ekonomi, Kronik

Dari Investasi ke Invasi


Respon atas tulisan sebelumnya tentang TKA dan Ancaman Kedaulatan Negara, ternyata mendapat tanggapan yang relatif homogen. Yaitu meng-amini apa yang saya tulis, dan kemudian prihatin atas kenyataan yang ada. Artinya saya tidak sedang menyampaikan fiksi, namun itu fakta yang dilengkapi dengan data. Bahkan ada yang menambahkan informasi yang tidak saya punya. Misal ada foto pemakaian uniform militer negara China, lengkap dengan tanda pangkatnya, seorang petugas security di salah satu perusahaan China. Saya belum sempat mengkomfirmasi kebenarannya. Jikalau demikian maka, justru fakta itu lebih menguatkan tesis awal saya yang saya maksud. Dan hanya dengan sedikit analisa sederhana, meski barangkali terkesan subyektif, malah semakin melengkapi narasi yang sudah ada itu.

Di akhir tulisan saya sebelumnya, sebagaimana menjadi judul tulisan ini, kemudian melahirkan hipotesa baru, bahwa ada kaitan erat antara investasi dan Invasi yang dilakukan negeri tirai bambu itu. Saya sempat mengernyitkan dahi, apa iya kondisi negeri ini mengarah ke sana. Namum nampaknya, dari data dan fakta yang ada, tak terbantahkan. Apalagi jika kemudian kita mengambil referensi dari negara-negara lain yang telah menjadi korban,disaat China investasi di dalamnya. Informasi seperti ini bertebaran di dunia maya. Dari tulisan ilmiah, hingga tulisan ringan. Seolah puzzle yang saling terhubung.

Tiongkok dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 miliar alias enam kali lipat lebih penduduk Indonesia. Tentu merupakan negara raksasa. Namun demikian hal ini justru mengakibatkan problem kependudukan tersendiri. China mengalami over population. Olehnya kebijakan produksi masal dan mengambil pasar ke seluruh dunia, dengan strategi harga yang murah itu tidak cukup. Meski secara ekonomi tumbuh, bahkan beberapa tahun sempat menyentuh pertumbuhan 2 digit, tetapi problem sebuah negara bukan hanya soal ekonomi semata. Tetapi sekali lagi, ledakan penduduk menjadi problem, meski jumlah kelahiran di batasi, tetap saja menimbulkan potensi kerawanan sosial. Olehnya, China memerlukan wilayah baru untuk menyebarkan penduduknya. Sebenarnya, Tiongkok sudah ribuan tahun punya pengalaman panjang dalam migrasi penduduk ini. Namun, di jaman now, diperlukan gagasan baru. Maka dengan pola menjadikan satu paket dengan menanamkan investasi ke sebuah negara bersamaan dengan memboyong tenaga kerjanya, menjadi “terobosan” untuk mengatasi masalah ekonomi dan kependudukan dalam satu kemasan.

Dalam menjalankan misinya itu, mereka selalu berusaha untuk mengikuti dan melebur dengan budaya lokal. Tetapi kendala bahasa dan juga budaya nampaknya jadi persoalan. Saya melihat ini handicap ini terjadi di beberapa negara. Namum tidak untuk di Sudan, dan juga terhadap negara-negara yang kemudian takluk itu. Dua tahun lalu, saat saya berkunjung ke Khartoum, Ibu Kota Sudan, saya tertarik oleh adanya orang China yang kursus bahasa Arab sebagai bahasa resmi Sudan di Ma’had Khartoum Dwali. Sebuah kursus bahasa Arab elit yang di kelola oleh WAMY. Saya kira mereka adalah muallaf yang ingin mempelajari Islam, dengan terlebih dulu belajar ilmu alat-nya. Ternyata dugaan saya salah. Mereka rata-rata mandor/supervisi bahkan level Manager dan bahkan Direktur yang ikut belajar. Hanya ingin menguasai bahasa arab. Tak lebih dari itu. Sebab itu tuntutan pekerjaan. Mereka selain mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi, juga untuk mengatur dan mengendalikan anak buahnya warga asli Sudan. Pekerjaan konstruksi, rata-rata dikuasai kontraktor dari China. Mesti negara Sudan ini sedang di embargo Amerika. Meski hingga kini Sudan belum “dicaplok” China dan semoga tidak.

Pun demikian sebagaimana santer diberitakan di berbagai media, bahwa Angola, Turkistan dan Zimbabwe, dll, akhirnya takluk ke tangan China. Dengan dipaksa menggunakan mata uang Yuan, juga pengelolaan beberapa aset strategis jatuh ke tangan China, melalui BUMN nya. Hal yang sama juga terjadi di Srilanka, Pakistan, Maladewa dan negara-negara lainnya. Modusnya hampir sama. Melakukan Investasi terutama di bidang infrastruktur dengan memberi loan dan term and conditions yang a mengikat dalam waktu tertentu. Termasuk menempatkan tenaga kerja di proyek-proyek yang di biayai itu. Lalu, saat jatuh tempo tidak mampu bayar. Kemudian proyek itu diambil alih sebagai ganti rugi pembayaran atau sejenisnya. Dan selanjutnya negaranya “dikuasai” dengan pemaksaan menggunakan mata uang Yuan, dan seterusnya.

Jika yang terjadi hanya seperti hal di atas, mungkin masih bisa dianggap “ringan”. Itu termasuk soft invasion. Akan tetapi jika yang terjadi adalah invasi militer yang di lakukan oleh tenaga kerja (yang sebenarnya adalah tentara), maka negara akan hancur, berkeping lalu di kuasai. Apakah hal ini akan terjadi di Indonesia? Semoga Tidak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun, hal itu bukan mustahil untuk tidak bakal terjadi di negeri ini. Sebab, kondisi kearah sana sangat mendukung. Jor-joran investasi di bidang Infrastruktur, dan menarik investasi dari China adalah fakta tak terbantahkan. Jika tidak kalkulasi dengan cermat, dan pada saatnya hutang sudah jatuh tempo, maka kondisi terburuk sebagaimana dialami oleh negara lain, tak mustahil menimpa negeri ini. Apatah lagi, jika kemudian terjadi persengkongkolan antara investor China dengan pejabat negeri ini, entah dalam bentuk kemitraan atau model lain. Ditambah lagi ada Agent dari bangsa sendiri yang memfasilitasinya, maka ancaman itu kian nyata dan mengkhawatirkan.

Sehingga tidak ada kata lain selain kita tetap waspada. Bisa jadi ini model imperialisme yang sedang diperankan Tiongkok. Semoga tidak demikian. Olehnya, rakyat perlu dibangkitkan kesadarannya. Demikian juga negara, mesti aware terhadap permasalahan yang mengancamnya. Bukan mencari-cari alasan, tetapi menemukan solusi. Banyak solusi yang bisa ditawarkan. Salah satu solusinya adalah melepas ketergantungan investasi dari pihak asing, terutama yang berasal dari negara China tersebut. Selanjutnya membangun keutuhan, kekuatan dan memperkokoh martabat bangsa dengan kepemimpinan yang berwibawa, dan mampu melawan tekanan asing tersebut. Beginilah cara kami mencintai NKRI. Atau, jika mengikuti trend kekinian maka solusinya bisa jadi  #2019GantiPresiden. 

Wallahu a’lam.

Tobadak, 25 Mei 2018

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.