Banyak analisis dan tesis yang berkembang, berkenaan dengan bonus demografi di Indonesia. Semua analisis tersebut hampir semua menunjukkan optimisme disertai dengan berbagai catatan di dalamnya. Bonus demografi merupakan kondisi dimana populasi usia produktif di suatu negara, lebih banyak dari usia non produktif. Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030 mendatang. Kondisi tersebut akan memicu membludaknya tenaga kerja produktif, sehingga jal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, satu sisi kondisi ini merupakan peluang emas Indonesia untuk menggenjot roda ekonomi, namun di lain pihak, jika salah mengelola, akan menjadi bom waktu yang membahayakan.
Menurut Yuswohady, pada saat itu jumlah kelompok usia produktif (umur 15-64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 ke atas). Jadi, kelompok usia muda kian sedikit, begitu pula dengan kelompok usia tua. Bonus demografi ini tercermin dari angka rasio ketergantungan (dependency ratio ), yaitu rasio antara kelompok usia yang tidak produktif dan yang produktif. Pada 2030 angka rasio ketergantungan Indonesia akan mencapai angka terendah, yaitu 44%. Artinya, pada tahun tersebut rasio kelompok usia produktif dengan yang tidak produktif mencapai lebih dari dua kali (100/44).
Sebagaimana kita ketahui, pada saat yang bersamaan, kondisi negara-negara maju seperti Jepang, Kanada, Amerika, negara-negara Eropa, termasuk negara-negara Skandinavia justru menuju negara tua. Dimana populasi penduduk tua lebih banyak dari usia produktif. Artinya ini merupakan peluag bagi indonesia unruk memenangkannya. Untuk menuju tahun 2030, masih ada waktu 12 tahun lagi untuk menghadapi dan mempersiapkan ini dengan baik. Tentu negara-negara tua itu juga punya strategi untuk menghadapinya. Sehingga, dengan planning yang baik dengan memperhatikan berbagai sektor, maka kita akan memenangkan bonus demografi itu dengan kemenangan ekonomi.
Maka, persiapan itu harus dimulai dari sekarang. Sebab anak-anak kita yang kini di bangku SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, pada waktu itu akan menjadi motor ekonomi, mereka sedang pada usia yang produktif, dan sebagian dari mereka akan memegang posisi strategis, baik di pemerintahan ataupun swasta. Generasi milenial tersebut yang selanjutnya akan menentukan arah bangsa ini menuju. Sehingga tidak ada kata tidak, anak-anak kita harus dipersiapkan untuk menghadapi masa depan, dimana tingkat persaingan ke depan, tentunya lebih berat dan kompetitif dari apa yang kita hadapi di masa kini.
Menangkap Peluang
Dari berbagai sumber dan proyeksi, didapati informasi bahwa, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki 200 juta lebih penduduk berusia produktif, sedangkan lebih dari 80 juta adalah usia non produktif. Atau bisa artikan 10 orang usia produktif hanya menanggung 3 atau 4 orang saja usia non produktif, sehingga terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional. Sementara itu, bonus demografi ini, tidak berlangsung lama, hanya sampai dengan tahun 2050. Setelah itu, populasi penduduk secara demografis akan bergeser menuju penduduk setengah tua dan tua.
Disaat yang sama, sebagaimna di prediksi oleh Mc Kinsey, Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-6 di dunia. Artinya, negara ini menjadi raksasa, dan subjek dan objeknya adalah anak-anak kita saat ini. Sedangkan menurut PwC, Indonesia pada saat itu berada di peringkat ke-5 di bawah Jepang, India, AS dan Cina. Namun dengan skenario pertumbuhuan di kisaran 5-5,5% saja tidak cukup untuk mengejar itu. menurut Nugroho Prasetya dibutuhkan pertumbuhan di atas 8% sampai dengan tahun 2030. Sebagaimana Korea Selatan, saat mendapatkan bonus demografi tanun 1981 – 1995 pertumbuhan ekonominya mencapai 8,5%, sehingga menggenare ratio PDB nya mencapai 40% pada tahun 1991. Dan begitu pula ratio tabungan mencapai 40% pada tahun 1988. Sehingga mengantarkan Korsel menjadi negara maju. Hal ini yang perlu dijadikan benchmarking Indonesia, untuk meniru bagaimana Korsel sukses mengelola bonus demografi.
Tantangan bagi Muslim Indonesia
Sementara itu mengutip dari Pew Research Center, dalam laporannya yang bertajuk The Future of the Global Muslim Population Projections for 2010-2030 yang di rilis pada January 201, mereka memprediksi bahwa pada tahun 2030 populasi muslim Indonesis sebesar 88% atau setara dengan 288.833.000 penduduk dari 328.219.318 total populasi rakyat Indonesia saat itu. Jika dipakai standar distribusi normal, maka mayoritas usia produktif, pasti juga generasi muda Islam. Ini merupakan tantangan yang harus di jawab. Bagaimana ke depan kontribusi muslim, dalam membangun negara ini.
Dengan prosentase dan populasi umat Islam sebagaimana tersebut di atas, maka persiapan generasi muda Islam untuk menjawab tantangan ini menjadi peluang dan seharusnya menjadi pemenang, adalah sebuah keniscayaan. Maka, anak muda muslim yang kini berusia belasan, mesti disiapkan sebagai generasi mendatang. Sebab generasi inilah yang nantinya menjadi penentu arah bangsa dan negara ini ke depan, apakah akan menjadi negara maju, atau menjadi negara tertinggal. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah :
Pertama, memperkuat Iman. Bukan sebuah klise, namun dengan tantangan yang semakin hebat ke depan, maka anak-anak mudah muslim mesti diperkuat keimanannya. Sebab godaan keimanan baik yang terjadi secara alamiah, maupun by design yang sengaja merusak generasi muda Islam, kini dengan massif terus mengancam. Sehingga, imunitas generasi muda muslim perlu di jaga. Disaat yang bersamaan maka, penguatan, akidah, ibadah, syariah dan muamalah juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tahapan ini.
Kedua, berwawasan global. Sejak dini generasi muda muslim sudah dipahamkan akan wasan lokal dan nasional. Dia dipahamkan geopolitis dan geostrategis negara ini. Potensi, ancaman da peluang yang dimiliki bangsa ini. Sehingga wawasan nasionalnya, seharusnya lebih tingga dari yang lainnya. Sehingga, dengan tantangan kedepan yang lebih dahsyat lagi itu, maka level wawasannya, perlu ditinggkatkan ke tingkat regional dan global. Sehingga nantinya mampu berkompetisi dan bersaing di level global. Dan berbekal wawasan nasionalnya itu, maka generasi muda muslim akan mempositioningkan di level global. Dan bisa jadi, saat mereka memimpin bangsa ini, maka saat itu pula menjadi pemimpin dunia.
Ketiga, meningkatkan skill dan manajerial. Kompetisi ke depan adalah, pertarungan skill antar umat manusia. Maka tidak ada alasan untuk tidak meningatkan kemampuan individu yang kemudian nantinya akan meningkatkan kemampuan secara kolektif. Sehingga kemampuan manajerialpun mesti ditingkatkan. Mengutip tulisan Yuswohady maka dalam abad 21 ini, dalam skill dan kompetensi menurut Tony Wagner (2008) mengidentifikasi ada tujuh skills yang menjadi penentu kesuksesan anak pada abad 21. Tujuh skills tersebut adalah: 1. Criticalthinking& problemsolving 2. Collaboration across networks & leading by influence 3. Agility & adaptability 4. Initiative& entrepreneurialism 5. Effective oral & written communication 6. Accessing& analyzinginformation 7. Curiosity & imagination. Ketujuh skill itu perlu dipersiapkan. Tidak mungkin diperoleh di sekolah formal. Meski ada lembaga yang mempersiapkan ini. Tentu diwarnai dengan nilai-nilai Islam.
Keempat,menciptakan dan mengembangkan produk. Sebagaimana tulisan sebelumnya, maka kita harus lepas dari jebakan bangsa produktif. Dengan populasi usia produktif yang cukup besar maka, kesempatan untuk menciptakan produk menjadi sangat terbuka. Terlebih kreatifitas generasi pada usia produktif tersebut, sangat bagus. Sehingga harus mampu menciptakan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan nasional, dan selanjutnya sebagaimana semangat pada point sebelumnya, maka akan menjadi pemain global.
Kelima, membangun kolaborasi dan mengembangkan jaringan.Salah satu ciri generasi jaman now dan juga generasi mendatang adalah kemampuan untuk kolaborasi. Dengan memenfaatkan teknologi, maka kolaborasi akan semakin dipermudah. Dengan adanya kolaborasi maka sinergitas antar anak bangsa akan bisa terjalin dengan baik. Dan olehnya, maka akan mendukung perkembangan jaringan. Dengan jaringan yang kuat, baik secara nasional maupun secara global, maka akan memperkuat eksistensi sebuah bangsa dalam membangun kekuatan ekonomi bangsanya.
Dengan berbagai ikhtiar yang ada ini, maka diharapkan bonus demografi bangsa ini, akan membawa kemajuan bangsa ini, dan umat Islam secara lahir dan batin, jasmani dan ruhani, jiwa dan raga. Bukan malah terpuruk ke jalan kehancuran. Wallahu a’lam
Jakarta, 29/01/2018