Kronik, Peradaban, Politik.

Kehilangan Pahlawan


Hari ini 10 Nopember. Oleh bangsa ini diperingati sebagai hari Pahlawan. Sebagai wujud penghormatan atas perlawanan arek-arek Surabaya yang gugur, sebagai syuhada dalam perang yang dahsyat di kota itu. Sebuah perlawanan yang di dorong sebagai jihad fi sabilillah. Setelah adanya resolusi jihad 22 Oktober 1945, dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai Rais Akbar NU, saat itu. Bahwa melawan tentara NICA (The Netherlands Indies Civil Administration) yang diboncengi kepentingan Belanda, yang ingin menjajah kembali Indonesia, dan Rakyat yang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan adalah jihad, dan siapapun yang gugur dalam pertempuran itu adalah Syahid. Alasan ini yang mendorong Sutomo, memimpin perlawanan dengan sangat  hebat. “Andai tidak ada takbir, saya tidak tahu, bagaimana membakar semangat pemuda-pemuda saat itu.” begitu penjelasan Bung  Tomo, mengambarkan suasana batin  saat itu  Dan  hal itu terbukti, bahwa dengan takbir yang di teriakkannya, baik melalui RRI maupun saat memimpin perlawanan, mampu memotivasi sekaligus, memberi energi perlawanan pemuda-pemuda Surabaya itu. Allahu Akbar, Allahu Akbar, menjadi tidak hanya sumber perlawanan, tetapi energi kemenangan sekaligus. Sehingga, 2 Jenderal NICA, mati dalam pertempuran itu. Sebuah korban besar, yang menjadi pukulan berat bagi Belanda.

Bung Tomo, mampu menyatukan antara nasionalisme dan Islam. Bukan sesuatu yang dipetentangkan. Bukan hal Yang harus diperhadapkan secara diametral.
Takbir, bukan hanya dijadikan simbol, namun menjadi elemen penting dalam aksi nyata. Bersenyawa dalam satu paket untuk merajut tenun kebangsaan dalam sebuah kekuatan perjuangan. Namun disisi lain, ada cerita yang menarik, yang luput dari cerita heroik itu. Bahwa dalam rombongan NICA itu ada Gurkha, yaitu pasukan bayaran dari India. Ternyata sebagian dari tentara Gurkha itu ada yang Muslim, dan olehnya tidak mau berperang melawan sesama muslimin Indonesia. Apalagi saat mendengar pekik Allahu Akbar, dalam pertempuran itu. Sebuah fragmentasi sejarah yang Indah.

Kini, setelah 73 tahun pasca aksi heroik itu, mereka yang meneriakkan takbir, di persekusi. Di tuduh sebagai teroris, radikal, fundamentalis dan seterusnya. Oleh mereka yang teriak saya Pancasila, saya NKRI. Sebuah narasi yang dipaksakan. Mereka meneriakkan itu dengan lantang. Melakukan propaganda dengan memanfaatkan berbagai media. Kampanye masif, tiada jeda. Namun nir aksi linear. Adanya malah paradoks. Satu sisi berteriak NKRI harga mati, di sisi lain merampok negara dengan korupsi, manipulasi dan henky-pengky, kong-kalikong, tipu-tipu, pesengkokolan dan segala bentuk perselingkuhan memanfaatkan pangkat, jabatan, status politik dlsb,  dengan mesra dilakukan bersama aseng, asing dan pengusaha rakus. Naik secara malu-malu, sembunyi-sembunyi, maupun terang benderang. Sementara dalam praktek hukum, dengan kasat mata dipertontonkan laku ketidak adilan. Penegak hukum terasa berpihak ke (pendukung) penguasa. Tebang pilih  Hukum menjadi tumpul. Hilang kepercayaan. Akibatnya dis-trust kepada penegakan hukum.

Disaat yang bersamaan, bangsa ini disuguhi sekaligus mempraktekkan demokrasi yang sudah jorok itu, dengan semakin tampilan yang jorok dan menjijikkan. Anak bangsa seolah terbelah, terpolarisasi menjadi 2 kutub. Yang dalam bahasa di medsos, sering disebut kubu cebong dan kubu kampret. Keduanya “bertarung” di media sosial, lebih sering pada hal-hal yang tidak substantif. Saling serang atas hal-hal yang sifatnya pribadi. Cari-cari kelemahan dan kesalahan, untuk kemudian di bully, dihabisi dan dijatuhkan. Dialektika anak bangsa jadi gak bermutu. Nir nilai. Jauh dari perdebebatan visi, misi ataupun program kerja. Lagi-lagi, lebih banyak membicarakan aib lawan politiknya. Saya rasa, bangsa ini kembali kepada praktik politik yang primitif. Terlihat uncivilized. Jauh dari semangat membangun Peradaban.

Lebih parah lagi, sulit rasanya menemukan sosok yang mampu menjadi simbol persatuan dalam negeri. Setiap ada yang muncul, selalu dihabisi. Sekelas HRS, yang terbukti mampu menghimpun masa, dan mendapat dukungan dari umat, juga terus-menerus dipersekusi, dikriminalisasi, di bully, difitnah dlsb, meski kini mukim di mekah.

Kini Kita kehilangan sosok Pahlawan, sebagaimana ditunjukkan oleh Bung Tomo dan Pahlawan-pahlawan lainnya. Yang kita sering dapati, orang yang mendaku pahlawan, tetapi sejatinya mereka malah pengkhianat, pecundang dlsb.

Musuh kita secara fisik bukan penjahah asing yang bersenjata api. Meski Ada juga potensi  untuk itu. Namun kini kita menghadapi penjahah Ekonomi, Budaya, kemiskinan, pendidikan dlsb.  Olehnya hentikan pertikaian antar anak-bangsa. Jauhi perpecahan. Sadarlah, bahwa ada yang sedang bermain, menghancurkan bangsa ini. Kita, mesti melibatkan diri untuk melakukan perbaikan, semampu yang kita bisa. Sesuai dengan kapasitas dan kompetensi serta profesi Kita. Jangan apriori, apalagi malah jadi bagian perusak persatuan.

Bagi pemerintah, berlakulah adil. Jangan banyak pencitraan. Tegakkan hukum, se-adil-adilnya. Sejahterakan rakyat. Lindungi kepentingan mereka  Tunaikan janji-janji saat kampanye. Rakyat jangan dibohongi. Jangan khianati kepercayaan mereka,dst. Biarkan 2019 nanti rakyat menentukan pilihannya. Apakah tetap 2 periode, atau Ganti Presiden.

Dan akhirul kalam, agar tidak kehilangan Pahlawan, maka Kita bertekad bahwa Pahlawan itu adalah Kita. Sebab, menurut saya, Pahlawan masa kini adalah mereka yang berani melakukan perubahan, mereka yang terus mencari solusi untuk menginspirasi orang-orang disekitarnya untuk berubah. Dan jika dulu bersamaan dengan Takbir, berteriak Merdeka atau Mati kini tetap dengan Takbir sambil mempraktekkan Berubah atau Mati.

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2018!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.