Ramadhan ke-16Tiba-tiba status WA teman-teman saya banyak yang berubah. Tidak seperti biasanya. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, seperti yang saya kenal. Ternyata tidak hanya di WA, namun juga wall di facebook, cuitan di twitter, status di instagram. Demikian hanya, tidak sedikit kemudian berubah menjadi YouTuber, dan seterusnya. Pendeknya, semua akun media sosial yang dimiliki, seolah menampilkan “wajah baru” dari apa dan siapa, yang selama ini mereka saya kenal. Mungkin disekitar anda juga seperti ini.
Semua berawal dari virus China itu. Awal-awal, saat pandemi muncul, semua medsos rata-rata dipenuhi dengan ketahanan dan optimisme terhadap serangan covid-19. Dilanjutkan dengan empati terhadap korban. Meski tidak jarang diikuti sesekali menyentil kebijakan pemerintah yang terkesan lamban, tidak jelas, miskoordinasi, dan lain sebagainya. Dengan disertai gambar, video, meme atau tautan berita untuk menunjukkan ketidaknyamanan situasi yang berlaku. Ini terjadi sekitar 2 minggu hingga satu bulan. Meski juga ada kawan lain, yang membela habis kebijakan pemerintah. Apapun itu kebijakannya dibenarkan dan selalu didukung. Tidak ada daya kritis. Meski kita hargai, masing-masing orang punya pilihan untuk mengekspresikan dirinya.
Menjelang 1 bulan pertama, dan masuk bulan kedua, sudah muncul berbagai keluhan. Terutama, terkait dengan kediriannya, dan profesi yang dilakoninya. Ada yang mulai dipangkas gajinya, dirumahkan. Bisnisnya mulai turun, bahkan menjurus kolaps, dan seterusnya. Semuanya sama, ada yang malu-malu untuk mengungkapkan. Ada yang vulgar menggunakan sosial media untuk menumpahkan suasana batinnya itu. Yang dulu kelihatan pribadi-pribadi yang thought, tangguh, cerdas, smart, dan sejenisnya. Bahkan ada yang tajir melintir. Mendadak menjadi lebay. Tetapi memang keadaan memaksa untuk itu. Apa boleh buat.
Selanjutnya, paruh bulan kedua, hingga kini, perubaha drastis mulai terjadi. Dan sangat drastis. Kita jumpai kawan-kawan itu, status di media sosialnya dipenuhi dengan promosi, iklan, endorse, dan lain-lain. Simple-nya sedang pada jualan. Berbagai jenis jualan, kini dengan mudah bisa kita temukan disekitar Kita. Teman-teman, kenalan, saudara, bahkan Kita sendiri yang melakukan. Terlebih saat memasuki bulan Ramadhan. Tambah rame jenis barang dagangan dijajajakan di Medsos. Dan itu, bukan hanya oleh teman-teman yang sudah biasa jualan, tetapi oleh mereka yang selama ini tidak punya profesi atau track record sebagai pedagang. Sebagaimana saya jelaskan di atas.
Mereka rata-rata middle class. Dipaksa berubah oleh keadaan. Sedikit menurunkan grade hidupnya. Tanpa mengesampingkan, berjuta cerita pilu mereka yang low income bahkan yang no income, yang sudah barang tentu menderita lebih parah dari yang diceritakan disini. Dan inilah cerita kehidupan yang sedang terjadi kekinian.
Survive
Apakah yang mereka lakukan salah ? Apakah nista dan hina? Trus kita rame-rame dengan enteng mem-bully,menyindir, mengejek, menjadikan bahan candaan, dlsb. Kita tidak pernah tahu, apa yang sesungguhnya sedang mereka alami. Kemudian mereka melakukan semua itu, dengan keterpaksaan dan perjuangan berat. Perjuangan hidup-mati. Dalam arti yang sesungguhnya. Untuk menyambung hidup. Bisa jadi, karena sudah tidak ada lagi tabungan yang bisa diambil. Bahkan tidak sedikit, dari mereka memang sudah tidak ada yang bisa dimakan. Sudah tidak ada lagi susu untuk anaknya, dan berbagai jenis kondisi yang memilukan lainnya.
Yang jelas, mereka masih punya izzah. Punya harga diri. Mereka tidak meminta-minta. Mereka tidak mencuri dan maling. Apalagi menjadi perampok digital, sebagaimana proyek 5,6 trilyun itu. Mereka justru ingin tetap survive. Mempertahankan hidup. Memilih jalan dengan mencari rejeki halal.
Mungkin juga diantara mereka ada yang sebenarnya malu, canggung, berat, tertekan dlsb. Tetapi semua perasaan itu dia buang jauh-jauh. Demi mempertahankan hidup. Anak dan istri serta keluarganya harus tetap hidup. Karena kebijakan PSBB menurut beberapa pengamat, wujud abai-nya negara menjamin kehidupan rakyatnya. Rakyat dibatasi arang berbagai jenis aktifitas. Tetapi harus mencari hidup sendiri. Negara tidak menjamin kehidupan mereka. Ada yang salah dengan tata kelola negara ini. Mungkin, jika dibolehkan mengumpat, semua rakyat bakal mengumpat. Kecuali segolongan kecil yang justru mencari keuntungan dari ini. Qodarulah, kejadian seperti ini bertepatan dengan bulan ramadhan. Jadi kebanyakan masih mampu untuk menahan diri dengan sabar dan tawakal.
Saya dan Anda, di masa sulit seperti ini, dituntut untuk tetap survive. Tetapi semua dalam bingkai Iman. Sehingga tidak serampangan. Tidak terjebak dalam usaha yang mengandung maysir (judi), ghoror (menipu), riba dan dholim. Sebab, semuanya ada tuntunan dan panduannya. Bukan berprinsip cari yang haram saja susah apalagi yang halal. Namun harus selalu berpegang teguh bagaimanapun situasi dan kondisi yang terjadi, Saya tetap mencari yang halal. Sehingga, tidak ruang dalam pikiran kita untuk mencari yang haram.
Jadi, saat ini waktu yang tepat untuk salingbantu sesama. Dan selanjutnya kita dukung/support saudara-saudara kita yang terus berusaha untuk survive itu, semampu kita. Biarkan mereka melakukan selling of everything ataupun makelar of everything. Dan berbagai bentuk aktifitas lainnya, untuk survive. Itu semua adalah mulia. Yang penting dan utama adalah usaha yang dilakukan halal. Baik barang dagangan, akad-akadnya, transaksi serta alat pembayarannya.
Sebab, jika hari ini Anda belum seperti itu, bisa jadi besok, lusa atau bulan-bulan kedepan ganti Anda yang melakoninya. Sementara teman Kita, yang saat ini sedang melakoni, sudah berada pada posisi seperti Anda saat ini. Karena krisis ini, belum tahu pasti kapan berakhirnya.
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani
Wallahua’lam