sehingga kesenjangan literasi, dapat segera diatasi. Selanjutnya akan bermuara kepada kejayaan umat masa lalu, bisa diimplementasikan saat ini.
Bagaimana Ulama Menulis?
Saya kutip dari sini, tentang bagaimana semangat para ulama terdahulu menulis. Padahal, mereka menulis dengan tangan dengan penerangan terbatas. Tidak pake laptop, tidak bisa copy-paste, dlsb. Diantaranya adalah :
- Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
- Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
- Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
- Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
Dan masih banyak lagi para ulama terdahulu yang menulis buku berjilid-jilid, dengan keterbatasan fasilitas. Demikian juga ulama’ tanah air seperti. Imam Nawawi al-Bantani, Syaih Mahfudz At-Termasi, Hadratussyaikh Hasyim As’ary dlsb. Dan yang kontemporer seperti Syaikh Wahbah Zuhalily, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, Syaikh Al-Bani, Syaikh Utsaimin, dlsb.
Sehingga, yakinlah bahwa menulis itu sesungguhnya bukan kegiatan elitis dan mewah yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Tetapi menulis itu hal biasa saja. Semua kita, bisa melakukannya. Termasuk Anda. Dan tulisan itu akan jadi legacy bagi kita, saat sang Khaliq sudah memanggil kita kelak. Ada kata mutiara yang dinisbatkan ke Sayidina Ali bin Abi Thalib, r.a,”Semua penulis akan mati, hanya karyanya yang abadi….”
Dalam sebuah penelitian oleh Yale University School of Public Health, bertajuk “A Chapter a Day: Association of Book Reading With Longevity”, menyebutkan bahwa, mereka yang rutin membaca buku minimal 30 menit sehari bisa bertahan 23 bulan lebih lama bila dibandingkan mereka yang tidak membaca buku.
Sehingga hal yang sama sebenarnya juga dapat dikaitkan dengan kegiatan menulis. Karena membaca dan menulis adalah ibarat dua sisi mata uang. Sehingga kalau mau panjang umur, menulislah! Minimal 30 menit. Dan ternyata untuk membuat tulisan singkat seperti ini juga membutuhkan waktu kurang labih 30 menit. Jadi apa lagi? Uktub bismirrabik!! (menulisla atas nama Tuhanmu). Wallahu a’lam.