Banyak hal yang saya sependapat, dan beberapa yang saya kritisi terkait dengan judul buku terakhir karya Hermawan Kertajaya yang disebut sebagai One of The 50 guru’s who Who Shaped The Future of Marketing, oleh Chartered Institute Of Marketing, UK, bersama karibnya Philip Kotler dan lain-lain. Buku ini di tulis bersama Tim Redaksi Marketers, sebagai majalah marketing yang banyak jadi rujukan di Indonesia. Menurut Hermawan, konsep marketing terus mengalami evolusi, hingga sampai kepada apa yang menurut dia sebagai Citizen 4.0. Hal ini tertuang dalam sub judul tersebut yang menerangkan bahwa Citizen 4.0 itu, menjelaskan prinsip-prinsip pemasaran humanis di era digital. Menurutnya, Marketing 1.0 adalah era dimana produsen memegang kendali. Sementara Marketing 2.0 adalah era dimana konsumen diperlakukan sebagai raja. Sedangkan Marketing 3.0 adalah bisnis dengan dasar human spirit.
Sedikit me-review dari penjelasan tentang Marketing 3.0 di atas. Meskipun sebagai penganut Katholik, dia menyebutkan bahwa Marketing 3.0 adalah sebagai horizontal marketing -sebuah konsep pemasaran yang punya dasar-dasar baik pada orang lain atau rahmatan lil ‘alamiin, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Marketing ini tak melulu soal bisnis, tetapi juga meliputi rasional, emosional dan spiritual. Menurut Hermawan, Nabi Muhammad SAW sebagai sosok pedagang yang jujur, transparan dan sangat ramah kepada siapa saja termasuk para pesaingnya. Nabi Muhammad SAW, mengajarkan berdagang itu haruslah jujur, tidak menjual janji berlebihanm terbuka atas kekurangan dari produknya, tidak memainkan timbangan, serta memisahkan kurma yang basah,-dengan kata lain, produk yang bagus tidak dicampur dengan produk berkualitas rendah demi meraup keuntungan yang lebih banyak. Dan dari basic kejujuran inilah, maka melahirkan konsep Marketing 3.0 tersebut.
Marketing 4.0 dipicu oleh dunia yang semakin menjadi horizontal (flat), inklusif dan sosial, serta kehidupan yang semakin dinamis dengan adanya internet. Media sosial memberikan kita alat untuk mengekspresikan diri dan kesempatan untuk terhubung dengan siapapun. Kitapun dapat membuat, memodifikasi dan menyebarkan berbagai informasi kepada semua orang dimanapun mereka berada. Hal terpenting akhirnya adalah bukan dari mana dan siapa kita berada, tetapi apa yang kita sumbangkan kepada orang lain dan bagaimana menjadi citizen of the world. Itulah Citizen 4.0
Model Citizen 4.0
Ada empat tahapan yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai Citizen 4.0. Keempat tahapan itu, adalah Fundamental, Forefront, Foster, dan Final. Fundamental menjadi tahapan awal dan dasar dan biasanya masuk dalam periode usia 0-20 tahun. Di sini, manusia senang mengeksplorasi banyak hal, berimajinasi tinggi, dan sedang mencari jati dirinya.
Tahap Forefront, di usia 20-40 tahun, ditandai dengan kemandirian, tanggung jawab, dan penghasilan sendiri. Kemudian, tahap Foster, usia 40-60 tahun, ditandai dengan kehidupan yang lebih mapan dan stabil. Pada tahap ini, orang cenderung berbagi semangat kepada orang lain. Baginya, hidup yang bermakna ketika ia bisa bermanfaat bagi orang lain. Tahap berikutnya adalah tahap final, umur 60-80 yang tandai dengan kebijaksanaan dan upaya menikmati hidup di usia tua.
“Untuk mencapai itu semua, manusia butuh passion dan bukan sekadar hobi. Passion ini bisa passion for knowledge, passion for business, passion for service, dan passion for people,”
Insan Kamil
Menyimpang sedikit dari pembahasan di atas. Saya tertarik dengan pembagian empat fase tersebut. Sebab, dalam Islam juga banyak pendekatan terkait dengan pembagian tahapan usia ini. Dalam sebuah referensi didapatkan bahwa usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu : 1) periode kanak-kanak atau thufuliyah, 2) periode muda atau syabab, ditandai dengan akhil baligh, 3) periode dewasa atau kuhulah, dan 4) periode tua atau syaikhukhah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut periode kanak-kanak itu mulai lahir hingga baligh, muda mulai dari usia baligh sampai 40 tahun, dewasa usia 40 tahun sampai 60 tahun, dan usia tua dari 60-70 tahun.
Jika pembagian usia dalam Islam ini di overlay di atas parameter Citizen 4.0 tersebut di atas, maka akan di pereloh irisan. Tetapi satu hal menurut Islam maka, ada perbedaan mendasar yaitu antara Fundamental dan thulufiah. Fase thulufiah berakhir ketika baligh sekitar umur 12 tahun, sedangkan fase fundamental berakhir di usia 20 tahun. Sementara dengan merujuk Rasulullah SAW, maka justru sejak usia 13 tahun rasulullah, sudah bersinggungan dengan dunia perdagangan. Bahkan sampai dengan menjadi eksportir, hingga ke negeri Syam. Beliau tidak berimajinasi lagi, tetapi langsung penjadi pelaku. Dan pada usia 25 tahun, tidak hanya bertanggung jawab, beliau sudah menjadi business owner dengan menikahi Khadijah. Setelah usaia 40 tahun saat beliau diangkat menjadi rasulullah, secara ruhiyah merupakan tahapan yang stabil. Dan urusan kehidupan dunianya sudah selesai. Ada amanah baru yang di emban menjadi rasul, yang tentu banyak “gejolak’ dalam rangka membangun peradaban baru. Dinamika kehidupan beliau selama 23 tahun menjadi nabi dan rasul, merupakan pelajaran yang tiada habisnya. Sampai kemudian, beliau menutup usia saat berumur 63 tahun. Saya sengaja menyambungkan fase yang ada di citizen 4.0 dengan fase kehidupan dalam Islam itu, untuk menarik Ibrah dan persamaan, bahwa sesungguhnya citizen 4.0 itu, tidak ada apa-apanya jika konsep insan kamil, dengan melihat pada 4 tahapan sebagaimana di jelaskan oleh Ibnul Qayim di atas diterapkan.
Dalam khazanah Islam, yang dimaksud dengan Insan kamil secara ringkas adalah manusia yang sempurna. Banyak definisi lainnya yang dilakukan melalui pendekatan sufisme. Sehingga yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya, baik jasmaniyah maupun ruhiyahnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Dalam Islam ada benchmarking dan contoh dari insan kamil ini. Umat Islam menyepakati bahwa diantara manusia, Nabi Muhammad SAW. adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap kehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya. Dan tidak pernah habis untuk di tulis dan dikaji.
Sayangnya, lagi-lagi di berbagai hal umat Islam seringkali inferior atas kekayaan yang dimilikinya, dan selalu kagum atas tawawan dari pihak lain. Padahal, Islam telah memiliki konsep hidup dan kehidupan itu dengan komplet. Tinggal kita mau melaksanakan atau tidak. Termasuk meredefinisi konsep Citizen 4.0 di atas. Dan sesungguhnya Insan Kamil itu, kuncinya. Wallahu a’lam
Jakarta 2/2/2018