Bulan lalu, saat Bandara Internasional Lombok Praya buka-tutup terkait dengan dampak dari erupsi gunung Agung di Bali, qodaruLlah, berkesempatan mengunjungi NTB, pulau seribu masjid, sejuta sapi. Ada kegiatan organisasi disana. Dan dari situ, dapat informasi dari Bapak Wakil Gubernur, yang menyatakan bahwa 1 (satu) hari Airport di tutup, maka potensi loss dari aspek ekonomi sebesar kurang lebih 70 milyar. Sebuah angka yang cukup besar, yang mudah di kalkulasi, terkait dengan tiket pesawat, hotel, transportasi dan belanja selama di NTB. Itulah sebuah gambaran, dimana, wisata ternyata memberikan konstribusi yang cukup significant, bagi PDB di sebuah wilayah. Dan, akhir bulan lalu berkesempatan mengunjungi Kota Bima pula. Jadi selama dua bulan, 2 kali berkunjung ke NTB
Adalah Global Islamic Economic Report (2016) yang melaporkan bahwa sektor ekonomi dan industri Islam dunia memiliki pertumbuhan diatas rata-rata dari pertumbuhan keseluruhan sektor ekonomi. Industri tersebut antara lain industri pangan halal, obat-obatan dan kesehatan, keuangan syariah, fashion islam, media islam dan travel islam yang didalamnya termasuk pariwisata halal dan/ pariwisata ramah muslim serta hotel syariah. Disebutkan pula, bahwa industri-industri tersebut mengalami percepatan pertumbuhan dengan kecepatan rata-rata 10,8 persen pertahun, dengan total volume hingga tahun 2021, mencapai 3,7 trilyun dollar AS.
Khusus untuk pariwisata syariah, dijelaskan bahwa memiliki market size sebesar 12,3 persen dari total pangsa industri halal. Masih menurut Global Islamic Economic Report, angka itu setara dengan 243 milyar dollar AS, pada tahun 2021. Sebuah kue bisnis yang cukup fantastik. Tetapi, sayangnya kue sebesar itu, hanya sedikit yang dinikmati oleh Indonesia. Sebab, masih kalah dibanding dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara non muslim sekalipun. Hal ini dapat dilihat table dibawah peringkat 10 besar halal travel di dunia. Kita masih “beruntung” bahwa Lombok, Nusa Tenggara Barat, mendapakan award diajang World Halal Tourism Award di Dubai, sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia tahun lalu. Ini bisa sebagai modal awal bagi Indonesia, untuk berebut pangsa pasar ini. Dan selanjutnya bisa dikembangkan di tempat-tempat lain.
Beberapa Indikator
Global Islamic Economic Report (2016), melaporkan untuk meninjau kembali Indikator Halal Travel selanjutya mengevaluasi kesiapan dan perkembangan negara dari ekosistem pasar Muslimnya. Ini merupakan Indikatornya sebagai bagian dari Indikator Global Islamic Economic (GIE). Indikator Travel halal tidak berfokus pada ukuran keseluruhan dan lintasan pertumbuhan suatu negara di sektor ini. Sebaliknya, negara-negara tersebut mengevaluasi negara-negara yang memiliki kekuatan relatif ekosistem yang mereka miliki untuk ekosistem tersebut. Selanjutnya di tentukan empat indikator yang dinilai kepada setiap negara, terkait dengan halal travel ini.
Dalam Global Muslim Travel Index (2016), ada tiga kelompok kriteria wisata halal yang diulas. Pertama, destinasi ramah keluarga. Kedua, layanan dan fasilitas di destinasi yang ramah Muslim. Ketiga, kesadaran halal dan pemasaran destinasi. Dari tiga kriteria ini, ada 11 indikator. Untuk kriteria destinasi ramah keluarga, indikatornya mencakup destinasi ramah keluarga, keamanan umum dan bagi wisatawan Muslim, serta jumlah kedatangan wisatawan Muslim.
Di kriteria kedua, layanan dan fasilitas di destinasi yang ramah Muslim, ada tiga indikator turunan, yakni pilihan makanan dan jaminan halal, akses ibadah, fasilitas di bandara, serta opsi akomodasi. Sementara, untuk kriteria tiga kesadaran halal dan pemasaran destinasi, empat indikator turunannya adalah kemudahan komunikasi, jangkauan dan kesadaran kebutuhan wisatawan Muslim, konektivitas transportasi udara, serta persyaratan visa.
Tantangan Indonesia
Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, aneh jika kemudian Indonesia tidak masuk menjadi destinasi halal. Kementerian Pariwisata dan juga Badan Ekonomi Kreatif misalnya, lebih sibuk menjual destinasi wisata yang tidak ada kaitannya dengan Silam, misal : Borobudur, Bali, Toraja, dlsb. Mereka lebih mengejar pada red ocean, dimana destinasi sejenis banyak di jumpai di negara-negara lain. Meskipun Indonesia memiliki berbagai destinasi alam, etnis dan budaya yang beragam. Sehingga memungkinkan menarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Dan dari tahun ke-tahun menunjukkan peningkatan para pelancong ke negeri ini. Namun dengan bermain dalam ceruk yang sama, akan menjadi tantangan tersendiri.
Sebagaimana yang ditargetkan Kementerian Pariwisata beberapa waktu lalu, diprediksi bahwa pada tahun 2019 Pemerintah Indonesia menargetkan kunjungan wisata bisa mencapai 20 juta wisatawan mancanegara dan 27,5 juta wisatawan dalam negeri (lokal). Wisatawan yang memiliki preferensi pariwisata halal sendiri diharapkan bisa mencapai lima juta orang pada 2019. Pada tahun yang sama, diharapkan kontribusi sektor pariwisata bisa mencapai 15 persen terhadap PBD Indonesia, sehingga menghasilkan devisa Rp 240 triliun, dan menciptakan lapangan kerja bagi 13 juta orang.
Namun, ada satu captive market yang berada pada blue ocean, yaitu witasa halal, yang kemudian nanti akan diikuti kesiapan sarana-dan prasaranya, sehingga akan memiliki nilai ekonomi di satu sisi, mengenalkan islam Indonesia disisi lain dan ini merupakan dakwah tersendiri. Warisan kerajaan-kerajaan Islam masa lalu, kampung-kampung muslim, masjid-masjid bersejarah, pondok-pondok pesantren, sebenarnya merupakan destinasi halal yang menarik. Ini perlu digarap serius, sehingga menarik wasatawan muslim untuk mengunjungi Indonesia. Salah satu kendalanya adalah belum adanya panduan wisata halal ini yang dikeluarkan oleh Komite Fatwa MUI.
Menuju Wisata Halal
Halal Travel, wisata halal, wisata, syariah, wisata religi dan berbagai diksi yang sejenis dengan itu sesungguhnya, sebuah manifestasi dari salah satu bentuk dakwah. Ini merupakan perwujudan bagaimana Islam di tuntut untuk menampilkan diberbagai aspek kehidupan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa salah satu tuntutan dari bisang wisata ini adalah hospitality, artinya adanya keramahan dalam menerima tamu. Dimana hal ini sejalan haditas Nabi,”Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR. Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]
Untuk bisa menjadi destinasi wisata halal ini, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan, dan ini sifatnya integratif. Pertama, setiap pribadi muslim dituntut mengamalkan hadits berkenaan dengan memuliakan tamu, serta merepresentasikan dirinya sebagai pribadi muslim. Kedua, secara komunitas perlu juga membangun kesadaran bahwa membangun masyarakat serta menjaga lingkungan (termasuk warisan sejarah) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dukungan terhadap wisata halal ini. Masjid, Madrasah,Sekolah (Islam), Pesantren dlsb, bisa menjadi contoh dari miniatur wisata halal ini. Termasuk melaksanakan kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan yang memberi daya tarik bagi wisatawan untuk datang. Ketiga, adanya keaktifatan dari asosisi penyelenggara wisata halal di Indonesia, untuk ikut memasarkan produk wisata halal Indonesia ke manca Negara. Keempat, dukungan dari pemerintah, dimulai dari satuan terkecil (desa/kelurahan) agar sadar tentang pentingnya ini. Sehingga yang terjadi adalah support baik regulasi, termasuk anggaran dan program, dalam mendukung wisata halal ini. Misalnya dalam rangka pengembangan infrastruktur dan sarana serta prasarana lainnya baik destinasi yang eksisting, maupun destinasi baru.
Hal tersebut merupakan bebera ikhtiar yang dilakunan, disamping masih banyak cara lainnya, dan semoga dapat terwujud. Sesungguhnya jika semua umat islam melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan meninggalkan semua yang menjadi larangan, mengikuti sunnah nabi, dan belajar dari sejarah kejayaan Islam di masa lalu. Insya Allah, wisata halal itu bukan hanya untuk menghasilkan devisa, akan tetapi bagian dari dakwah yang mengajak orang untuk beriman kepada Allah SWT. Wallahu A’lam.
Depok, 12/01/2018