Beberapa hari ini, lagi-lagi kita disibukkan untuk merespon penistaan agama yang dilakukan oleh seorang yang bernama Jozeph Paul Zhang. Dia mendadak viral di media sosial karena mengaku sebagai nabi ke-26. Hal itu dilakukan dalam forum diskusi via Zoom yang juga ditayangkan di akun YouTube pribadinya, yang bertajuk ‘Puasa Lalim Islam’.
Dalam forum yang liar dan brutal itu, jelas sekali banyak kata-katanya yang menista Islam. Juga di video-video lainnya. Dalam rekaman yang viral itu, diantaranya,” Tapi dari dulu saya kalau lagi bulan puasa itu adalah bulan-bulan paling tidak nyaman. Apalagi kalau deket-deket Idul Fitri. ‘Dung… dung… breng… dung… dung… breng… Sarimin pergi ke pasar… dung dung… breng… Allah bubar’. Wah itu tuh udah paling mengerikan. Itu horor banget,” katanya sangat menghina Allah dan syariat-Nya.
Tetapi JPZ ini emang bandel. Dengan jumawanya, dia menantang siapa saja untuk melaporkan ke aparat,” Gua kasih sayembara. Gua udah bikin video. Saya udah bikin video tantangan. Yang bisa laporin gua ke polisi gua kasih uang yang bisa laporin gua ke polisi penistaan agama, nih gua nih nabi ke-26, Jozeph Paul Zhang. Meluruskan kesesatan ajaran nabi ke-25 dan kecabulannya yang maha cabulullah,” imbuhnya.
Dia yang mengaku pendeta itu, setidaknya hal itu yang menjadi title di akun youtube-nya. Meskipun banyak pihak gereja yang kemudian menolaknya, bahwa dia pendeta. Begitu percaya dirinya dia. Pertannya adalah mengapa dia berani sesumbar seperti itu? Mungkin karena sejak tahun 2018, dia sudah berada di luar negeri. Berpindah-pindah negara. Menurut Imigrasi, dia tercatat meninggalkan Indonesia menuju Hong Kong sejak tanggal 11 Januari 2018. Pria ini bernama asli Shindy Paul. Paspornya bernomor B 6622531 yang dibuat di Kantor Imigrasi Semarang. Berdasarkan informasi kepolisian dia sudah meninggalkan Jerman, dimana terakhir posisinya di lacak. Dia tinggal di Bremen hanya 6 bulan, setelah itu kabur.
Atau bisa jadi, Dia merasa tidak tersentuh hukum, karena yang di-nista adalah Islam. Paling nanti cukup tanda tangan di atas materai 10.000, minta ma’af urusan beres. Mungkin juga dia mengira, saat diperkarakan, kemudian dia mendapatkan keterangan sakit jiwakan (gila) sehingga masalah tidak berlanjut dan tidak ada gugatan hukum. Kita lihat saya nanti.
Islamophobia
Sebenarnya perilaku penistaan agama seperti ini, tidak berbilang di negeri ini. Terutama di era media social seperti sekarang ini. Hampir setiap saat kija jumpai di akun-akun medsos, dengan muatan yang sejenis, lebih ringan atau lebih berat. Tetapi kesemuanya berakhir sama. Sedikit yang berlanjut di proses. Selebihnya tidak diproses dan tidak ketahuan ujungnya.
Pemecatan pejabat di PT PELNI, karena mengundang ustadz yang dilabeli radikal, tanpa proses tabayun/klarifikasi. Padahal ustadz-ustadz tersebut selama ini adalah pro-pemerintah misalnya. Buntutnya selain pembatalan kegiatan juga dilanjutkan dengan pemecatan pejabat yang memprakarsai kegiatan itu, merupakan contoh bahwa Islamophobia benar-benar terjadi. Meski kemudian pelaku sebagai Komisaris itu meminta ma’af kepada salah satu pembicara, namun cukup menegaskan bahwa, anti-islam ini ternyata terjadi by design.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebenarnya hal ini menjadi terasa aneh. Karena Islam dan umat Islam, seharusnya menjadi pemilik syah dan penguasa di negeri sendiri. Akan tetapi ternyata sebagaian besar menjadi termarginalkan oleh orang-orang, bisa jadi mereka juga mengaku Islam, tetapi beda madzab, organisasi, ormas, manhaj dlsb, juga oleh mereka yang memang kaum kafir. Saya menduga berdasarkan beberapa bacaan bahwa saat ini -bisa benar-bisa salah- kekuatan kaomunisme, liberalism, dlsb sedang bersatu dan bermain. Ini bukan untuk memperkeruh suasana, tetapi ini adalah keniscayaan yang harus dipecahkan. Mesti di cari root cause-nya.
Salah satu caranya adalah, harus diberlakukan yang sama terhadap penista dan pelanggar hukum. Jika orang yang dituduh teroris tanpa proses peradilan bisa di bunuh oleh aparat. Demikian juga terhadap mereka yang dianggap fundamentalis muslim atau oposisi bisa dituduh dengan pasal yang berlapis-lapis, maka terhadap penista agama Islam juga mesti diperlakukan sama. Harus diproses seadil-adilnya dan dengan cara yang terbuka. Sehingga publik akan tahu, dan tidak bersepekulasi bahwa terjadi ketidak-adilan di negeri ini.
Selanjutnya, kita tunggu langkah-langkah penegak hukum terhadap kasus JPZ ini. Kita akan melihat sejauhmana keseriusannya, dan bagaimana kesudahannya nanti. Apakah akan menguap begitu saja. Dianggap orang sakit jiwa atau gila, sehingga masalah tidak berlanjut. Meski agak psimis, tetapi mari sisakan sedikit harapan itu agar keadilan tegak di bumi Indonesia ini. Wallahu a’lam