Dalam kesempatan berbeda, beberapa kali saya diskusi dengan anak-anak saya dan juga dengan para kemenakan. Mereka semua generasi milenial. Ada yang sudah nikah, ada yang masih singel. Ada yang sudah lulus kuliah, sedang kuliah dan generasi Z yang masih duduk di bangku SMA. Saya sebenarnya ingin menyelami persepsi mereka tentang banyak hal, tentang kehidupan beragama, tentang perpolitikan, tentang posisi generasi milenial sendiri, tetutama tentang achievementapa yang ingin mereka capai termasuk pilihan profesinya ke depan.
Saya biasanya mendongeng berbagai hal, berkenaan pemahaman dan pengalaman saya sebagai generasi X, yang mencoba sok tahu tentang milenial, yaitu generasi Y, Z dan sesudahnya. Seperti biasa alur ceritanya seringkali mengejutkan. Kadang serius dengan deretan teori dan data, lalu dilanjutkan dengan realitas kekinian dan prediksi ke depan. Dengan sok sebagai futurolog, tentu dengan memaparkan berbagai forecasting yang nampak ilmiah. Saat bicara agama, juga selalu dibarengi dengan dalil naqli dan aqli. Kemudian di kontekstualkan dengan kondisi kekinian. Jadi menjadi sajian paket komplet. Dilain pihak seringkali tanpa diduga, ditikungan cerita bisa disisipi joke, sehingga bisa bergelak bersama.
Singkat cerita, tiba saatnya sebagaimana biasa, saya bercerita tentang bagaimana cara kerja generasi milenial. Saya bilang ada kawanku yang menyediakanco-working space. Dimana kita bisa “ngantor” tanpa kontrak kerja disitu. Dengan cara sewa per-jam, dapat 1 kursi + meja yang digunakan bersama, colokan listrik, koneksi internet (WiFi), biasanya juga ada food courts dan lain suasana mendukung lainnya. Intinya saat memakai tempat itu, tidak ada ikatan yang membatasi, kecuali aturan yang ada di co-working spaceitu, antara penyewa dan pengguna.
Saat masih asyik berceloteh, tiba-tiba pembicaraan saya di potong oleh kemenakan yang baru re-signdari start-upasing dan diterima di salah satu unicornIndonesia. Meski masih muda, dia banyak malang melintang sebagai engineer, diberbagai tempat start-up. Dari yang masihcockroach, ponieshingga yang unicorn. Sebelumnya dia juga pernah bekerja di salah satu unicorn dalam negeri yang CEO nya sempat bikin heboh itu, dan sekarang dia pindah ke unicorn lainnya. “Co-working hanya salah satu media, masih ada yang lain.” Katanya. “Anak muda sekarang memang jarang yang mau terikat dalam sebuah ikatan kerja dalam satu tempat, dan bekerja dalam time base. Yang, dibatasi oleh jam datang dan jam pulang. Atau bahkan, berapa jam bekerja dalam sehari. Mereka bisa bekerja dimana saja dan kapan saja” Imbuhnya. “Kami juga tidak nyaman bekerja dalam kantor “kubikal”. Itu model pembelengguan kreatifitas. Kami mau kerja sesuka kami. Kami memilih bekerja, dengan target base. Namun semuanya harus dalam kontrak yang jelas dan terukur. Kami juga bisa bekerja by remote. Berikan saja target kerja, kapan pekerjaan dimulai, dan kapan harus selesai. Tentukan semuarequirement dan outputyang dikehendaki, maka In Shaa Allahakan kami selesaikan, bahkan sebelum tenggat waktu yang disepakati berakhir. Tetapi nggak usah nanya, dimana dan kapan kami kerjakan. Tetapkan saja hari H dan dimana serta dengan media apa hasil kerja/proyek harus kami setorkan pekerjaan itu.” terangnya.
Itulah yang namanya digital nomad. Laku seperti ini, bukan hanya untuk orang IT. Tetapi hampir semua profesi sesungguhnya akan mengarah kesini. Arsitek, designer grafis, psikolog, akuntan dlsb, menikmati dan sekaligus menjadi pelaku digital nomadini. Tentu ada profesi tertentu yang tidak bisa diberlakukan seperti ini. Namun, tetap saja, kecenderungan generasi milenial, mengarah ke digital nomadini. Disitu juga terjadi interaksi, bahkan sinergi dan kemudian terjadi kolaborasi untuk membangun start-up dan lain sebagainya. Banyak projectsyang bisa di create. Mereka terbiasa multi tasking. Mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu-satuan waktu. Sehingga hasil kerjanya seringkali melebihi ekspektasi dan pencapaian yang biasa dilakukan oleh generasi X, apalagi generasi baby boomers. Jangan selalu dijudge, bahwa milenial itu identik dengan a-sosial. Sebenarnya kami hanya butuh eksis. Kira-kira jika di jabarkan dengan bahasa tulis, begitulah paparannya.
Saya manggut-manggut, sambil jariku menari memencet tombol gadgetlangsung searchingdi internet, dan dapat penjelasan dari Wikipedia, begini,“Digital nomads are a type of people who use telecommunications technologies to earn a living and, more generally, conduct their life in a nomadic manner. Such workers often work remotely from foreign countries, coffee shops,public libraries, co-working spaces, or recreational vehicles. This is often accomplished through the use of devices that have wireless Internet capabilities such as smartphones or mobile hotspots.”
Ah, kini memang sudah era Revolusi Industri 4.0 bahkan menjelang Revolusi Industri 5.0, sementara Jepang melalui PM Shinzo Abe juga menjadikan Society 5.0, sebagai platform pembangunan Jepang. Indonesia saat ini mengalami bonus demografi. Dimana generasi milenial adalah penentunya. Mereka jumlahnya terus meningkat, saat ini mendekati 50% dari populasi penduduk. Mereka adalah connecting generation. Generasi yang saling terhubung. Sehingga kehadiran teknologi informasi, komunikasi, gadget, listrik, dekat dengan food courtsdlsb, menjadi sesuatu yang melekat dengan dinamika kaum milenial. Kebanyakan kita seringkali lupa, bahwa perubahan itulah yang kekal. Akan terus dinamis. Bahkan cenderung revolusioner. Bukan mengikuti deret hitung, namun deret ukur. Bukan linear, namun eksponensial dlsb. Sementara, tanpa kita sadari, mindsetkita masih terpenjara dengan melihat kerja, sebagai paradigma lama. Sehingga kini saatnya perubahan itu harus dilakukan. Dan ternyata harus dimulai dari diri kita. Siapapun kita, berapapun usia kita, dan apapun profesi kita.
Selamat memasuki dunia milenial, digital nomads.
Depok, 25/02/2019