ekonomi, entrepreneur, technopreneur, Entrepreneurship

10 Akhlak Pengusaha Muslim


Adalah Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dan Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dalam bukunya Ma La Yasa’ at-Tajira Jahluhu, yang diterjemahkan oleh Pustaka Darul Haq dengan judul Fikih Ekonomi Islam, dalam Bab I di awali dengn bahasan mengenai akhlak usahawan muslim. Dimana, ada 10 hal yang menurut beliau berdua menjai kode-etik bagi pengusaha muslim agar dalam melaksanakan aktifitasnya senantiasa memelihara kejernihan atiran ilahi, jauh dari sikap serakah dan egoisme, sehingga membuat usaha tersebut menjadi mediator bagi terbentuknya tatanan masyarakat yang saing mengasihi satu sama lainnya. Dan ini menurut saya, menjadi pilar bagi tegaknya peradaban Islam.

Akhlak dan kemudian menjadi kode etik bagi pengusaha muslim tersebut, sesungguhnya menjadi pembeda dengan pengusaha kebanyakan. Mensinergikan dimensi duniawi dan ukhrawi menjadi salah satu ciri utama didalamnya. Termasuk, tidak mengedepankan profit dan meterialisme semata, meski tetap mengejar keuntungan, namun itu bukan menjadi tujuan utama. Ada yang lebih mulia dari itu, yaitu bagaimana mengimplementasikan hukum Allah swt di dunia, sehingga memberikan rahmat bagi alam semesta. Kesepuluh, akhlak pengusaha muslim tersebut beliau ulas dengan sangat jernih dan mendalam, adapun ringkasannya adalah sebagai berikut :

Pertama, Niat Yang Tulus

Dalam sebuah hadits niat menentukan langkah berikutnya. Semua bermula dari niat. Sehingga niat yang tulus ini tergambar dari atifitasnya selama bermu’amalah. Sehingga darinya, dia selalu berisaha mencari kebaikan untuk dirinya. Memelihara dari hal-hal yang haram, serta memelihara dirinya dari sikap yang suka meminta-minta, dan perbuatan tidak baik lainnya. Sehingga aktifitas usahanya itu, sebagai sarana untuk mengikat hubungan silaturrahim dengan saudaranya. Niat tulus ini bisa tergambar dalam upaya mencari kebaikan untuk orang lain dengan cara yang adil serta ikut andil membangun umatdimasa sekarang dan masa mendatang. Serta membebaskan umat dari belenggu ketergantungan orang lain.

Kedua, Budi Pekerti Yang Luhur

Akhlakul Karimah, ahklak yang mulis merupakan sifat dasar bagi pengusaha muslim. Sifat ini seharusnya sudah embedded di setiap muslim, termasuk pengusaha. Sifat jujur, disiplin, amanah, menepari janji, membayar hutang dan menagih hutang dengan baik, memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan membayar hutangnya. Menghindari sikap boros, tamak, menangguhkanpembayaran, penipuan, kolusi, korupsi dan manipulasi atau yang sejenisnya.

Ketiga, Usaha Yang Halal

Prinsip dasar dari mu’amalah adalah halal, sampai ada nash/dalil yang mengharamkannya. Sehingga dalam pandangan pengusaha muslim tidak akan sama antara proyek perjudian dan proyek pembangunan. Tidak sama baginya abtara yang baik dan buruk, meskipun yang buruk itu menarik hatinya, karena besar keuntungannya. Ia selalu menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. Tidak akan pernah mencampur keduanya. Karena usaha yang dilakukan sebatas yang dibolehkan oleh Allah, dan selalu menghindari yang bermuatan MAGHRIB (Maysir, Gharar dan Riba). Prinsip seperti ini yang mesti dipegang teguh.

Keempat, Menunaikan Hak

Tidak ada alasan untuk tidak segera menunaikan hak bagi pekerjanya sebelum kering keringatnya. Karena para pekerja itu juga punya keluarga yang menunggu di rumah. Demikian halnya tida akan melakukan penangguhan pembayaran hutanf, atau eng-akhir-akhirkan hak orang. Apalagi yang berkenaan dengan hak-hak Allah dalam soal harta sepertu zakat, kemudian hak-hak antar sesama manusia seperti gaji, perjanjian usaha dan sejenisnya. Intinya, dengan mendahulukan hak orang lain dan Allah, maka keberkahan itu akan di dapat oleh pengusaha muslim.

Kelima, Menghindari Riba dan Segala Sarana Riba Seperti Transaks-transaksi Kotor

Riba, dengan berbagai macam variannya, kini lah temengantui bahkan menjadi keseharian hidup manusia. Seolah, tidak ada celah dalam transaksi keuangan dan bisnis yang tidak dimasuki unsur riba ini. Maka, sedari dini pengusaha muslim mesti menghindarinya. Demikian juga terkait dengan traksaksi kotor, yang mnghalalkan segala cara. Banyak komunitas dan juga fatwa yang bisa dijadikan guidelines/panduan bagi pengusaha muslim untuk terhindar dari riba ini. Dan pengusaha muslim harus terus mengusahakan bisnisnya untuk berlepas diri dari transaksi riba.

Keenam, Menghindari Mengambil Harta Orang Lain Dengan Cara Bathil

Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kerelaan dan transaksi yang benar. Karena kehormatan harta seorang Muslim seperti kehormatan darahnya. Maka, sikap-sikap ananiyah (kebitanangan) dan menggunakan cara-cara yang bathil, dengan teror, ancaman, kekerasan dan sejenisnya, untuk mendapatkan harta, adalah batil. Hal ini juga terkait misalnya dalam hutang piutang, bersebab tidak (belum) mampu membayar, maka tidak diperbolehkan untuk merampas harta orang lain. Artinya, bolehnya mengambil harta orang lain adalah dengan cara yang ma’ruf, dan itu dilakukan dengan jual-beli, atau infaq, sadaqah, wakaf dan hibah, serta pemberian hadiah.

Ketujuh, Menjaga Komitmen Terhadap Peraturan Dalam Bingkai Undang-Undang Syariat

Berpegang teguh pada peraturan dalam bingkai ketentuan syar’i, sehingga tidak menjebloskan dirinya untuk kena sanksi hukum positif karena pelanggaran-pelanggaran. Olehnya, pengusaha muslim harus komitmen terhadap aturan yang disepakati. Dia tidak boleh wan prestasi, menghianati perjanjian dengan kesengaajaan, kecuali force majeur. Hal ini berlaku terhadap perjanjian lisan maupun tertulis. Dan semuanya dalam bingkai ketentuan dan kaidah-kaidah yang berlandaskan syar’i, dan berkorelasi terhadap hukum positif di sebuah negara.

Kedelapan, Tidak Memudharatkan (membahayakan) Oran Lain

Seorang pengusaha muslim adalah petarung. Dia harus sanggup berkompetisi di segala arena. Kendatipun demikian, setiap usahanya dilansadi dengan kaidah.”Segala bahaya yang membayakan itu haram hukumnya.” Ini merupakan kaidah usul fiqh yang singkat tapi komprehensif. Bahkan banyak persoalan hukum praktis yang tdiak terhitung jumlahnya yang di dasari oleh kaidah itu.

Kesembilan, Loyal Terhadap Orang-orang Beriman

Seorang pengusaha muslim harus menjadi juru nasihat bagi umat Islam. Selalu memenuhi janji keislamanannya, tidak membelakangi umat Islam dengan bersikap memusuhinya, dan tidak sudi ikut andil dalam proyek usaha dengan kalangan non Muslim, yang bisa menyebabkan bahaya terhadap umat Islam. Intinya, muamalah dengan non muslim boleh, asal saling menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan muamaah sesama muslim adalah kewajiban. Dimana wala’ seorang muslim adalah terhadap muslim lainnya menjadi sebuah kewajiban pula. Dengan demikian, pengusaha muslim juga sebagai perekat ukhuwah Islamiyah.

Kesepuluh, Mempelajari Hukum-hukum Mu’amalah Islam

Dalam mumalah ada kaidah fiqh muamalah yang mesti dipelajari, dipahami dan diamalkan bagi setiap pengusaha muslim. Dia harus mengerti tentang barang dagangannya, cara membeli dan membayar, dengan siapa dia bertransaksi dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan cara muslim berbisnis dengan kebanyakan pengusaha lainnya. Olehnya terkait dengan hukum-hukum ini, kita melihat dalam sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khaththab r.a, mengeluarkan orang yang tidak mengerti hukum jual beli dari pasar. Intinya, dalam jual-beli pun ada hukum-hukum, nilai dan prinsip yang harus dilaksanaan oleh setiap pengusaha muslim

Sepuluh hal di atas, merupakan rambu-rambu yang seharusnya kita pahami, sebelum kita terjun menjadi pengusaha. Jika kita sudah jadi pengusaha, maka hal ini bisa dipakai pisau analisis terhadap aktifitas bisnis kita, sudah sesuai atau belum. Bila ada yang belum sesuai maka segera diperbaiki, jika sudah sesuai maka kita tingkatkan sehingga menyempurnakan kita sebagai pengusaha. Dan selanjutnya, jika kita sudah menerapkan semuanya dalam bisnis kita, maka dengan PD kita bisa bilang bahwa Saya Pengusaha Muslim. Ada baiknya kita membaca hadist RasuluLlah SAW yang singkat terapi sarat maka berikut :

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

Wallahu a’lam

Depok, 28 Januari 2018

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.