Tulisan ini sebenarnya sudah beberapa waktu saya persiapkan. Saat saya merenung, bahwa sebenarnya ada instrumen pembiayaan dalam Islam yang syar’i, non riba, non bank, yang menurut saya bisa menjadi alternatif pendanaan bagi start-up. Dan lebih jauh dari itu adalah untuk pengembangan Bisnis dan juga Ekonomi umat Islam. Ada saja kendala sehingga tulisan singkat ini tidak tuntas, dan tak pernah terpublikasikan. Sampai kemudian saya terpancing saat di tag di Facebook oleh kawan baik saya mas Eko Budhi Suprasetiawan, berkenaan dengan economy’s base, yang menurut dia beda dengan economic base, yang menurutnya, istilah itu dimunculkan oleh Stephen Gudemen. Dan dalam konteks Islam, jawabannya adalah wakaf.
Tetapi, wakaf dalam Islam saat ini, masih belum mendapat perhatian serius di kalangan umat Islam Indonesia. Saya melihat mengapa kemudian instrumen wakaf ini, kurang atau tepatnya tidak mendapat perhatian yang serius, dikalangan umat Islam. Karena, fakta dilapangan -paling tidak disekitar kita- ada pemahaman yang salah, yaitu yang namanya wakaf itu adalah soal kuburan, mushala, masjid, sekolah dan sejenisnya. Belum lagi, bagaimana sikap lembaga keuangan seperti perbankan, yang melihat harta wakaf itu tidak bernilai. Sehingga di neracanya akan di tulis 0 (nol). Problem berikutnya adalah nazhir (penerima wakaf) yang juga tidak memiliki kecakapan untuk mengelola wakaf sehingga memiliki nilai keekonomian yang lebih. Padahal kita juga seringkali disuguhi informasi tentang wakaf sumur utsman yang masih abadi sampai sekarang. Bagaimana juga perguruan Islam tertua, Al-Azhar, hingga saat ini, begitu kokoh di dirikan dan dibiayai dari dana wakaf. Dan informasi terbaru yang berkembang di medsos, bagaimana Sulaiman al-Rajhi, pemilik al-Rajhi Bank, mewakafkan sekitar 6.000 hektar kebun kurma, yang hasilnya untuk kepentingan umat. Hal ini, menunjukkan, bahwa wakaf memiliki nilai ekonomis, pemberdayaan, dan sustainabilitas yang tinggi.
Nah disinilah letak kesalahan pemahaman itu, sebab umat Islam saat ini cenderung salah kaprah. Terlalu memfokuskan perhatian dan mengkampanyekan secara masif ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqoh). Sebagai instrument peningkatan ekonomi umat. Padahal, sesungguhnya desain ZIS itu lebih banyak untuk karitatif, yang sebagian besar akan langsung habis di konsumsi atau dibelanjakan. Meskipun ada juga yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan, tetapi itupun jumlahnya valuenya tidak besar. Seharusnya umat perlu disadarkan, bahwa yang perlu di sosialisasikan dan digalakkan itu adalah tentang Wakaf. Sebab wakaf memiliki konsekuensi harus diputar dan tidak boleh habis. Artinya, dana/barang/aset pokoknya tidak boleh berkurang apalagi habis. Pengelola, hanya bisa menerima (ujrah) dari manfaat pengelolaan harta wakaf tersebut.
Secara istilah yang ada di UU Wakaf, maka wakaf (Arab: وقف, [ˈwɑqf]; plural Arab: أوقاف, awqāf; bahasa Turki: vakıf, bahasa Urdu: وقف) adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, unsur wakaf ada enam, yaitu wakif (pihak yang mewakafkan hartanya), nazhir (pengelola harta wakaf), harta wakaf, peruntukan, akad wakaf, dan jangka waktu wakaf. Wakif (bahasa Arab: واقف [waaqif]) atau pihak yang mewakafkan hartanya bisa perseorangan, badan hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan orang nonmuslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Syarat bagi wakif adalah balig dan berakal.
Selanjutnya dalam terminologi modern ada istilah wakaf produktif, yaitu harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, Mata air untuk dijual airnya dan lain-lain. Atau wakaf produksi juga dapat didefenisikan yaitu harta yang digunakan untuk kepentingan produksi baik dibidang pertanian, Perindustrian, perdagangan dan jasa yang menfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih dari hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang – orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf.
Dari sini kemudian berkembang istilah wakaf uang. Keberadaan wakaf uang ini dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif, Karena uang disini tidak lagi dijadikan alat tukar menukar saja.Wakaf uang dipandang dapat memunculkan suatu hasil yang lebih banyak. Mazhab Hanafi dan Maliki mengemukakan tentang kebolehan wakaf uang, sebagaimana yang disebut Al –Mawardi :
عن ابو ثوروى الشا فعى جوازوقفها اى الد نا فى والد رهم
“Abu Tsaur meriwayatkan dari imam syafi’I tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.”
Dari Wahbah az- Zuhaily, dalam kitab Al- fiqh islamy wa adilatuhu menyebutkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang karena uang yang menjadi modal usaha itu, dapat bertahan lama dan banyak manfaatnya untuk kemaslahatan umat. Sehingga MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa tentang WAKAF TUNAI yang menyebutkan bahwa Wakaf Uang( cash wakaf / waqf al – Nuqut ) adalah wakaf yang dilakukan oleh sekelompok atau seseorang maupun badan hukum yang berbentuk wakaf tunai. Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan asset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindah tangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun jumlah pokoknya.
Meskipun ini merupakan solusi kongkrit atas pemberdayaan umat, namun di Indonesia wakaf uang tunai relatif baru dikenal.Wakaf uang tunai adalah objek wakaf selain tanah maupun bangunan yang merupakan harta tak bergerak. Wakaf dalam bentuk uang tunai dibolehkan, dan dalam prakteknya sudah dilaksanakan oleh umat islam.
Dari penjelasan di atas, maka skema wakaf uang sebagai bagian dari wakaf produktif ini, sangat memungkinkan sebagai instrumen untuk membiayai start-up. Untuk itu, dalam hal ini, dibutuhkan adanya lembaga yang dipercaya untuk menghimpun harta wakaf ini, uang mewakili muwakif (pewakaf). Sehingga lembaga pengelola harta wakaf ini, seperti investment company, atau manajemen aset, yang memiliki kemampuan untuk memutuskan kemana “investasi” harta wakaf ini akan bergullir. Sebab ada batasan yang jelas, uang yang diinvestasikan tidak boleh habis, dia harus tetap bahkan berkembang. Sedangkan nazhir yang dipercaya, menerima manfaat (ujrah) dari harta yang dikembangkan itu. Selanjutnya, maka perusahaan rintisan-(start-up), akan bertindak sebagai menjadi nazhir. Dalam hal sebagai nazhir, maka start-up memiliki/menawarkan obyek wakaf, dan mengajukan business plan atau feasibility study untuk ‘dibiayai’ harta wakaf. nazhir yang profesional, yang mengembangkan usahanya sesuai dengan kaidah bisnis, dan memperhatikan prinsip-prinsip Islam. Tentu, bisnis yang dijalankan menghindari unsur MAGHRIB (Maysir Gharar dan Riba). Mengutip dari sini, maka sekema di bawah ini menjadi model pembiayaan untuk pengembangan wakaf tunai.
Dengan demikian maka, start-up yang dikembangkan dan dibiayai dari wakaf uang ini, akan berbagai macam variasinya. Dan kemudian darinya akan memberikan kemaslahatan yang lebih besar lagi bagi umat. Sehingga dengannya, maka wakaf, sebagai instrumen pemberdayaan dan pengembangan ekonomi, akan menjadi solusi baik dalam rangka bagaimana start-up muslim di kembangkan, dan selanjutnya menciptakan entrepreneur baru di Indonesia.
Wallahu a’lam
Jakarta 31/1/2018
Bagus untuk diskusi lebih lanjut nih mas…
Saya juga memiliki konsep dan pemikiran yang sama
Boleh cari waktu untuk ngobrol-ngobrol