Dalam berbagai kesempatan, termasuk di blog ini, sudah sering saya sampaikan hasil pengamatan langsung, mendengar ceramah ikut seminar dan lain sebagainya. Bahwa produk yang menguasai pasaran Indonesia saat ini, banyak yang dihasilkan oleh non muslim. Bahkan itu banyak dari perusahaan MNC, yang membuat pabrik disini, kemudian merebut pasar muslim. Dan, tidak sedikit dari produsen itu, yang di golongkan sebagai penyokong zionis yahudi. Terapi kita tetep membelinya. Dus artinya secara tidak langsung kita jadi pendukungnya pula. Sebab keuntungan dari produk yang kita beli, menjadi donasi ke Israel, dan bisa jadi peluru yang menembus, para mujahid disana berasal dari keuntungan barang yang kita beli itu. Na’udzu biLlahi minta dzalik.
Data dilapangan menyebutkan bahwa, tidak kurang dari 70% dari barang yang di jual diritel modern, atau warung-warung kecil itu berasal dari perusahaan Unilever, P&G, indofood, wing food, netsle, dlsb. Mereka menguasai pasar sampai ke jalur distribusinya. Bahkan dengan ketersediaan barang yang dibatasi serta term of payment yang semakin mepet, kini diberlakukan. Sehingga ritel dan warung muslim berat untuk bersaing. Sehingga setiap hari berapa Triliun, uang umat yang berpindah ke pundi-pundi MNC tersebut. Sebuah ironi yang segera dihentikan.
Dari Komplementer ke Suplementer
Kenyataan di atas seharusnya memantik kesadaran kita untuk melakukan sesuatu. Salah satunya adalah menciptakan produk-produk, yang pada awalnya sebagai komplementer atas produk yang ada. Meski sudah ada yang memulai, kita lebih memperbesar volumenya. Produk-produk fast moving dan consumers goods, bisa segera diwujudkan. Dari sabun mandi, sabun cuci, sampho, pasta gigi dlsb bisa dibikin. Dari bumbu masak, kecap, saus, sambel dlsb bisa diproduksi dan seterusnya.
Intinya mesti ada upaya serius dan sistemik untuk menyandingkan produk-produk market leader itu dengan produk muslim. Tentu kualitas, dan pasokannnya mesti dijamin, sebagaimana produk-produk yang sudah membanjiri pasaran itu. Kita mulai dari jaringan ritel muslim, dan warung-warung kecil itu. Jangan berharap bisa dipasarkan dijaringan ritel modern yang menguasai pasar sekarang. Pasti di tolak.
Dari ritel muslim dan warung-warung kecil itu kita mulai bergerilnya, untuk memasarkan produk muslim jni. Sehingga dengan kualitas yang sebanding, demikian juga ketersediaan barang yang continue, Insya Allah bisa menggeser dari sekedar komplementer, menjadi suplementer. Umat menjadikan produk muslim sebagai pilihannya, dan meninggalkan produk-produk market leader saat ini.
Dari mana memulai
Ada beberapa cara untuk memulainya. Pertama, memproduksi sekala home industri. Artinya masih tahap belajar. Produk konsumsi sendiri, atau maksimal di uji (dijual) ke tetangga dan saudara terdekat. Untuk mendapatkan feedback. Dan terus dilakukan perbaikan, sehingga ketemu kualitas dan nilai ekonomis jika dijual. Ada trial and error disini. Ini menjadi semacam inkubasi bisnis. Hingga produk akhirnya mature, dan bisa di jual untuk kalangan yang lebih luas.
Kedua, memproduksi sekala komunitas. Artinya dari level keluarga, masjid, halaqah, majelis taklim, Pesantren dst, ada yang memulai untuk memproduksi dan dipasarkan di sekitarnya. Ada umpan balik, tentang produk dan harga. Namun komunitas ini harus berkomitmen untuk membeli produk-produk itu. Sedangkan produsen, bisa menggandeng banyak pihak yang ahli, untuk melakukan pendampingan, termasuk selalu melakukan improvement produk. Demikian halnya, produsen sudah bisa membuat white labels yang bisa dijual ke tempat-tempat tertentu. Sehingga terus diupayakan, bahwa secara kualitas produk tidak kalah bersaing. Secara kelembagaan, bisa dikembangkan syirkah ataupun koperasi sebagai wadahnya.
Ketiga, memproduksi sekala korporasi. Sebuah keniscayaan bahwa umat islam perlu membangun korporasi. Mengembangkan produk-produk komplementer dan suplementer, yang mensuplay seluruh jaringan ritel modern muslim dan warung-warung muslim. Ketika berbicara tentang korporasi, maka seluruh prasyarat perusahaan yang harus profesional dlsb melekat di dalamnya.
‘Ala kulli hal, maka memproduksi produk muslim, menjadi sebuah kewajiban. Minimal fardhu kifayah. Artinya, masing-masing kita seharusnya terpanggil menjadi bagian dari produsen muslim ini. Wallahu a’lam.
Depok, 18/01/2018